Rabu, 17 Agustus 2016

Cerpen: Sepasang Tikus di Rumahku

Sepasang tikus melanggar perjanjian di rumahku, yang baru saja pulih dari peperangan besar. “Cit!” seru mereka, kurang lebih berarti: “Ayo tanding! Siapa di antara kita yang lebih perkasa, dan berhak menguasai tanahnya!”

Aku kelimpungan, malam lekat sekali, aku baru saja lepas dari tumpukan kertas-kertas kerja yang mesti dibuatkan sajak. Senjataku Cuma pisau dapur yang kuletakkan sembarangan tiap seusai memasak, dan rumahku sendiri. Sementara, senjata mereka tersebar di seluruh badan: taring yang liar, bulu—kata orang—beracun, air seni radioaktif, dan tentu saja otot tungkai yang mampu bergerak secepat peluru.

Kami bertiga berhadap-hadapan. Di ruang keluarga, menghunus senjata masing-masing. Malam menjadi panjang. Tegang. “Maafkan kami, Mas...”

“Tidak mengapa, dik” jawabku. “Tidak perlu meminta maaf. Memang begitulah cara kita menghormati harkat dan martabat diri masing-masing”.

Akupun mengacungkan pisau. Mereka menghunus taring. Tang! Pisauku memukul ubin, sementara mereka seperti membuat kecepatan teleportasi, telah ada ke balik badanku.

Segera, mereka melesat kembali menuju bahuku. Crat! Digigitnya sesaat, lalu melompat kembali ke tanah. “Satu kosong,” kata mereka, “Aku lengah. Kalian hebat,” jawabku lagi.

Adu strategi yang cukup menarik. Aku harus bertahan dengan senjata. Aku tak punya air seni radio aktif, toh? Aku cuma punya segala yang manusia di rumahku sendiri. Segera, kubangun benteng dari karung-karung pasir. Kugali lubang pertahanan, kupasang meriam-meriam kaliber dewa, tak lupa: helm tentara yang bisa buat gaya. Soal dari mana barang-barang itu, ini adalah rumahku. 

Tempat segala sesuatu diinginkan lalu diadakan dengan seperlunya.

Mereka berdua cepat menggali lubang, dan menembus ubin ruang keluarga. “Adu strategi yang fair!” seru mereka. Tak lama, kurasakan ubin bergemeletak seiring galian mereka yang terus mendalam. Kubidik lantai, kuarahkan pada pusat getaran galian mereka.

Thummmmm! Dentum suara meriamku menghancurkan lubang galian mereka. Asap meruah. Kutunggu beberapa saat sampai keadaaan tenang kembali. Ledakan yang dahsyat, genting rumahku sampai terbang beberapa karenanya.

“Gawat, mas, gawat! Hahaha!” Dua ekor tikus itu berdiri di balik asap. “Senjatamu gawat sekali!”

“Bagaimana kalian selamat?” seruku, “Ini meriam kaliber dewa lho!”

“Kita ini tikus, tidak percaya dewa”

“Benar juga,” aku menepuk kepalaku sendiri.

“Sekarang giliran kami!” mereka kembali melesat seperti diletuskan, dan dengan tak terduga melepaskan air seni radioaktif ke arah bentengku. Tidak! Aku harus pergi. Aku melompat sekenanya, dan benar saja! daerah yang terkena air seni meleleh dan menebarkan bau amoniak campur peledak yang sangat kuat. sangat basa. Karung-karung pasir tadi meleleh seperti mentega begitu mudahnya. Cih!

“Giliranku!” Kupanggul sebuah bazoka besar, “Ini bukan bazoka biasa, ini tidak didewa-dewakan!”

Mata kedua tikus itu mengerling, mencari celah melarikan diri. Kembali kubidik, kutembakkan dan blar!  Ruang keluarga meledak, menyisakan asap hitam dan sedikit api. aku masih berdiri. Bazoka masih kutenteng. Mataku nyalang mencari kedua tikus itu. aku yakin sekali tadi kena!

“Mas yang fair dong!” teriak mereka,

“Lha kenapa dik!?”

“Mana bisa kami menghindar, masak mas tiba-tiba misscall telepon genggam saya, kan lengah!”

“Ah iya! Terpencet dik! Maaf!”

Aku membayangkan saudara mereka yang lain di jalanan yang kerap jadi gambar di aspal setelah terlindas. “Kami di jalan Cuma terlindas motor. Saudara mas terlindas tronton industri!”

“Siapa bilang! Kami mati dengan baik, ada yang mengebumikan. Kalian?”

“Itu jalan kami! Mati dengan tubuh terkorbankan dan suci kembali!”

Kami kembali menata posisi. Malam kelihatan telanjang di atap yang bolong, kena ledakan bazoka dan meriam. Aku ke balik benteng yang belum meleleh. Mereka siaga di dalam lubang, dan hanya kedua matanya tampak menyala. Aku menata napas kembali. Haus.

“Minum?”

“Minum!” jawab mereka. Kuangsurkan cawan minum secara ksatria pada mereka. Perang berhenti sejenak. Gencatan senjata berlangsung untuk alasan kemanusiaan, dan aku mengamati ruang keluarga yang berantakan. Hanya kami bertiga. Perang yang mesra dan fair sekali. tak ada yang mengundang wartawan di antara kami, atau membuat lembaga pemertahanan HAM.

“Kenapa kalian melanggar peraturan, dik?”

“Karena tidak cocok, mas”

“Baiklah. Ayo tanding lagi. Langgarlah peraturan dengan terhormat!”

“Pertahankanlah peraturan yang ada di rumah ini, juga dengan terhormat, Mas!”

“Demi kehormatan manusiaa!” teriakku, “Demi harkat dan martabat tikuus!” balas mereka. 

Kami kembali ke posisi masing-masing. Kembali saling membidik. Tikus pertama mencoba mengalihkan perhatianku dengan menggali lubang lurus ke arahku, sementara tikus kedua loncat tinggi-tinggi dan mengarahkan radioaktifnya ke arahku.

“Aku tak akan terkecoh!” kuarahkan bazoka ke arah tikus yang nyaris terbang itu, dan dengan sekali hentak, blaarr! Meledaklah peluru itu di udara. Ah tidak! Ternyata tikus yang meloncat itulah pengalih perhatiannya, tepat dari lubang yang mengarah padaku, cairan radioaktif bermuncratan dan tepat mengancam dadaku. Aku loncat sejauh-jauhnya ke belakang, dan cairan itu mengenai sepatuku.

“Bingo!” kata mereka.

“Tidak ya! Aku tidak kenapa-kenapa”

“Lho mas, kan pelurumu hilang satu sia-sia, sementara air seni bisa dibuat lagi”

“Ah, bagaimana tikus satunya selamat?!”

“Mas saja yang ngawur tembakannya!”

Kami bertiga terengah-engah. Sepatuku segera kucopot lalu kulemparkan. Amunisiku tinggal satu. Aku harus menggunakannya dengan baik.

Perang di antara kami terus terjadi, malam jadi seru sekaligus bising sekali. duar! Duar! Duar! Begitu terus, belum ada yang menunjukkan kelengahan. Sekali dua kali ledakan menghantam lubang mereka, dan sekali dua kali aku terpapar radioaktif. Size doesnt matter! Seru mereka, dan kubalas, “Gede cilik podo kabeh!”
*

Lama kemudian, kami bertiga lelah sekali. tak ada yang mengalah di antara kami. Ruang keluarga rata dengan tanah, terlihat bolong-bolong bekas lubang galian mereka. Lantai rumah tampak seperti keju yang habis meledak. Kertas-kertas berisi sajak dan calon sajak berserakan di mana-mana.  Sebagian hangus terbakar. “Mereka menjalankan tugas sajak dengan baik di tengah peperangan. Semoga masuk surga.”

“Amin,” jawab mereka.

Bagiku, kertas berserakan berisi sajak di tengah perang, adalah korban yang tak termaafkan.

“Damai?”

“Ndak mas,”

“Kami bukan polisi yang biasa damai-damaian,” kami berdiri berhadap-hadapan. Dengan wajah paling prajurit yang kami miliki.

Kami saling menatap. Bagaimanapun kami adalah tiga orang sekeluarga. Seorang manusia dan dua ekor tikus, cuma kebetulan sedang terlibat perang.

“Kukuruyuuuk!” seru ayam dari ujung jalan, di luar rumah, “Tong kukuruyukan!” lanjutnya. Sudah jelang pagi, tanda perang harus segera diakhiri, apapun caranya.

Aku kembali mengamati ruang keluarga yang berantakan sehabis perang. Kedua tikus yang melanggar aturan lalu kuperangi itu tampak kelelahan tapi masih bertahan. Benar-benar kesatria, pikirku. Kedua tikus itu, entah apa yang mereka pikirkan, juga melawanku dengan terhormat.

Sekujur rumahku masih bau basa radioaktif. Tubuh mereka juga diliputi bekas ledakan. Sesekali darah.

“Kukuruyuuuk!” ayam di ujung jalan kembali berseru, “Asholaaaaah!”

Ah! Pak Haji sudah melantangkan ultimatum di pengeras suara masjid. Aku harus menghormati seruan perdamaian itu. waktu ketika kedua belah pihak menghentikan perang, istirahat, dan melakukan ibadah.

Meskipun, menurut perspektif kami, perang inipun ibadah. Saling menghormati dan mengagumi dengan saling menyerang secara jantan.

Inilah rumahku, tempat segala sesuatu muncul apabila dibutuhkan. Tempat peperangan mahaksatria sekaligus peristirahatan paling indah.

“Damai?” tawarku lagi,

“Ndak mas!”

“Demi kemanusiaan!”

“Tidak, demi harkat ketikusan!”

“Jangan keras kepala. Kalian bertarung begitu ksatria malam ini!”

“Tapi begitulah cara kita menghabiskan waktu di ruang keluarga, kan, Mas?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar