Selasa, 16 Agustus 2016

Bangkitlah Pelajar dan Sarjana Jakarta

Sarjana dan calon sarjana UNJ yang terhormat. Kampus kita ada di tengah kota yang identik dengan perlawanan dan intelektualitas. Di mana ada kezaliman di situ para guru dan mualim bangkit.
Kurun waktu 1900-an, jauh sebelum adanya IKIP, apalagi terpilihnya Rektor Djaali dan Ketua Bagus Tito, adalah Guru Manshur, yang tegas sikapnya. Beliau salah satu pendiri madrasah di Batavia, dan orang yang tak bisa diperkuda kolonial.
Ketika akhirnya kebijakan kolonial mengancam pendidikan dan kebudayaan, semacam larangan pengibaran merah putih, larangan mengenakan busana selain ciri etnik, ia muntab: Rempug!
Guru Mansur Jembatan Lima, adalah moyang dari 'allamah Yusuf Mansur. Di tempat lain, ada ulama-guru-pejuang, KH Noer Ali. Beliau adalah pahlawan nasional bekasi, juga sebagai pendidik. Beliau angkat senjata ketika belanda lakukan kezaliman.
Habib Ali Alaydrus Kwitang, juga selain sebagai seorang pendidik, adalah seorang yang fatwanya keras mengancam pemerintah kolonial.
Maka, santri-santri cetakan mereka, akhirnya menjadi laskar terdepan ketika medan kemerdekaan memanggil. Bangsa ini, utamanya kota Jakarta, berhasil bertahan dengan bantuan murid-murid didikan mereka.
Mereka tidak memungut bayaran. Murid mereka hanya disuruh bantu sekenanya di kebun, bahkan dibuatkan asrama. Jelas, tidak suruh bayar parkir. Tidak ada ancam-mengancam ke schout (polisi belanda) karena bagi mereka, harga diri sebagai pelajar sangat tinggi.
Dari masjid ke masjid, pelajar-pelajar itu bersama sang Habib, terus mengumandangkan shalawat dan perlawanan. Mereka belajar memisahkan mana kebatilan, mana kebenaran. Bukan belajar menerima proyek dan menolak aspirasi.
Pelajar UNJ yang lebih dari 24000 itu, sejatinya adalah tenaga besar: tetapi diperkuda. Ketika rilis berjudul "Almanak Kepemimpinan Rektor Djaali" meluas, dan aksi rekan-rekan MIPA digelar, malah ada sebagian dari kita yang tega-teganya menuduh:
Sudah tabayyun? Jangan fitnah! Jangan anonim! Ini membuktikan gagal fokusnya kita. Kita, barangkali tidak peduli lagi adik kelas kita bayarannya 8 juta rupiah, atau tidak peduli lagi selain ijazah yang sebetulnya simbol gagah-gagahan ilmu.
Sebelum mereka, ada Habib Utsman, yang lebih dikenal dengan Sayyid Utsman. Beliau memilih bekerjasama dengan pemerintah Batavia dan menjadi kepala Raad Agama, semacam mufti batavia. Apa yang terjadi? Ramai-ramai institusi pendidikan rakyat, termasuk Jamiatul Khair, mengecam beliau dan menganggapnya sebagai musuh bangsa.
Kita pergi, ke hampir seratus tahun kemudian. Berdirilah sebuah institusi pendidikan yang belum jelas arah ideologinya. Ketika rezim melakukan serangkaian kezaliman: menaikkan biaya UKT, mempermainkan anggaran studi dan beasiswa: kita dipaksa diam.
Kita dipaksa menyaksikan dari bangku kelas dengan iming-iming cepat jadi sarjana dan ancaman pemukulan, nyaris persis dengan kolonial.
Tak ada lagi sosok semacam Guru Mansur, atau KH Noer Ali, yang ada adalah versi pribumi Sayyid Utsman. Yang ada, kita dipaksa memaklumi keadaan dengan sabda: kalau tidak mau belajar di sini, keluar saja. Banyak yang mau daftar!
UNJ di tengah Batavia modern menjelma menjadi lembaga pencetak abdi pemerintah, abdi diktator, bukan lagi sarana thalabul 'ilmi batavia tempo dulu.
Sarjana dan calon sarjana UNJ, melawanlah. Sejarah panjang kota ini penuh dengan perlawanan pada kejahatan dan kezaliman, jangan dinodai dengan sikap diam!
Jangan takut melawan, Allah dan doa-doa orang baik bersama kita.

Ralat dan Masukan dari Seorang Sahabat
Menyusul tulisan panjang saya beberapa jam lalu, ada sebuah kritik yang datang, seputar sosok Habib Utsman, yang jamak dikenal sebagai Sayyid Utsman.
Saya tidak bermaksud melecehkan Ahlul Bait, yang seharusnya saya cintai sebagai keluarga Rasulullah. Akan tetapi, dalam konteks sejarah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Habib Utsman, pada tahun 1800-akhir menjadi kepala Raad agama di Batavia. Ia menggantikan KH Abdulgani, dan jabatan itu setara mufti agama di sebuah kota. Ia wafat tahun 1913. Dikenal sebagai ulama dari Pekojan.
2. Pangkal perbedaan pendapat beliau, terletak pada kewajiban atau keharaman mengangkat senjata (dalam kapasitas keagamaan formal beliau) terhadap pemerintah kolonial. Ia beranggapan (ijtihad yang salah pun berpahala lho) haram memberontak, karena pada waktu ia menjabat mufti, umat islam diberi kelonggaran untuk ibadah.
3. Di situlah pangkalnya. Para ulama betawi dan banten, menganggap beliau memisahkan antara ritual agama dan siyasi. Pendapat beliau ini mirip Ibn Taimiyah dalam Siyasah Syar'iyah.
4. Terutama, paska pemberontakan petani di Cilegon yang dikobarkan para Kiai dan Haji sebagai Jihad Fi Sabilillah, Sayyid Utsman menganggap itu sebagai pebuatan Ghurur. Para Ulama waktu itu mengecam beliau, dan oleh para pembencinya, ijtihad ini dianggap pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan.
5. Beliau juga bersahabat dengan Abdul Ghaffar, alias Snouck Hourgounje dalam kapasitas sebagai mufti dan peneliti. Harapan beliau, hasil penelitian snouck akan membuat pemerintah kolonial menghargai umat muslim. Bukan mata-mata seperti yang dituduhkan. Memang, karena usaha Snouck, beliau dianugrahi beberapa penghargaan.
6. Beliau dikenal sebagai habib yang keras. Ia memerangi khurafat dan bid'ah yang merebak kala itu, termasuk para ahli nujum dan tarekat sesat.
7. Alasan saya mengaitkan beliau dengan situasi UNJ adalah, beberapa dosen kita seperti terlihat memihak pemerintah, alih-alih mengajak kita berpikir kritis. Tapi lagi-lagi, dalam kapasitas mereka sebagai abdinegara dan dengan harapan seperti Habib Utsman.
8. Sumber saya dalam hal ini, adalah Genealogi Ulama-ulama Betawi karya Ridwan Saidi, dan beberapa manaqib para habaib yang saya dapatkan.
9. Mengenai nama asli Habib Kwitang, tanpa mengurangi rasa cinta pada keluarga Rasul, betul bukan Habib Alaydrus. Beliau bernama Ali Al-Habsyi, yang menetap di Kwitang.
Terima kasih. Tetaplah bergerak, dan jadikan kebatilan-ketakutan pada selain Allah sebagai musuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar