Selasa, 16 Agustus 2016

Shiffin dan Politik Kita Hari Ini

Medan perang Shiffin. Antara dua sahabat besar: Ali r.a. Khalifah keempat. Menantu sekaligus keponakan Rasul. Melawan Muawiyah, penulis wahyu, putera pembesar Makkah, Abu Sufyan, sekaligus gubernur Syam.
Perang itu, menurut Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah, adalah perang terbesar antara dua golongan muslim sepanjang periode Khulafaur-Rasyidin. Begitu memilukan: pedang-pedang habis patah, maka perang dilanjutkan dengan tangan kosong dan batu....
Keduanya datang dengan maksud yang sama: "Menuntut pengadilan atas pembunuhan Khalif Utsman.."
Tak ada dari pasukan keduanya yang tidak terluka. Tetapi, perseteruan itu, dicatat pula oleh Ibn Katsir: "tidak ada yang mundur ke belakang. Keduanya, di isi prajurit-prajurit muslim yang mulia..."
"Mereka pada malam harinya saling mengunjungi, setelah siangnya berperang. Menanyakan, siapa yang tewas? Siapa yang selamat, karena pada dasarnya, kedua pasukan memang diisi orang-orang yang saling bersahabat..."
Sekiranya, itulah yang mestinya jadi perhatian. Persoalan perang Shiffin yang terjadi karena gugatan Muawiyah untuk memprioritaskan pengadilan pembunuhan Utsman tidak digubris oleh Khalif Ali. Di sisi lain, sejumlah 90.000 tewas. Suatu korban politik yang teramat besar, memang. Akan tetapi, bukankah tidak menjadi keharusan dalam peristiwa politik, semisal pemilu, korban politik harus dijatuhkan?
Sebagaiman, ada yang ditumbalkan untuk sebuah kemenangan, atau, ada yang dibunuh karakternya, agar satu pihak bisa terlihat baik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar