Senin, 10 Maret 2014

Cerpen Amar Ar-Risalah: Parkir


Tentu saja seperti biasa, kalau di tepi kampus kita ada pohon-pohon yang rindang, tua, dan bijaksana. Beberapa orang berjalan tenang sambil mengingat-ingat sandiwaranya masing-masing tadi siang. Di dekat sana, dibangun gedung parkir besar yang bertingkat enam. Orang-orang biasa menata kendaraan tersayangnya dengan riang; begitu terulang setiap hari. Kampus hijau yang semarak; tempat anak-anak jenaka itu menemukan malaikat dan setannya, lalu memadu kasih di taman-taman yang muda.

Gedung parkir diperuntukkan bagi sepeda motor. Ruang terbuka di dalam kampus, biasa dilalui delman, gerobak, atau becak-becak yang tua. Anak-anak itu tidak banyak protes; begitu memang diajarkan: ikhlas menerima setiap keputusan. Seperti anak desa yang lugu dan manis, rida dengan apa yang ditimpakan pada nasibnya. Apapun juga. mereka Cuma akan tertawa dan mendoakan yang baik-baik saja. motor-motor terparkir penuh. Penjaga akan mengatur bagaimana masuk dan keluarnya, serta menarik bayaran seribu rupiah. Anak-anak itu ikhlas menerima debu-debu yang menempel di kendaraan mereka setiap memarkir kendaraan, karena gedung itu belum jadi dengan sempurna. Kalau kau sempat parkir di sana dari pagi dan pulang ketika sore hari, kau akan mendapati debu cokelat meliputi motor, dan bisa kau tiup seperti terigu.

Ini cerita lama; begini: beberapa tahun lalu; rektor mereka (yang suka baca komik, memanggilnya dengan sebutan “Ayah”) berjuang untuk mengembangkan gedung-gedung tua yang ditumpuk-tumpuk di lemari besar universitas. Ia bernegosiasi dengan beberapa orang, dan seorang petinggi kerajaan memenangkan tendernya. Ia punya banyak batu bata. Ia juga punya banyak semen, besi, dan pekerja-pekerja yang tak akan bilang apa-apa kalau ditanya. Cuma tersenyum, lalu basa-basi melangkah pergi. Si petinggi kerajaan adalah kolega akrab Ayah.

Singkatnya, gedung dibangun, dipugar, dan di tengah pengerjaannya, Raja negeri ini, yang punya keahlian memutar balik ruang dan waktu—ini bahkan mampu mengendalikan persepsi kita, hati-hati—membuat si Petinggi Kerajaan terlibat sebuah kasus besar; ia menyebarkan foto telanjang gadis yang entah siapa ke dekanat dan rektorat.  Tentu, foto itu sebenarnya dengan mudah kita sebarkan lewat telepon genggam. Tapi masalahnya, gadis itu tidak asing buat kita. Kasus ini bahkan kena juga pada perguruan-perguruan besar lain di kerajaan. Bahwa guru-guru kita itu memang doyan perempuan, dan kebetulan perempuan dalam foto itulah yang paling sering diemut. Foto bugil ini menyebar bersamaan dengan rumor bahwa petinggi kampus juga bercinta dengannya. Itulah kenapa kadang lampu gedung menyala sampai malam. Si gadis, ketika diketahui identitasnya, Cuma senyum-senyum saja dan mengatakan “Aku Cuma utusan. Orang-orang yang bercinta denganku tidak bersalah; Cuma waktu memang sudah diputarbalik dan ruang dibengkokkan oleh Raja negeri kita...”
***
Sebetulnya kurang penting masa lalu gedung itu. anak-anak kampus kita inipun pada dasarnya suka juga pada wanita telanjang. Gadis itu, kerap ditemui main-main ke halaman belakang gedung-gedung dekanat dan perkumpulan anak-anak. Memang cantik; memang senyumnya itu manja. Memang bagian kaki sampai atasnya si gadis itu mampu memalingkan anak-anak dari pandangan. Ia bahkan membuat perempuan-perempuan genit di sekitar cemburu. Pacar-pacar mereka—sebagian menjadi ketua perkumpulan anak-anak itu—betah seminggu-dua minggu memelototi kamar mandi rektorat, yang suaranya gebyar-gebyur: ah! Si gadis sedang mandi. Anak-anak Cuma lirik-lirik sambil senyum tipis sambil membayangkan yang gebyar-gebyur itu pacarnya dan yang menggebyurinya tentu dirinya sendiri.

Sayang, di depan pintu ada memo dari rektor: “jangan ngintip! Sana, buru-buru lulus, dan nikah dengan gadis sejenis”. Di tempat lain banyak memo-memo seperti itu ditempel sebagai slogan. Jadi semacam dogma, misalnya: “dilarang berduaan. Dosenmu cemburu”, “sing penting mbayar. Mangan ora mangan kumpul!”, “Kalau kisah cintamu kau anggap mengenaskan, lalu kau sebut apa skripsimu”, dan yang paling mencolok: Selamat Datang, Cepat-cepat Pulang Ya!” dengan memo-memo ini, orang punya alasan mengusir anak-anak itu.

Anak-anak sebetulnya menikmati rutinitas itu setiap harinya. Sampai suatu hari, beberapa orang tua( sepertinya penjaga gedung. Aku mengenal ukuran tubuhnya) mengendap-endap. Membawa karung yang besar; berlumur darah. Malam. Senter. Mereka keluar dari gedung parkir, sambil menyeret terus karung itu. lampu-lampu meredup.

“Jangan sampai jatuh!”

“Ya. Gampang! Besok malam, katanya ada lagi yang mesti dibuang”

“Tugas kita Cuma ngangkuti ini sampai beres...”

Darah menetes-netes. Dan karena malam memang sangat gelap, mata tua mereka tak sanggup memperhatikan, bahwa ada darah yang menetes, dan itu membekas di lantai, sampai pagi. Luput dibersihkan.
***
Antrian yang panjang terjadi di loket gedung parkir. Anak-anak itu menemukan darah tercecer dan memelesetkan ban kendaraan mereka. Semuanya bertanya-tanya, ini apa, ini darah siapa?

Kasak kusuk pagi itu ditenangkan, kepala penjaga memberikan penjelasan seperlunya. Bahwa semalam itu ada maling tertangkap, dan ia digebuki satpam, karena itu, patutlah diapresiasi satpam kita ini. darah si maling pun menetes, dan merayapi jalur parkiran itu. lagi-lagi memang kampus itu berhasil mewariskan tradisi kritis yang diimbangi dengan kerelaan serta keikhlasan hati yang luar biasa. Semuanya ikhlas menerima bahwa di gedung parkir ada ceceran darah yang banyak, dan semuanya ikhlas menerima bahwa itu bukan sesuatu yang layak dipikirkan. Cuma obrolan ringan di kantin yang dibumbui, itulah akhirnya.

Pada siangnya; darah itu telah dibersihkan dan antrian memudar. Semuanya masih bertanya-tanya, itu darah siapa, tapi semuanya juga masih mahfum; bahwa pertanyaan-pertanyaan itu melanggar hakikat dirinya sebagai manusia yang putih, yang tawadhu menerima takdir dan segala perubahannya. Determin; ya; waktu dan ruang terlalu determin buat mereka. Itu membuat sikap anak-anak ini sangat ikhlas, raja’, dan begitu santun terhadap siapa saja di kampus. Pada akhirnya ruang dan waktulah yang memiliki kehendak—karena manusia ditugaskan memainkan birama-birama indah hidup yang diciptakan oleh komposernya. Dan ketika dimainkan pada komposisi yang benar; lagu yang paling cinta, lagu yang paling kita akan terdengar dan menjangkau sejak pembuluh darah sampai sudut-sudut sempit kota kita. Anak-anak kita ini adalah anak-anak yang kalau bikin lagu atau puisi, mungkin dijuduli “Ikhlas”.

Beberapa bulan telah beranjak. Ceceran darah itu sudah tidak membekas. Anak-anak yang memotretnya pun sudah membuangnya dari ingatan. Kini gedung parkir makin ramai, karena orang makin banyak yang membawa motor ke kampus. Makin banyak juga penjaga yang mengatur. Si gadis yang kita ceritakan di atas, makin bebas juga keluar masuk ruang berkas atau mampir di wisuda-wisuda atau promosi ilmuan baru yang diterbitkan. Ia kini punya ruang sendiri. Ruangannya bahkan lebih ramai dari kantin, karena selalu dikunjungi orang-orang di kampus, baik yang punya urusan, maupun yang sekedar ngintip kalau dia sedang ketahuan mandi dan lupa menutup ventilasi.

Perempuan-perempuan yang kuliah di kampus mulai berang. Mereka tak suka pacar mereka punya kebiasaan ngintip kamar mandi si gadis setiap pulang kelasnya. Untuk urusan ini, perempuan mana yang bisa ikhlas?

“Masku itu lho! Sekarang lupa menyelesaikan tulisannya, setiap kali dia Cuma intip-intip kamar mandi di gedung, itu, gadis tengil dan model bugil”

“Ya bagaimana. Habisnya memang kita ini kalah seksi sih. Atau kamu berani sebar foto bugil ke pacarmu, biar dia membelalakimu terus!”

“Idih, ku gampar dia pakai skripsi sampai amnesia. Ayah juga sih, foto bugil di sebar...”

Anjrit..” maki perempuan-perempuan itu. “Ayah kita demen amat sih sebar foto bugil dan miara modelnya...”

“Itu gadis memang harus kita singkirkan...” tegas seorang perempuan. “Kampus alim ulama gini kok miara cabe...”

Dari jauh, kerumunan pacar mereka tengah terengah-engah memantau segenap pergerakan lembut yang begitu basah, yang terawang dari ventilasi kamar mandi. Dosen Cuma foto-foto dan langsung pulang.
***
Pagi itu pecah. Semuanya gempita, “Ada mayat! Ada mayat! Ada mayat di parkiran kampus!” semuanya tergopoh-gopoh, pagi baru saja muncul sudah ada mayat di gedung parkir. Lehernya menjuntai, digorok dan semua mata tertuju pada mayat itu.

Ya, si gadis tewas digorok, dan mayatnya tergeletak di gedung parkir!

“Itu mayat gadis!” kata seorang anak. “Mana sih!” yang lain tak sempat melihat karena berdesak-desakan. “Itu mayat, itu mayat!”

“Ayah! Ayaaah! Gadis kampus kita tewas! Ayaaah!” sebagian bersorak-sorak membelalak, itu mayat gadis kesayangan ayah kan! Pikir mereka. Dari jauh, Ayah tampak pucat dan menelepon seseorang.

“Bukan!” tiba-tiba Ayah dan paman-paman datang. “Itu bukan mayat!”

“Tapi itu manusia kan, Ayah, itu mayat!” kata seorang anak, “Itu kan gadis Ayah, masak tak teliti sih!” yang lain bergidik ngeri campur mual. Anak-anak itu mulai mengacungkan perekam dan memotret-motret sampai puas.

“Ini bukan mayat!” Ayah mendekati si mayat. “Lihat, ini bukan mayat!”

Lamat-lamat ia membalikkan jenazah itu. tiba-tiba, matanya panas. Tangannya gemetar. “Ini benar-benar mayat...” katanya dalam hati.

Semua—Ayah, paman-paman dekanat, dan abdi dalemnya meluber, memandang mayat itu dengan gamang. Gadis kesayangan Ayah, yang sudah dianggap sebagai buah hati sendiri, kini ditemukan tewas tergorok oleh orang tak dikenal. Kampus diliburkan hari itu, tetapi menyimpan tanda tanya besar yang digambar anak-anak di depan gedung parkir.  Pita  kuning dililitkan. Tak seorangpun boleh melintas ke sana. Tak seorangpun tahu perasaan Ayah.

Tepat keesokan harinya, ketika anak-anak kembali datang untuk belajar, di depan gedung parkir sudah dipasangi sesuatu. entah kenapa mayat itu tidak dibawa atau dimakamkan, atau diambil pihak berwajib. Mayat itu Cuma ditutup kain putih, dan ada papan di pasang, bertulis: INI BUKAN MAYAT. SELESAI BELAJAR LANGSUNG PULANG! TERTANDA, AYAH”

Anak-anak itu protes, tapi Cuma bisa menggumam-gumam. Tukang parkir dan penjaga loket seperti tak mau kehilangan kesempatan, tanpa sepengetahuan orang, tarif parkir dinaikkan, lalu di karcis parkir juga ditulis: INI BUKAN MAYAT, SELESAI BELAJAR LANGSUNG PULANG! TERTANDA, AYAH WISATA LIHAT MAYAT Rp. 1.500,-. Kontan anak-anak geger dan ramai-ramai membincangkan itu. koran kampus memberitakan kejadian ini: “Bukan Mayat Ditemukan di Kampus”. Anak-anak mulai penasaran, dan mengerumuni gedung parkir. Kerumunan itu Cuma bubar kalau sudah jam kuliah, atau kalau hujan datang. Kampus jadi tempat wisata lihat mayat.

Hari-hari pertama masih biasa saja, malah banyak yang senang melihat mayat dan tidak keberatan ongkos parkir dinaikkan. Cuma masalahnya, mulai satu minggu setelahnya bau busuk dari mayat gadis kesayangan Ayah mulai meracuni angin. Bau yang paling bau yang pernah dicium anak-anak. Semua yang datang ke kampus mesti menahan nafas, dan karena mereka menutup hidung, semuanya kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini membuat mereka juga sulit bicara banyak. Semua mual-mual dan keburu muntah kalau mau menjelaskan mayat dan baunya, yang tepat di depan gedung parkir dan Cuma ditutup kain putih. Rumor-rumor juga susah disebarkan, karena baunya menghalangi orang untuk banyak minum udara untuk bicara dengan yang lainnya.

Lalat-lalat mulai datang. Suatu siang pernah segenggam belatung besar menggeliat, terus tumpah dari isi kepala si mayat lalu menembus kain dan menyebarkan bau manusia yang membusuk. Cairan mengalir dari pori-pori mayat, dan membasahi—tepatnya melengketi—jalur menuju area parkir dari loket. Lalat-lalat hijau dan hitam beterbangan dan berdengung, memenuhi area kampus, bau mayatnya sudah meresapi segenap sisa ruang nafas di sana.

Hampir semua anak yang ke kampus mengenakan masker. Wajah mereka disumpal masker. Semuanya jadi tak saling kenal, kecuali kalau mereka sudah masuk ke dalam kelas karena di sana berpendingin dan tak ada bau yang bisa mereka hirup sambil muntah. Berminggu-minggu keadaan ini seperti dibiarkan, dan kalau kita main ke kampus yang rindang itu, rasanya seperti di Bulan, kita Cuma bisa ketemu astronot yang mengenakan pelindung wajah, mungkin karena Bulan itu bau dan banyak lalatnya.

Anak-anak yang tidak tahan mulai menuntut. Mereka menggedor-gedor kamar kerja Ayah yang besar, dan berperedam suara.

“Ayah, Ayah! Engkau di mana! Beresilah rumah kita ini, mayat gadismu itu bau dan menyebar ke penjuru rumah!”

“Ayaaah!” pelan-pelan, pintu kamar yang berat terbuka. Ayah keluar. Semua anak kompak mencium tangannya dan membungkuk. Senyum sambil tutup hidung. Ayah sendiri mengenakan masker, dan memakai helm astronot yang entah dari mana datangnya. Senyum wibawa. Dengan jas khasnya yang kebapaan.

“Ayah kemana saja? jarang bisa ditemui, kami kangen dan menghirup bau ini sendiri”,

“Ayah lagi kerja, Nak. gimana nilaimu, bagus?” Kata Ayah. “Kampus ini masih segar kok, tidak bau apa-apa. Makanya, banyak-banyak baca buku. Ini namanya bukan bau, tapi memang beginilah rasa angin dan sense kalau akhir musim menjelang...”

“Iya ya, Ayah. Kapan-kapan aku ditambahi ya ongkosnya... harga buku naik, parkir juga naik..” sepertinya, anak-anak ini tidak paham apa yang aku maksud, pikir Ayah.

“Beres,” Sambung Ayah, “Kamu belajar saja. ayahmu ini juga nanti yang bangga kalau kamu berprestasi, kan? Soal bau ini; memang penjaga lupa merawat selokan dan mengangkuti daun-daun di halaman”

“Gitu ya, Ayah.” Anak-anak itu terdiam. “Ayah suka main ke gedung parkir tidak?”

“Ooh, Ayah bawa mobil. Itu di depan. Kamu naik motor ya? Bagaimana, gedung parkirnya bagus kan? Sebentar lagi akan dihias-hias”

Percakapan selanjutnya banyak ditulis di naskah-naskah kuno. Memang di kampus kita ini ada jurusan yang biasa membahas naskah-naskah kuno itu, dan melestarikan nilai luhurnya. Soal bagaimana anak mematuhi perintah Ayahnya. Beberapa anak suka mempelajari lalu memainkannya. Berteater, dan mementaskan sandiwara ini sebagai atraksi tahunan. Adalah kebanggaan tertinggi kalau bisa menemui Ayah karena bersandiwara dan sandiwaranya ini sangat mirip dengan pura-puranya. Sandiwara kan sekedar kepalsuan yang dilatih, begitu kata Ayah.

Ayah kembali memasuki kamarnya. Pintu berbunyi keras, meski tidak dibanting. Memang begitulah kamar Ayah. Di dalam, paman-paman tegang. Mereka menunggu kalau-kalau sesuatu dilakukan bocah-bocah nekat yang tadi menemui Ayah, atau malah Ayah yang mencium bau malah mendamprat semua orang.

“Gimana Pak. Anak-anak ini pintar. Sekali mayat, ya tetap mayat. Cuma orang pandir yang suka keliling kampus kalau jam lima sore itu yang bilang kalau itu bukan mayat, tapi makanan yang jatuh dan lupa diambil terus menumpuk!” buka seseorang.

“Diamlah, Paman. Aku masih berduka cita atas kematian gadis tercintaku” Ayah mengatakanya sambil menunduk. Sebuah pose yang tak pernah dilihat anak-anaknya.

“Iya. Tapi mayatnya itu lho. Kau nggak kubur atau timbun pakai semen, begitu? Aku sendiri hampir alzeimer waktu cium baunya”

“Yang aku pikirkan sekarang, aku harus kembali bisa berpikir jernih. Gimana ya?”

“Sableng. Kau pikir segampang itu tanya padaku? Salahmu sendiri nggak kasih saran waktu aku membolehkan gadis itu tinggal di sini. Aku tahu banyak yang tidak suka padanya, karena dia cantik, dan isunya kan kamu suka mengonsumsi dia sampai mblenger!”

Paman yang lain berdehem, dan memotong, “Ya gara-gara itu kan nilai anak-anak turun semua. Kerjanya Cuma ngintip kamar mandi rektorat, terus coret-coret gambar kemaluan di tembok. Kamu juga sih, cari perempuan kok indah banget”

“Edan. Kau ini nggak ngasih saran apa-apa kok marah,” Kata Ayah. “Sementara ini, anak-anak itu belum paham kalau itu benar-benar mayat. Mayat gadis kesayanganku”

“Terus gimana?”

“Ya kok tanya! Lakukan apa lah sana!”

Sampeyan maunya apa pak? Kami bisa-bisa saja melakukan. Tapi anak-anak itu pinter, nggak gampang dikibuli!”

Ayah dan paman-paman memandangi area kampus lewat jendela rektorat yang menghadap alun-alun universitas. Beberapa anak sedang bercumbu. Yang lain berebut sinyal wifi. Nampak damai-damai saja, bedanya, semuanya pakai masker. Termasuk yang sedang bercumbu. Ayah diam, ia mengalihkan pandangannya pada gedung parkir dan kerumunan orang bercampur lalat yang mengelilingi mayat gadis di depan gedung.

“Mulai besok, itu bukan gedung parkir. Itu tempat wisata. Ini kayaknya bagus jadi peluang bisnis kita” paman-paman melongo. Yang lain tersedak dan memperhatikan kata-kata selanjutnya.

“Bapak yakin?”

“Lha, kamu meragukan aku?”

“Mesti nanti banyak penyesuaian lho pak. Anggaran dari mana buat pelestarian mayat? Lagian, maksudku itu, bapak nggak berduka?”

“Naikkan saja tarifnya, dan buka parkir untuk umum! Itu uang bakal datang tiap hari. Aku sudah ketemu jalan keluarnya. Ini wisata mayat, bukankah koran-koran nasional sudah sibuk memberitakan? Nanti orang-orang datang jauh-jauh hanya untuk melihat, meneliti,dan mengembangkan mayat itu. bayangkan berapa uang datang dari sana!”

“Kubilang lagi: anak itu pinter lho, Pak. Kemarin ku dengar ada kumpul-kumpul, mau nuntut bapak, dan apa bapak nggak berduka?”

“Aku kan bapaknya. Aku lebih tahu apa yang bikin mereka seneng, dan apa yang bikin mereka tuman. Tahu tuman? Ketergantungan pada rektorat, hehehehe. Soal duka-menduka, kau duga-duga saja aku ini gimana orangnya”

“Tuman ya tuman. Tapi bapak memang nggak sadar kalau baunya mulai masuk ke ruangan kita? Ada lho, dekan yang sesak napas terus semaput, ditemukan anak-anak sedang megap-megap di ruangan”

“Ya kan  pendingin ruangan kita mantap, lagian ruangan di sini banyak”

“Pak?” sela paman. “Terus ruang bekas gadis itu gimana?”

“Kau cari lagi saja gadis yang lebih montok dari dia buat ngisi ruang itu. Sebar lagi foto bugilnya, dan jangan lupa: kita bebas parkir!”

“Tuh ada anggaran, aku selipkan dari uang apa gitu tadi... kan enak kalau kau kerja sambil lihat gadis” sambung Ayah.

Ayah mengambil tasnya. Dia menata lagi dasinya, lalu menelepon seseorang, lalu tersenyum lebar dan matanya lebih jernih.

“Aku rapat dulu ya di Kepatihan. Mau nitip?”


Paman-paman kita Cuma bisa melongo, dan melanjutkan kerjanya sambil ngopi, dan berkesimpulan: bejo banget sih bapak ini....

Hikayat Pagar: Sebuah Kenangan

Tadi siang, setelah bertahun-tahun latihan kehidupan di kampus, saya pulang. Ya. Kembali bershalat di masjid masa kecil. Masjid-masjid tua yang isinya orang tua yang begitu arif. Satu demi satu tetangga-tetangga masa kecil saya berdatangan ke masjid.  Tak banyak berubah: masih ada lapangan di depan masjid, pohon-pohon rindang, dan anak-anak desa yang lugu namun cerdas.
Dua kali azan melantun dengan tenang, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Irama yang bila terdengar di telinga, saya akan segera menandainya sebagai irama azan masjid A. Tak lain dan tak bukan. Ah. Saya jadi ingat, di masjid inilah dulu saya belajar membacakan Al-Qur’an, merenungi kehidupan dan asas-asas keseimbangannya. Tak banyak berubah.
Anda pasti pernah mengalami hal-hal seperti ini, pulang, menuju ke masjid tempat ketulusan ala anak-anak dulu masih anda mainkan. Tak ada rumah-rumah berpagar. Hanya rumpunan perdu dan bambu yang dipaku menjaga halaman. Sangkar burung-burung hasil buruan, kandang-kandang ternak, berpadu dengan senyum ramah para pemiliknya yang senantiasa ada di halaman rumahnya.
Pagar. Sampai akhirnya, pagar-pagar di bangun, bersembulan dari dalam tanah. Pagar pertama tumbuh menjalar membelah kampung kami menjadi dua bagian besar: Perumahan dan Perkampungan. Pagar yang begitu abu-abu, memisahkan kehidupan dan kefanaannya.
Pagar kedua muncul di halaman-halaman kami sendiri. Dari dalam tanah, dia mebagi-bagi rumah yang dulunya ramah, jadi tak saling kenal mengenal. Atas nama pagar, tanah dikapling-kapling dan ditandai siapa pemiliknya. Pohon-pohon yang sederhana itu ditebang, dan kayunya diperebutkan dengan harga yang mahal.
***
Lambat laun orang di kampung saya tak lagi saling kenal mengenal. Warga pendatang yang mengontrak memagari rumahnya, lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, hingga kita tak bisa lagi megenali siapa dia. Sapa-menyapa yang dulu jadi rutinitas, kini digantikan dengan tatapan curiga.
Pagar, membuat kami membatasi mana yang milik kami mana yang bukan. Mana yang harus kami beri mana yang harus kami jaga sebagai milik sendiri. Ia lebih dari sekedar batas, ia memisahkan mana perumahan elit, yang berisi uang, kemewahan, dan pekerjaan kantor dengan petani, peternak, dan pekebun yang sederhana.
Bukankah kita jadi bertanya-tanya, apakah beda antara sisi dalam dan luar pagar, dan lebih jauh lagi, apa arti dari sisi dalam dan luar pagar? Pagar membuat  kami memisahkan hidup kami dari para tetangga. Membuat orang, secara psikologis lebih dominan dan posesif terhadap miliknya. Ia adalah batas antar ego manusia.
Ego akan merasa keamanan dirinya terjamin dengan pagar, dengan demikian, ia juga akan merasa kurang membutuhkan orang lain. Inilah asal muasalnya: kampung saya lama kelamaan berubah menjadi sekelompok koloni yang tidak saling kenal mengenal. Koloni, jelas berbeda dengan masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok orang yang punya kesamaan ciri, tujuan, dan cara hidup. Sementara, pagar memisah-misahkannya, dan kini kita mengenal sekoloni masyarakat yang terpisah-pisah karena pagarnya sendiri.
***
Sisi pagar yang satu, diisi rumah-rumah yang berpagar tinggi dan ada kendaraan besar terparkir di depannya. Yang selalu sepi, hanya ada para pembantu atau satpam menjaganya. Anak-anak kampung dilarang masuk dan main layangan, karena kerap dituduh sebagai biang pencurian.
Siapakah mereka? Para pembantu, dulu adalah petani-petani yang menjual tanahnya untuk dijadikan perumahan, dan setelah kehilangan pekerjaan, mereka memanfaatkan keahlian rumah tangganya untuk mencari uang, tanpa pendidikan dan advokasi. Satpam, dulunya para pemilik tanah dan pekebun andal, yang dipaksa menjual tanahnya dengan harga murah, karena rendahnya pendidikan.
Lantas, siapakah anak-anak itu? Tak lain adalah anak-anak tetangganya sendiri, anak-anaknya juga. pagar memisahkan kerabat dan saudara atas nama keamanan dan ketertiban perumahan. Portal-portal yang dibangun dengan besi, melarang siapa saja masuk dan keluar tanpa diawasi, karena perumahan itu menjadi semacam negara dalam kampung kami.
Pada sisi lain pagar, ada orang-orang yang bertahan. Mereka mendirikan rumah-rumah kecil, dan menjadi buruh rendahan dengan upah harian. Sebagian menjadi satpam dan pembantu. Sebagian meminta pekerjaan pada para pendatang. Satpam-satpam itu dulunya adalah petani dan peternak, dan tak mendapatkan pendidikan yang semestinya.
Dulu, sebelum pagar dibangun dan kampung kami berganti musim, orang-orang tidak ingin sekolah, karena sekolah memang mengajarkan ilmu-ilmu orang kota. Sekolah tidak mengajarkan ilmu olah tanah dan olah tani, sehingga sekolah tidak menjawab kebutuhan para petani. Sampai akhirnya pagar dibangun, dan mereka kehilangan tanah-tanah untuk bertani, dan dikalahkan oleh lulusan sekolah tinggi, karena pekerjaan yang ada adalah pekerjaan yang bukan untuk orang yang terdidik oleh alam.
Generasi kedua, yang tumbuh dengan melihat pembangunan pagar, masih mewarisi hal ini. masa kecil mereka akrab dengan situ, balongan, sawah, dan ladang, sehingga tak perlu sekolah, kini berhadapan dengan masa remaja akhir yang Cuma jadi karyawan-karyawan pabrik yang menunggu waktu kapan dipecat, dan tak punya pilihan pekerjaan karena pekerjaan yang tersedia hanya untuk tamatan sekolah, bukan petani.
Pagar. Ia lebih dari sekedar batas, ia adalah pemisah masa lalu dan masa sekarang, sebuah dunia yang individualis, dan hanya pemilik modal saja yang bisa mengusahakan kemakmuran. Pagar-pagar tinggi didirikan, dan ia menjadi penanda semu kemakmuran kampung saya, rumah-rumah dipercantik, namun mereka hanya melihat gambaran kemewahan dari seberang pagar yang lain: bahwa rumah mewah dan pemilik yang makmur ditandai dengan pagar, dan bahwa pagar menandai batas teritorinya sendiri. Orang-orang jadi senang hidup sendiri.

            Pagar hanya indikator kecil dari fenomena besar yang terjadi, hilangnya cara-cara hidup yang begitu komunal, menjadi individual, dan akibatnya, pewarisan nilai-nilai lama masyarakat petani menjadi hilang. Berganti menjadi masyarakat kota, yang kemakmuranya adalah kemakmuran semu. Yang kemakmurannya, adalah kemakmuran milik sendiri.