Tentu saja seperti
biasa, kalau di tepi kampus kita ada pohon-pohon yang rindang, tua, dan
bijaksana. Beberapa orang berjalan tenang sambil mengingat-ingat sandiwaranya
masing-masing tadi siang. Di dekat sana, dibangun gedung parkir besar yang bertingkat
enam. Orang-orang biasa menata kendaraan tersayangnya dengan riang; begitu
terulang setiap hari. Kampus hijau yang semarak; tempat anak-anak jenaka itu
menemukan malaikat dan setannya, lalu memadu kasih di taman-taman yang muda.
Gedung parkir diperuntukkan
bagi sepeda motor. Ruang terbuka di dalam kampus, biasa dilalui delman,
gerobak, atau becak-becak yang tua. Anak-anak itu tidak banyak protes; begitu
memang diajarkan: ikhlas menerima setiap keputusan. Seperti anak desa yang lugu
dan manis, rida dengan apa yang ditimpakan pada nasibnya. Apapun juga. mereka
Cuma akan tertawa dan mendoakan yang baik-baik saja. motor-motor terparkir
penuh. Penjaga akan mengatur bagaimana masuk dan keluarnya, serta menarik
bayaran seribu rupiah. Anak-anak itu ikhlas menerima debu-debu yang menempel di
kendaraan mereka setiap memarkir kendaraan, karena gedung itu belum jadi dengan
sempurna. Kalau kau sempat parkir di sana dari pagi dan pulang ketika sore
hari, kau akan mendapati debu cokelat meliputi motor, dan bisa kau tiup seperti
terigu.
Ini cerita lama;
begini: beberapa tahun lalu; rektor mereka (yang suka baca komik, memanggilnya
dengan sebutan “Ayah”) berjuang untuk mengembangkan gedung-gedung tua yang
ditumpuk-tumpuk di lemari besar universitas. Ia bernegosiasi dengan beberapa
orang, dan seorang petinggi kerajaan memenangkan tendernya. Ia punya banyak
batu bata. Ia juga punya banyak semen, besi, dan pekerja-pekerja yang tak akan
bilang apa-apa kalau ditanya. Cuma tersenyum, lalu basa-basi melangkah pergi.
Si petinggi kerajaan adalah kolega akrab Ayah.
Singkatnya, gedung
dibangun, dipugar, dan di tengah pengerjaannya, Raja negeri ini, yang punya
keahlian memutar balik ruang dan waktu—ini bahkan mampu mengendalikan persepsi
kita, hati-hati—membuat si Petinggi Kerajaan terlibat sebuah kasus besar; ia menyebarkan
foto telanjang gadis yang entah siapa ke dekanat dan rektorat. Tentu, foto itu sebenarnya dengan mudah kita
sebarkan lewat telepon genggam. Tapi masalahnya, gadis itu tidak asing buat
kita. Kasus ini bahkan kena juga pada perguruan-perguruan besar lain di
kerajaan. Bahwa guru-guru kita itu memang doyan perempuan, dan kebetulan
perempuan dalam foto itulah yang paling sering diemut. Foto bugil ini menyebar
bersamaan dengan rumor bahwa petinggi kampus juga bercinta dengannya. Itulah
kenapa kadang lampu gedung menyala sampai malam. Si gadis, ketika diketahui
identitasnya, Cuma senyum-senyum saja dan mengatakan “Aku Cuma utusan.
Orang-orang yang bercinta denganku tidak bersalah; Cuma waktu memang sudah
diputarbalik dan ruang dibengkokkan oleh Raja negeri kita...”
***
Sebetulnya kurang penting masa lalu gedung itu. anak-anak
kampus kita inipun pada dasarnya suka juga pada wanita telanjang. Gadis itu,
kerap ditemui main-main ke halaman belakang gedung-gedung dekanat dan
perkumpulan anak-anak. Memang cantik; memang senyumnya itu manja. Memang bagian
kaki sampai atasnya si gadis itu mampu memalingkan anak-anak dari pandangan. Ia
bahkan membuat perempuan-perempuan genit di sekitar cemburu. Pacar-pacar
mereka—sebagian menjadi ketua perkumpulan anak-anak itu—betah seminggu-dua
minggu memelototi kamar mandi rektorat, yang suaranya gebyar-gebyur: ah! Si
gadis sedang mandi. Anak-anak Cuma lirik-lirik sambil senyum tipis sambil
membayangkan yang gebyar-gebyur itu pacarnya dan yang menggebyurinya tentu
dirinya sendiri.
Sayang, di depan pintu
ada memo dari rektor: “jangan ngintip! Sana, buru-buru lulus, dan nikah dengan
gadis sejenis”. Di tempat lain banyak memo-memo seperti itu ditempel sebagai
slogan. Jadi semacam dogma, misalnya: “dilarang berduaan. Dosenmu cemburu”,
“sing penting mbayar. Mangan ora mangan kumpul!”, “Kalau kisah cintamu kau
anggap mengenaskan, lalu kau sebut apa skripsimu”, dan yang paling mencolok:
Selamat Datang, Cepat-cepat Pulang Ya!” dengan memo-memo ini, orang punya
alasan mengusir anak-anak itu.
Anak-anak sebetulnya
menikmati rutinitas itu setiap harinya. Sampai suatu hari, beberapa orang tua(
sepertinya penjaga gedung. Aku mengenal ukuran tubuhnya) mengendap-endap.
Membawa karung yang besar; berlumur darah. Malam. Senter. Mereka keluar dari
gedung parkir, sambil menyeret terus karung itu. lampu-lampu meredup.
“Jangan sampai jatuh!”
“Ya. Gampang! Besok
malam, katanya ada lagi yang mesti dibuang”
“Tugas kita Cuma ngangkuti ini sampai beres...”
Darah menetes-netes.
Dan karena malam memang sangat gelap, mata tua mereka tak sanggup
memperhatikan, bahwa ada darah yang menetes, dan itu membekas di lantai, sampai
pagi. Luput dibersihkan.
***
Antrian yang panjang
terjadi di loket gedung parkir. Anak-anak itu menemukan darah tercecer dan
memelesetkan ban kendaraan mereka. Semuanya bertanya-tanya, ini apa, ini darah
siapa?
Kasak kusuk pagi itu
ditenangkan, kepala penjaga memberikan penjelasan seperlunya. Bahwa semalam itu
ada maling tertangkap, dan ia digebuki satpam, karena itu, patutlah diapresiasi
satpam kita ini. darah si maling pun menetes, dan merayapi jalur parkiran itu. lagi-lagi
memang kampus itu berhasil mewariskan tradisi kritis yang diimbangi dengan
kerelaan serta keikhlasan hati yang luar biasa. Semuanya ikhlas menerima bahwa
di gedung parkir ada ceceran darah yang banyak, dan semuanya ikhlas menerima
bahwa itu bukan sesuatu yang layak dipikirkan. Cuma obrolan ringan di kantin
yang dibumbui, itulah akhirnya.
Pada siangnya; darah
itu telah dibersihkan dan antrian memudar. Semuanya masih bertanya-tanya, itu
darah siapa, tapi semuanya juga masih mahfum; bahwa pertanyaan-pertanyaan itu
melanggar hakikat dirinya sebagai manusia yang putih, yang tawadhu menerima
takdir dan segala perubahannya. Determin; ya; waktu dan ruang terlalu determin
buat mereka. Itu membuat sikap anak-anak ini sangat ikhlas, raja’, dan begitu santun terhadap siapa
saja di kampus. Pada akhirnya ruang dan waktulah yang memiliki kehendak—karena
manusia ditugaskan memainkan birama-birama indah hidup yang diciptakan oleh
komposernya. Dan ketika dimainkan pada komposisi yang benar; lagu yang paling
cinta, lagu yang paling kita akan terdengar dan menjangkau sejak pembuluh darah
sampai sudut-sudut sempit kota kita. Anak-anak kita ini adalah anak-anak yang
kalau bikin lagu atau puisi, mungkin dijuduli “Ikhlas”.
Beberapa bulan telah
beranjak. Ceceran darah itu sudah tidak membekas. Anak-anak yang memotretnya
pun sudah membuangnya dari ingatan. Kini gedung parkir makin ramai, karena
orang makin banyak yang membawa motor ke kampus. Makin banyak juga penjaga yang
mengatur. Si gadis yang kita ceritakan di atas, makin bebas juga keluar masuk
ruang berkas atau mampir di wisuda-wisuda atau promosi ilmuan baru yang
diterbitkan. Ia kini punya ruang sendiri. Ruangannya bahkan lebih ramai dari
kantin, karena selalu dikunjungi orang-orang di kampus, baik yang punya urusan,
maupun yang sekedar ngintip kalau dia sedang ketahuan mandi dan lupa menutup
ventilasi.
Perempuan-perempuan yang
kuliah di kampus mulai berang. Mereka tak suka pacar mereka punya kebiasaan
ngintip kamar mandi si gadis setiap pulang kelasnya. Untuk urusan ini,
perempuan mana yang bisa ikhlas?
“Masku itu lho!
Sekarang lupa menyelesaikan tulisannya, setiap kali dia Cuma intip-intip kamar
mandi di gedung, itu, gadis tengil dan model bugil”
“Ya bagaimana. Habisnya
memang kita ini kalah seksi sih. Atau kamu berani sebar foto bugil ke pacarmu,
biar dia membelalakimu terus!”
“Idih, ku gampar dia
pakai skripsi sampai amnesia. Ayah juga sih, foto bugil di sebar...”
“Anjrit..” maki perempuan-perempuan itu. “Ayah kita demen amat sih
sebar foto bugil dan miara
modelnya...”
“Itu gadis memang harus
kita singkirkan...” tegas seorang perempuan. “Kampus alim ulama gini kok miara cabe...”
Dari jauh, kerumunan pacar mereka tengah terengah-engah
memantau segenap pergerakan lembut yang begitu basah, yang terawang dari
ventilasi kamar mandi. Dosen Cuma foto-foto dan langsung pulang.
***
Pagi itu pecah. Semuanya gempita, “Ada mayat! Ada mayat!
Ada mayat di parkiran kampus!” semuanya tergopoh-gopoh, pagi baru saja muncul
sudah ada mayat di gedung parkir. Lehernya menjuntai, digorok dan semua mata
tertuju pada mayat itu.
Ya, si gadis tewas
digorok, dan mayatnya tergeletak di gedung parkir!
“Itu mayat gadis!” kata
seorang anak. “Mana sih!” yang lain tak sempat melihat karena berdesak-desakan. “Itu mayat, itu mayat!”
“Ayah! Ayaaah! Gadis
kampus kita tewas! Ayaaah!” sebagian bersorak-sorak membelalak, itu mayat gadis
kesayangan ayah kan! Pikir mereka. Dari jauh, Ayah tampak pucat dan menelepon
seseorang.
“Bukan!” tiba-tiba Ayah
dan paman-paman datang. “Itu bukan mayat!”
“Tapi itu manusia kan,
Ayah, itu mayat!” kata seorang anak, “Itu kan gadis Ayah, masak tak teliti
sih!” yang lain bergidik ngeri campur mual. Anak-anak itu mulai mengacungkan
perekam dan memotret-motret sampai puas.
“Ini bukan mayat!” Ayah
mendekati si mayat. “Lihat, ini bukan mayat!”
Lamat-lamat ia
membalikkan jenazah itu. tiba-tiba, matanya panas. Tangannya gemetar. “Ini
benar-benar mayat...” katanya dalam hati.
Semua—Ayah, paman-paman
dekanat, dan abdi dalemnya meluber, memandang mayat itu dengan gamang. Gadis
kesayangan Ayah, yang sudah dianggap sebagai buah hati sendiri, kini ditemukan
tewas tergorok oleh orang tak dikenal. Kampus diliburkan hari itu, tetapi
menyimpan tanda tanya besar yang digambar anak-anak di depan gedung parkir. Pita
kuning dililitkan. Tak seorangpun boleh melintas ke sana. Tak seorangpun
tahu perasaan Ayah.
Tepat keesokan harinya,
ketika anak-anak kembali datang untuk belajar, di depan gedung parkir sudah
dipasangi sesuatu. entah kenapa mayat itu tidak dibawa atau dimakamkan, atau
diambil pihak berwajib. Mayat itu Cuma ditutup kain putih, dan ada papan di
pasang, bertulis: INI BUKAN MAYAT. SELESAI BELAJAR LANGSUNG PULANG! TERTANDA,
AYAH”
Anak-anak itu protes,
tapi Cuma bisa menggumam-gumam. Tukang parkir dan penjaga loket seperti tak mau
kehilangan kesempatan, tanpa sepengetahuan orang, tarif parkir dinaikkan, lalu di
karcis parkir juga ditulis: INI BUKAN MAYAT, SELESAI BELAJAR LANGSUNG PULANG!
TERTANDA, AYAH WISATA LIHAT MAYAT Rp. 1.500,-. Kontan anak-anak geger dan ramai-ramai
membincangkan itu. koran kampus memberitakan kejadian ini: “Bukan Mayat
Ditemukan di Kampus”. Anak-anak mulai penasaran, dan mengerumuni gedung parkir.
Kerumunan itu Cuma bubar kalau sudah jam kuliah, atau kalau hujan datang.
Kampus jadi tempat wisata lihat mayat.
Hari-hari pertama masih biasa saja, malah banyak yang
senang melihat mayat dan tidak keberatan ongkos parkir dinaikkan. Cuma
masalahnya, mulai satu minggu setelahnya bau busuk dari mayat gadis kesayangan
Ayah mulai meracuni angin. Bau yang paling bau yang pernah dicium anak-anak.
Semua yang datang ke kampus mesti menahan nafas, dan karena mereka menutup
hidung, semuanya kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini membuat mereka juga
sulit bicara banyak. Semua mual-mual dan keburu muntah kalau mau menjelaskan
mayat dan baunya, yang tepat di depan gedung parkir dan Cuma ditutup kain
putih. Rumor-rumor juga susah disebarkan, karena baunya menghalangi orang untuk
banyak minum udara untuk bicara dengan yang lainnya.
Lalat-lalat mulai
datang. Suatu siang pernah segenggam belatung besar menggeliat, terus tumpah
dari isi kepala si mayat lalu menembus kain dan menyebarkan bau manusia yang
membusuk. Cairan mengalir dari pori-pori mayat, dan membasahi—tepatnya
melengketi—jalur menuju area parkir dari loket. Lalat-lalat hijau dan hitam
beterbangan dan berdengung, memenuhi area kampus, bau mayatnya sudah meresapi
segenap sisa ruang nafas di sana.
Hampir semua anak yang
ke kampus mengenakan masker. Wajah mereka disumpal masker. Semuanya jadi tak
saling kenal, kecuali kalau mereka sudah masuk ke dalam kelas karena di sana
berpendingin dan tak ada bau yang bisa mereka hirup sambil muntah.
Berminggu-minggu keadaan ini seperti dibiarkan, dan kalau kita main ke kampus
yang rindang itu, rasanya seperti di Bulan, kita Cuma bisa ketemu astronot yang
mengenakan pelindung wajah, mungkin karena Bulan itu bau dan banyak lalatnya.
Anak-anak yang tidak
tahan mulai menuntut. Mereka menggedor-gedor kamar kerja Ayah yang besar, dan
berperedam suara.
“Ayah, Ayah! Engkau di
mana! Beresilah rumah kita ini, mayat gadismu itu bau dan menyebar ke penjuru
rumah!”
“Ayaaah!” pelan-pelan,
pintu kamar yang berat terbuka. Ayah keluar. Semua anak kompak mencium
tangannya dan membungkuk. Senyum sambil tutup hidung. Ayah sendiri mengenakan
masker, dan memakai helm astronot yang entah dari mana datangnya. Senyum
wibawa. Dengan jas khasnya yang kebapaan.
“Ayah kemana saja?
jarang bisa ditemui, kami kangen dan menghirup bau ini sendiri”,
“Ayah lagi kerja, Nak.
gimana nilaimu, bagus?” Kata Ayah. “Kampus ini masih segar kok, tidak bau
apa-apa. Makanya, banyak-banyak baca buku. Ini namanya bukan bau, tapi memang
beginilah rasa angin dan sense kalau akhir
musim menjelang...”
“Iya ya, Ayah.
Kapan-kapan aku ditambahi ya ongkosnya... harga buku naik, parkir juga naik..”
sepertinya, anak-anak ini tidak paham apa yang aku maksud, pikir Ayah.
“Beres,” Sambung Ayah,
“Kamu belajar saja. ayahmu ini juga nanti yang bangga kalau kamu berprestasi,
kan? Soal bau ini; memang penjaga lupa merawat selokan dan mengangkuti
daun-daun di halaman”
“Gitu ya, Ayah.”
Anak-anak itu terdiam. “Ayah suka main ke gedung parkir tidak?”
“Ooh, Ayah bawa mobil. Itu di depan. Kamu naik motor ya?
Bagaimana, gedung parkirnya bagus kan? Sebentar lagi akan dihias-hias”
Percakapan selanjutnya
banyak ditulis di naskah-naskah kuno. Memang di kampus kita ini ada jurusan
yang biasa membahas naskah-naskah kuno itu, dan melestarikan nilai luhurnya.
Soal bagaimana anak mematuhi perintah Ayahnya. Beberapa anak suka mempelajari
lalu memainkannya. Berteater, dan mementaskan sandiwara ini sebagai atraksi
tahunan. Adalah kebanggaan tertinggi kalau bisa menemui Ayah karena
bersandiwara dan sandiwaranya ini sangat mirip dengan pura-puranya. Sandiwara
kan sekedar kepalsuan yang dilatih, begitu kata Ayah.
Ayah kembali memasuki
kamarnya. Pintu berbunyi keras, meski tidak dibanting. Memang begitulah kamar
Ayah. Di dalam, paman-paman tegang. Mereka menunggu kalau-kalau sesuatu
dilakukan bocah-bocah nekat yang tadi menemui Ayah, atau malah Ayah yang
mencium bau malah mendamprat semua orang.
“Gimana Pak. Anak-anak
ini pintar. Sekali mayat, ya tetap mayat. Cuma orang pandir yang suka keliling
kampus kalau jam lima sore itu yang bilang kalau itu bukan mayat, tapi makanan
yang jatuh dan lupa diambil terus menumpuk!” buka seseorang.
“Diamlah, Paman. Aku
masih berduka cita atas kematian gadis tercintaku” Ayah mengatakanya sambil
menunduk. Sebuah pose yang tak pernah dilihat anak-anaknya.
“Iya. Tapi mayatnya itu
lho. Kau nggak kubur atau timbun
pakai semen, begitu? Aku sendiri hampir alzeimer waktu cium baunya”
“Yang aku pikirkan
sekarang, aku harus kembali bisa berpikir jernih. Gimana ya?”
“Sableng. Kau pikir
segampang itu tanya padaku? Salahmu sendiri nggak kasih saran waktu aku
membolehkan gadis itu tinggal di sini. Aku tahu banyak yang tidak suka padanya,
karena dia cantik, dan isunya kan kamu suka mengonsumsi dia sampai mblenger!”
Paman yang lain
berdehem, dan memotong, “Ya gara-gara itu kan nilai anak-anak turun semua.
Kerjanya Cuma ngintip kamar mandi rektorat, terus coret-coret gambar kemaluan
di tembok. Kamu juga sih, cari perempuan kok indah banget”
“Edan. Kau ini nggak
ngasih saran apa-apa kok marah,” Kata Ayah. “Sementara ini, anak-anak itu belum
paham kalau itu benar-benar mayat. Mayat gadis kesayanganku”
“Terus gimana?”
“Ya kok tanya! Lakukan apa lah sana!”
“Sampeyan maunya apa pak? Kami bisa-bisa saja melakukan. Tapi
anak-anak itu pinter, nggak gampang dikibuli!”
Ayah dan paman-paman
memandangi area kampus lewat jendela rektorat yang menghadap alun-alun
universitas. Beberapa anak sedang bercumbu. Yang lain berebut sinyal wifi.
Nampak damai-damai saja, bedanya, semuanya pakai masker. Termasuk yang sedang
bercumbu. Ayah diam, ia mengalihkan pandangannya pada gedung parkir dan
kerumunan orang bercampur lalat yang mengelilingi mayat gadis di depan gedung.
“Mulai besok, itu bukan gedung parkir. Itu tempat wisata.
Ini kayaknya bagus jadi peluang
bisnis kita” paman-paman melongo. Yang lain tersedak dan memperhatikan
kata-kata selanjutnya.
“Bapak yakin?”
“Lha, kamu meragukan aku?”
“Mesti nanti banyak penyesuaian lho pak. Anggaran dari
mana buat pelestarian mayat? Lagian, maksudku itu, bapak nggak berduka?”
“Naikkan saja tarifnya,
dan buka parkir untuk umum! Itu uang bakal datang tiap hari. Aku sudah ketemu
jalan keluarnya. Ini wisata mayat, bukankah koran-koran nasional sudah sibuk
memberitakan? Nanti orang-orang datang jauh-jauh hanya untuk melihat,
meneliti,dan mengembangkan mayat itu. bayangkan berapa uang datang dari sana!”
“Kubilang lagi: anak
itu pinter lho, Pak. Kemarin ku dengar ada kumpul-kumpul, mau nuntut bapak, dan
apa bapak nggak berduka?”
“Aku kan bapaknya. Aku
lebih tahu apa yang bikin mereka seneng, dan apa yang bikin mereka tuman. Tahu
tuman? Ketergantungan pada rektorat, hehehehe. Soal duka-menduka, kau duga-duga
saja aku ini gimana orangnya”
“Tuman ya tuman. Tapi
bapak memang nggak sadar kalau baunya mulai masuk ke ruangan kita? Ada lho,
dekan yang sesak napas terus semaput, ditemukan anak-anak sedang megap-megap di
ruangan”
“Ya kan pendingin ruangan kita mantap, lagian ruangan
di sini banyak”
“Pak?” sela paman. “Terus ruang bekas gadis itu gimana?”
“Kau cari lagi saja gadis
yang lebih montok dari dia buat ngisi ruang itu. Sebar lagi foto bugilnya, dan
jangan lupa: kita bebas parkir!”
“Tuh ada anggaran, aku
selipkan dari uang apa gitu tadi... kan enak kalau kau kerja sambil lihat
gadis” sambung Ayah.
Ayah mengambil tasnya.
Dia menata lagi dasinya, lalu menelepon seseorang, lalu tersenyum lebar dan
matanya lebih jernih.
“Aku rapat dulu ya di
Kepatihan. Mau nitip?”
Paman-paman kita Cuma
bisa melongo, dan melanjutkan kerjanya sambil ngopi, dan berkesimpulan: bejo banget sih bapak ini....
bagus. lanjutkan! :)
BalasHapus