TAYAMUM
Segala puji hanya kembali dan milik Allah
Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Rasulul Islam, Muhammad bin Abdillah
shollallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau
radhiyallahu ‘anhum.
Mungkin tidak jarang dari kita melihat sebagian dari saudara-saudara
kita kalangan kaum muslimin yang masih asing dengan istilah tayammum
atau pada sebagian lainnya hal ini tidak asing lagi akan tetapi belum
mengetahui bagaimana tayammum yang Nabi
shollallahu ‘alaihi was sallam ajarkan
serta yang diinginkan oleh syari’at kita. Maka penulis mengajak
pembaca sekalian untuk meluangkan waktu barang 5 menit untuk bersama
mempelajari hal ini sehingga ketika tiba waktunya untuk diamalkan sudah
dapat beramal dengan ilmu.
Pengertian Tayammum
Kami mulai pembahasan ini dengan mengemukakan pengertian tayammum.
Tayammum secara bahasa diartikan sebagai Al Qosdu (القَصْدُ) yang
berarti maksud. Sedangkan secara istilah dalam syari’at adalah sebuah
peribadatan kepada Allah berupa mengusap wajah dan kedua tangan dengan
menggunakan
sho’id yang bersih[1]. S
ho’id adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak[2].
Dalil Disyari’atkannya Tayammum
Tayammum disyari’atkan dalam islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As
Sunnah dan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin[3]. Adapun dalil dari Al
Qur’an adalah firman Allah
‘Azza wa Jalla,
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu”. (QS. Al Maidah [5] : 6).
Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda
Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman
rodhiyallahu ‘anhu,
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ »
“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was
sallam ) permukaan bumi sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk
besuci[4] (tayammum) jika kami tidak menjumpai air”.[5]
Media yang dapat Digunakan untuk Tayammum
Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan
bumi yang bersih baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair,
lembab ataupun kering. Hal ini berdasarkan hadits Nabi
shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman
rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,
جُعِلَتِ الأَرْضُ كُلُّهَا لِى وَلأُمَّتِى مَسْجِداً وَطَهُوراً
“Dijadikan (permukaan, pent.) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam) dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”.[6]
Jika ada orang yang mengatakan bukankah dalam sebuah hadits Hudzaifah
ibnul Yaman[7] Nabi mengatakan tanah?! Maka kita katakan sebagaimana
yang dikatakan oleh Ash Shon’ani
rohimahullah,
“Penyebutan sebagian anggota lafadz umum bukanlah pengkhususan”[8].
Hal ini merupakan pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri Imam Malik,
Imam Abu Hanifah[9] demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Amir
Ashon’ani[10], Syaikh Al Albani[11], Syaikh Abullah Alu Bassaam[12] -
rohimahumullah-, Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan[13] dan Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy
hafidzahumallah[14].
Keadaan yang Dapat Menyebabkan Seseorang Bersuci dengan Tayammum
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan
hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum,
- Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak[15].
- Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya
kebutuhan lain yang memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan
memasak.
- Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit.
- Ketidakmapuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan
tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang
yang mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran
habisnya waktu sholat.
- Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut.
Tata Cara Tayammum Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
Tata cara tayammum Nabi
shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin Yasir
rodhiyallahu ‘anhu,
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ
فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ
كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله
عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » .
فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ
مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ
بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu
keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air.
Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang
berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan,
“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau
memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu
meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan
mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[16]
Dan dalam salah satu lafadz riwayat Bukhori,
وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.
Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau
shallallahu ‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.
- Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan kemudian meniupnya.
- Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
- Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
- Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan saja.
- Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan tangan saja atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu[17].
- Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah, demikian juga untuk hadats kecil.
- Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum.
Pembatal Tayammum
Pembatal tayammum sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga tayammum
tidak dibolehkan lagi apa bila telah ditemukan air bagi orang yang
bertayammum karena ketidakadaan air dan telah adanya kemampuan
menggunakan air atau tidak sakit lagi bagi orang yang bertayammum
karena ketidakmampuan menggunakan air[18]. Akan tetapi shalat atau
ibadah lainnya[19] yang telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu
mengulanginya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri
radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ ، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ – وَلَيْسَ
مَعَهُمَا مَاءٌ – فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا ، فَصَلَّيَا ، ثُمَّ
وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ
وَالْوُضُوءَ ، وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ
لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ : أَصَبْت السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْك صَلَاتُك
وَقَالَ لِلْآخَرِ : لَك الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya.
Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan
menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was
sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala[20]”[21].
Juga hadits Nabi
shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh
rodhiyallahu ‘anhu,
الصَّعِيدُ وُضُوءُ الْمُسْلِمِ ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ
سِنِينَ.فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيُمِسَّهُ
بَشَرَتَهُ
“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh muslim jika ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun (kiasan bukan pembatasan angka)[22], apabila ia telah menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat untuk besuci”.[23]
Di Antara Hikmah Disyari’atkannya Tayammum
Sebagai penutup kami sampaikan hikmah dan tujuan disyari’atkannya
tayyamum adalah untuk menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur
dengan syari’at ini serta tidaklah sama sekali untuk memberatkan kita,
sebagaimana akhir firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 6,
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ
يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
Abul Faroj Ibnul Jauziy
rohimahullah mengatakan ada empat penafsiran ahli tafsir tentang
nikmat apa yang Allah maksudkan dalam ayat ini,
Pertama, nikmat berupa diampuninya dosa-dosa[24].
Kedua, nikmat berupa hidayah kepada iman, sempurnanya agama, ini merupakan pendapat Ibnu Zaid
rohimahullah.
Ketiga, nikmat berupa keringanan untuk tayammum, ini merupakan pendapat Maqotil dan Sulaiman.
Keempat, nikmat berupa penjelasan hukum syari’at, ini merupakan pendapat sebagian ahli tafsir[25].
Demikianlah akhir tulisan ini mudah-mudahan menjadi tambahan ‘amal bagi penulis dan tambahan ilmu bagi pembaca sekalian.
Allahumma Amiin.
Di waktu Dhuha, Ahad 12 Dzulhijjah 1430 H.
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Artikel
www.muslim.or.id
[1] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin
rohimahullah hal. 231/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.
[2] Kami ringkas dengan penyesuaian redaksi dari Lisanul ‘Arob oleh Muhammad Al Mishriy
rohimahullah hal. 251/III, terbitan Darush Shodir, Beirut, Lebanon.
[3] Sebagaimana dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i
rohimahullah. [Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi
rohimahullah hal. 279/IV cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa].
[4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abdullah Alu Bassaam
rohimahullah hal. 412/I terbitan Maktabah Asaadiy, Mekkah, KSA.
[5] HR. Muslim no. 522.
[6] HR. Ahmad no. 22190, dinyatakan shohih lighoirihi oleh Syaikh
Syu’aib Al Arnauth dalam Ta’liq beliau untuk Musnad Imam Ahmad,
terbitan Muasa’sah Qurthubah, Kairo, Mesir.
[7] Yang kami maksud adalah hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam,
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ »
Demikian juga hadits dari sahabat ‘Ali yang diriwayatkan Imam Ahmad
dalam Musnadnya no. 774 dinyatakan Shohih oleh Syaikh Ahmad Syakir,
« وَجُعِلَ اَلتُّرَابُ لِي طَهُورًا »
[8] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani
rohimahullah hal. 354/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[9] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 280/IV.
[10] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 351-352/I.
[11] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
rohimahullah hal. 31/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[12] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom
hal. 414/I.
[13] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 38 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan
hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[14] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adhim bin Badawiy Al Kholafiy
hafidzahullah hal
. 56 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[15] Asy Syaukani menambahkan keadaan yang dapat menyebabkan
seseorang bersuci dengan tayammum dengan jauhnya air, kemudian beliau
menambahkan batasan suatu jarak dikatakan tidak jauh dalam hal ini
dengan adanya kemungkinan seseorang dapat mendapatkan air kemudian
berwudhu dengannya dan dapat sholat pada waktunya. [lihat As Saylul
Jaror oleh Asy Syaukani
rohimahullah hal. 129/I, terbitan
Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon.] namun Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa batasan dikatakan tidak jauh itu
adalah urf/penilaian masyarakat [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’ hal. 235/I ].
Tambahan dari editor,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “…. Akan tetapi, mereka
juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang
tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di
waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’
suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol
(lebih utama). Walhamdulillah.”[ Majmu’ Al Fatawa, hal. 458/XXI.]
[16] HR. Bukhori no. 347, Muslim no. 368.
[17] Kami katakan demikian karena ke
mutlakan yang ada dalam ayat tayammum (
وَأَيْدِيكُمْ ,”Dan sapulah tanganmu”. [QS. Al Maidah (5) : 6]) tidak bisa di di
muqoyyadkan dengan ayat wudhu (
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ, “Dan basuhlah tanganmu sampai dengan siku”
[QS.
Al Maidah (5) : 6]), karena hukum kedua masalah ini berbeda (yang satu
masalah tayammum yang lainnya wudhu) walaupun sebabnya sama, hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin
rohimahullah dalam
Syarh Nadzmul Waroqot hal. 123, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh dan lihat juga
Ma’alim Ushul Fiqh oleh Syaikh Muhammad Husain bin Hasan Al Jaizaniy, hal. 441, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
[18] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal.56.
[19] Karena tayammum merupakan badal/pengganti dari wudhu. Sehingga
apa yang dibolehkan dengan berwudhu dibolehkan juga dengan tayammum.
[Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 360/I ].
[20] Yaitu satu pahala untuk sholat yang pertama dan satu pahala untuk sholat yang kedua. [Lihat
Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 362/I,
Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 426/I].
[21] HR. Abu Dawud no. 338, An Nasa’i no. 433. Dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 3861.
[22] Lihat
Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 422/I.
[23] HR. Ahmad no. 21408, Tirmidzi no. 124, Abu Dawud no. 333, An
Nasa’i no. 420, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh
Al Albani dan dinyatakan
shohih lighoirihi oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
[24] Dalil tentang hal ini hadits
Humroon tentang wudhunya Utsman bin Affan
rodhiyallahu ‘anhu.
[25] Lihat
Zaadul Masiir hal. 108, Asy Syamilah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cara Mandi Junub Yang Benar
Maret 11, 2008 — sirbram
Mandi junub itu ialah mandi yang diwajibkan oleh agama Islam atas orang-orang
mukalaf dari kalangan pria maupun wanita untuk membersihkan diri dari
hadats besar. Dan
menurut aturan Syari’at Islamiyah, mandi junub itu dinamakan mandi
wajib dengan mengalirkan air ke seluruh bagian tubuh. Mandi junub ini
adalah termasuk dari perkara syarat sahnya shalat kita, sehingga bila
kita tidak mengerjakannya dengan cara yang benar maka mandi junub kita
itu tidak dianggap sah sehingga kita masih belum lepas dari hadats
besar. Akibatnya shalat kita dianggap tidak sah bila kita menunaikannya
dalam keadaan belum bersih dari hadats besar dan kecil. Sedangkan
mandi junub yang benar itu ialah mandi junub yang dilakukan dengan
mengamalkan car-cara mandi junub yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.
Beberapa keadaan yang diwajibkan untuk mandi junub :
Ada beberapa keadaan yang menyebabkan dia dianggap dalam keadaan
berhadat besar sehingga diwajibkan dia untuk melepaskan diri darinya
dengan mandi junub. Beberapa keadaan itu adalah sebagai berikut :
1. Keluarnya mani, apakah karena syahwat atau karena sebab yang
lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut :
(tulis haditsnya di Syarah Shahih Muslim An Nawawi juz 4 hal. 30 hadits ke 81)
Dari Abi Sa’id Al Khudri dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam, bahwa beliau bersabda : “Hanyalah air itu (yakni mandi) adalah
karena air pula (yakni karena keluar air mani”. HR. Muslim dalam
Shahihnya.
Dalam menerangkan hadits ini Al Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf
An Nawawi menyatakan : “Dan Ma’nanya ialah : Tidak wajib mandi dengan
air, kecuali bila telah keluarnya air yang kental, yaitu mani”.
2. Berhubungan seks, baik keluar mani atau tidak keluar mani. Hal ini
sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam dalam sabdanya sebagai berikut :
(tulis haditsnya di Fathul Bari Ibni Hajar jilid 1 hal. 395 hadits ke 291)
Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi sallallahu alaihi
waalihi wasallam, bahwa beliau bersabda : “Apabila seorang pria telah
duduk diantara empat bagian tubuh permpuan (yakni berhubungan seks)
kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (yakni memasukkan kemaluannya
pada kemaluan perempuan itu), maka sungguh dia telah wajib mandi
karenanya”. HR. Bukhari dalam Shahihnya.
3. Berhentinya haid dan nifas (Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam rubrik kewanitaan).
4. Mati dalam keadaan Muslim, maka yang hidup wajib memandikannya.
(Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam topik pembahasan “cara
memandikan jenazah”).
Cara menunaikan mandi junub :
Karena menunaikan mandi junub itu adalah termasuk ibadah kepada Allah
Ta’ala, maka disamping harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah
semata, juga harus pula dilaksanakan dengan cara dituntunkan oleh
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dalam hal ini terdapat
beberapa riwayat yang memberitakan beberapa cara mandi junub tersebut.
Riwayat-riwayat itu adalah sebagai berikut :
1. (tulis hadisnya dalam Sunan Abi Dawud jilid 1 hal. 63 hadits ke 249)
“Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam telah bersabda : Barangsiapa yang meningggalkan bagian
tubuh yang harus dialiri air dalam mandi janabat walaupun satu rambut
untuk tidak dibasuh dengan air mandi itu, maka akan diperlakukan
kepadadanya demikian dan demikian dari api neraka”. HR. Abu Dawud dalam
Sunannya hadits ke 249 dan Ibnu Majah dalam Sunannya hadits ke 599. Dan
Ibnu Hajar Al Asqalani menshahihkan hadits ini dalam Talkhishul Habir
jilid 1 halaman 249.
Dengan demikian kita harus meratakan air ketika mandi janabat ke
seluruh tubuh dengan penuh kehati-hatian sehingga dilakukan penyiraman
air ketubuh kita itu berkalai-kali dan rata.
2. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 429 hadits ke 248)
“Dari A’isyah radhiyallahu anha beliau menyatakan : Kebiasaannya
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam apabila mandi junub,
beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian beliau
berwudhu’ seperti wudhu’ beliau untuk shalat, kemudian beliau memasukkan
jari jemari beliau kedalam air, sehingga beliau menyilang-nyilang
dengan jari jemari itu rambut beliau, kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh tubuh beliau”. HR. Al Bukhari dalam Shahihnya hadits nomer 248
(Fathul Bari) dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 316. Dalam riwayat
Muslim ada tambahan lafadl berbunyi demikian : “Kemudian beliau
mengalirkan air ke seluruh tubuhnya, kemudian mencuci kedua telapak
kakinya”.
Jadi dalam mandi junubnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam, beliau memasukkan air ke sela-sela rambut beliau dengan
jari-jemari beliau. Ini adalah untuk memastikan ratanya air mandi junub
itu sampai ke kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di atasnya.
Sehingga air mandi junub itu benar-benar mengalir ke seluruh kulit
tubuh.
3. (tulis haditsnya di Shahih Muslim Syarh An Nawawi juz 3 hal 556 hadits ke 317)
“Maimunah Ummul Mu’minin menceritakan : Aku dekatkan kepada
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam air mandi beliau untuk
janabat. Maka beliau mencuci kedua telapak tangan beliau dua kali atau
tiga kali, kemudian beliau memasukkan kedua tangan beliau ke dalam
bejana air itu, kemudian beliau mengambil air dari padanya dengan kedua
telapak tangan itu untuk kemaluannya dan beliau mencucinya dengan
telapak tangan kiri beliau, kemudian setelah itu beliau memukulkan
telapak tangan beliau yang kiri itu ke lantai dan menggosoknya dengan
lantai itu dengan sekeras-kerasnya. Kemudian setelah itu beliau
berwudlu’ dengan cara wudlu’ yang dilakukan untuk shalat. Setelah itu
beliau menuangkan air ke atas kepalanya tiga kali tuangan dengan sepenuh
telapak tangannya. Kemudian beliau membasuh seluruh bagian tubuhnya.
Kemudian beliau bergeser dari tempatnya sehingga beliau mencuci kedua
telapak kakinya, kemudian aku bawakan kepada beliau kain handuk, namun
beliau menolaknya”. HR. Muslim dalam Shahihnya hadits ke 317 dari Ibnu
Abbas.
Dari hadits ini, menunjukkan bahwa setelah membasuh kedua telapak
tangan sebagai permulaan amalan mandi junub, maka membasuh kemaluan
sampai bersih dengan telapak tangan sebelah kiri dan setelah itu telapak
tangan kiri itu digosokkan ke lantai dan baru mulai berwudhu’. Juga
dalam riwayat ini ditunjukkan bahwa setelah mandi junub itu, sunnahnya
tidak mengeringkan badan dengan kain handuk.
4. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 372 hadits ke 260)
“Dari Maimun (istri Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam),
beliau memberitakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
ketika mandi janabat, beliau mencuci kemaluannya dengan tangannya,
kemudian tangannya itu digosokkan ke tembok, kemudian setelah itu beliau
mencuci tangannya itu, kemudian beliau berwudlu’ seperti cara wudlu’
beliau untuk shalat. Maka ketika beliau telah selesai dari mandinya,
beliau membasuk kedua telapak kakinya”. HR. Bukhari dalam Shahihnya,
hadits ke 260.
Dari hadits ini, menunjukkan bahwa menggosokkan telapak tangan kiri
setelah mencuci kemaluan dengannya, bisa juga menggosokkannya ke tembok
dan tidak harus ke lantai. Juga dalam hadits ini diterangkan bahwa
setelah menggosokkan tangan ke tembok itu, tangan tersebut dicuci, baru
kemudian berwudlu’.
Penutup Dan Kesimpulan :
Dari berbagai riwayat tersebut di atas kita dapat simpulkan, bahwa cara mandi junub itu adalah sebagai berikut :
1. Mandi junub harus diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala dalam rangka menta’atiNya dan beribadah kepadaNya semata.
2. Dalam mandi junub, harus dipastikan bahwa air telah mengenai
seluruh tubuh sampaipun kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di
manapun di seluruh tubuh kita. Karena itu siraman air itu harus pula
dibantu dingan jari jemari tangan yang mengantarkan air itu ke bagian
tubuh yang paling tersembunyi sekalipun.
3. Mandi junub dimulai dengan membasuh kedua telapak tangan sampai
pergelangan tangan, masing-masing tiga kali dan cara membasuhnya dengan
mengguyur kedua telapak tangan itu dengan air yang diambil dengan
gayung. Dan bukannya dengan mencelupkan kedua telapak tangan itu ke bak
air.
4. Setelah itu mengambil air dengan telapak tangan untuk mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri sehingga bersih.
5. Kemudian telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai atau ke tembok sebanyak tiga kali. Dan setelah itu dibasuh dengan air.
6. Setelah itu berwudlu’ sebagaimana cara berwudlu’ untuk shalat.
7. Kemudian mengguyurkan air dari kepala ke seluruh tubuh dan
menyilang-nyilangkan air dengan jari tangan ke sela-sela rambut kepala
dan rambut jenggot dan kumis serta rambut mana saja di tubuh kita
sehingga air itu rata mengenai seluruh tubuh.
8. Kemudian bila diyakini bahwa air telah mengenai seluruh tubuh,
maka mandi itu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki sampai mata
kaki.
9. Disunnahkan untuk tidak mengeringkan badan dengan kain handuk atau kain apa saja untuk mengeringkan badan itu.
10. Disunnahkan untuk melaksanakan mandi junub itu dengan tertib
seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam.
Demikianlah cara mandi junub yang benar sebagaimana yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan juga telah
dicontohkan oleh beliau. Semoga dengan kita menunaikan ilmu ini, amalan
ibadah shalat kita akan diterima oleh Allah Ta’aala karena kita telah
suci dari junub atau hadats besar. Amin Ya Mujibas sa’ilin.1. Tentang
pengertian
orang yang mukalaf , artinya orang yang telah
baligh dari sisi usianya dan telah mumayyiz dari sisi kemampuan
berfikirnya. Mumayyiz itu sendiri artinya ialah kemampuan membedakan
mana yang bermanfaat baginya dan mana pula yang bermudarat.
2. Tentang pengertian
hadatas besar , telah diterangkan dalam Salafi ed. 1 th. V hal. ?
3. Ar Raudhatun Nadiyah, Al Allamah Shiddiq Hasan Khan, hal. 35.
4. Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An
Nawawi, jilid 2 hal. 153, Darul Fiker Beirut Libanon, cet. Th. 1417 H /
1996 M.