Sebagaimana Iwan dalam Kering, "Ia bagi dua kesepiannya itu, yang satu dijadikan sahabatnya. Yang satu lagi dijadikan alasan untuk mengerti, bahwa kesepian adalah sahabatnya..."
dalam kegharibannya--dalam bahasa sederhana--umat islam, adalah mereka yang disepikan, menyepi, dan kesepian di tengah kerusakan manusia.
Di tengah pengasingannya, Soekarno membuat mahapidato Indonesia menggugat, yang jadi titik tolak perjuangan diplomasi Indonesia menuju merdeka.
Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar yang hebat itu, pada pemenjaraannya oleh rezim Orde Lama, dan menjadi simbol seorang "sastrawan yang ulama"
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, menulis kitab Zadul Maad, yang secara literal adalah "Nyanyian Perjalanan" di tengah senyapnya gurun pasir perjalanannya.
Said Nursi, bahkan menulis--yang secara ajaib, kata Habiburrahman--Risalah Nur, dalam keterasingannya di Barla.
Begitupula Muhammad, Rasulullah, dalam pengembaraan seorang dirinya di liang gua Hira, Jibril datang memberikan wahyu: "bacalah..."
Isa Al-Masih, dengan hanya 12 hawarinya, meniti sulitnya medan dakwah dan meninggalkan berjuta hikmah untuk kita pelajari.
Perbedaannya dengan kita, mereka menikmati kesepiannya, dan dengan persahabatnnya dengan sepi, lahirlah sebuah cita-cita besar.
Sepi, adalah tenaga. Sepi, adalah jalan.
Kesepian. Keterasingan. Keghariban. "Berbahagialah mereka yang gharib...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar