Selasa, 16 Agustus 2016

Kenapa Jakarta Tidak Juga Diazab?

Kata orang, Jakarta ini sudah cukup beralasan untuk diazab. Banyak homonya, banyak lesbinya. Cakep-cakep pula. Setidaknya, kalau azab kaum Luth bisa lah sedikit.
Banyak pedagang curang. Sebagaimana surat Al-Muthaffifin, diancam neraka Wail dan sebagaimana penduduk Madyan, azab sudah dekat.
Belum cukup sampai di situ, oknum (oknum) pemerintahan banyak yang curang dan zalim kepada Rakyat. Minimal, 7 bencana Mesir Kuno bisa jatuh ke Jakarta. Air berubah menjadi darah, hujan belalang, serbuan kutu, serbuan katak, dan bahkan kematian seluruh anak sulung Mesir.
Belum cukup sampai di sana, para ulama didustakan. Sebagian diolok-olok di Twitter. Yang lain diperlakukan seperti pelawak dan juru ghibah. Yang paling mengerikan, para Ahlul Bait juga dihina seolah-olah mengina pada pribadi Rasulullah. Hujan harusnya turun tidak menjadi rahmat, tapi azab.
Tapi, kata teman saya itu, kenapa azab belum turun juga?
Saya tidak tahu. Yang saya yakini, Allah Mahapengasih dan Mahapenyayang.
Tapi saya berpikir begini. Ada organisasi, di Jakarta, yang menjadikan anggota-anggotanya harus membaca Al-Quran satu juz setiap hari, dan itu betul menjadi "tren". Orang membaca Al-Quran di halte, di kereta, di kantin, di taman, di halte busway, di foodcourt, dan itu satu juz per hari. Di Jakarta!
Apakah Allah tidak menunda azab dengan itu?
Pengajian para Ahlul Bait masih sesak dan ramai. Di dalamnya, ratusan, bahkan ribuan orang berzikir dan berdoa sambil menangis. Ribuan! Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad!
Apa Allah tidak menunda Azab di Jakarta dengan itu?
Di tempat lain, orang-orang-di UNJ ribuan, di UI ribuan, di kampus lain ribuan-ikut halaqah ilmu dan melingkar di masjid-masjid yang dulunya cuma dibuka tiap waktu shalat saja. Di dalamnya, mereka menyebut nama Allah. Ada yang menghafal juz 30. Ada yang menghafal 40 hadits. Ada yang saling menasihati dalam kebenaran.
Apakah azab tidak ditunda karena itu?
Di mushala-mushala terpencil Jakarta kita, kakek-kakek tua dan sedikit dari anak muda masih datang pukul 4 pagi. Mereka bershalawat dan membaca Al-Quran tanpa peduli dengan cemoohan orang bahwa Allah tidak tuli dan tak perlu pakai speaker.
Apakah Jakarta masih bisa diazab?
Selain orang yang tidak suka dengan syi'ar islam, ada orang-orang yang terus membudayakan sunnah. Celana cingkrang, masih membaca kitab-kitab untuk mencari ilmu: Fathul Bari, Riyadhus Shalihin, Musnad Imam Ahmad, atau Sirah Nabawiyah.
Apa iya azab turun secepat itu?
Jangan-jangan azab ditunda karena ulama-ulama yang kita hina masih mendoakan kita: "Ya Allah, ampuni mereka, mereka hanya belum mengerti...."
Jangan-jangan di antara pemuda-pemuda saleh dan "anak musolah" yang kita cerca dan kita katakan "puritan", "wahabi", atau "ekstrimis", atau "PKS" masih ada yang mendoakan:
"Ya Allah, jangan hancurkan kota ini, terimalah amal mereka, dan hapuslah dosa mereka. Mereka hanya belum mengerti...."
Dan sebagaimana doa Rasulullah ketika diusir penduduk Thaif, "Jadikanlah keturunan mereka, orang yang membela agama-Mu, ya Allah...."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar