Tadi siang, setelah
bertahun-tahun latihan kehidupan di kampus, saya pulang. Ya. Kembali bershalat
di masjid masa kecil. Masjid-masjid tua yang isinya orang tua yang begitu arif.
Satu demi satu tetangga-tetangga masa kecil saya berdatangan ke masjid. Tak banyak berubah: masih ada lapangan di
depan masjid, pohon-pohon rindang, dan anak-anak desa yang lugu namun cerdas.
Dua kali azan melantun
dengan tenang, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Irama yang bila terdengar di
telinga, saya akan segera menandainya sebagai irama azan masjid A. Tak lain dan
tak bukan. Ah. Saya jadi ingat, di masjid inilah dulu saya belajar membacakan
Al-Qur’an, merenungi kehidupan dan asas-asas keseimbangannya. Tak banyak
berubah.
Anda pasti pernah
mengalami hal-hal seperti ini, pulang, menuju ke masjid tempat ketulusan ala
anak-anak dulu masih anda mainkan. Tak ada rumah-rumah berpagar. Hanya rumpunan
perdu dan bambu yang dipaku menjaga halaman. Sangkar burung-burung hasil
buruan, kandang-kandang ternak, berpadu dengan senyum ramah para pemiliknya
yang senantiasa ada di halaman rumahnya.
Pagar. Sampai akhirnya,
pagar-pagar di bangun, bersembulan dari dalam tanah. Pagar pertama tumbuh
menjalar membelah kampung kami menjadi dua bagian besar: Perumahan dan
Perkampungan. Pagar yang begitu abu-abu, memisahkan kehidupan dan kefanaannya.
Pagar kedua muncul di halaman-halaman
kami sendiri. Dari dalam tanah, dia mebagi-bagi rumah yang dulunya ramah, jadi
tak saling kenal mengenal. Atas nama pagar, tanah dikapling-kapling dan
ditandai siapa pemiliknya. Pohon-pohon yang sederhana itu ditebang, dan kayunya
diperebutkan dengan harga yang mahal.
***
Lambat laun orang di
kampung saya tak lagi saling kenal mengenal. Warga pendatang yang mengontrak
memagari rumahnya, lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, hingga kita tak bisa
lagi megenali siapa dia. Sapa-menyapa yang dulu jadi rutinitas, kini digantikan
dengan tatapan curiga.
Pagar, membuat kami
membatasi mana yang milik kami mana yang bukan. Mana yang harus kami beri mana
yang harus kami jaga sebagai milik sendiri. Ia lebih dari sekedar batas, ia
memisahkan mana perumahan elit, yang berisi uang, kemewahan, dan pekerjaan
kantor dengan petani, peternak, dan pekebun yang sederhana.
Bukankah kita jadi
bertanya-tanya, apakah beda antara sisi dalam dan luar pagar, dan lebih jauh
lagi, apa arti dari sisi dalam dan luar pagar? Pagar membuat kami memisahkan hidup kami dari para
tetangga. Membuat orang, secara psikologis lebih dominan dan posesif terhadap
miliknya. Ia adalah batas antar ego manusia.
Ego akan merasa keamanan
dirinya terjamin dengan pagar, dengan demikian, ia juga akan merasa kurang
membutuhkan orang lain. Inilah asal muasalnya: kampung saya lama kelamaan
berubah menjadi sekelompok koloni yang tidak saling kenal mengenal. Koloni,
jelas berbeda dengan masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok orang yang punya
kesamaan ciri, tujuan, dan cara hidup. Sementara, pagar memisah-misahkannya,
dan kini kita mengenal sekoloni masyarakat yang terpisah-pisah karena pagarnya
sendiri.
***
Sisi pagar yang satu,
diisi rumah-rumah yang berpagar tinggi dan ada kendaraan besar terparkir di
depannya. Yang selalu sepi, hanya ada para pembantu atau satpam menjaganya.
Anak-anak kampung dilarang masuk dan main layangan, karena kerap dituduh
sebagai biang pencurian.
Siapakah mereka? Para
pembantu, dulu adalah petani-petani yang menjual tanahnya untuk dijadikan
perumahan, dan setelah kehilangan pekerjaan, mereka memanfaatkan keahlian rumah
tangganya untuk mencari uang, tanpa pendidikan dan advokasi. Satpam, dulunya
para pemilik tanah dan pekebun andal, yang dipaksa menjual tanahnya dengan
harga murah, karena rendahnya pendidikan.
Lantas, siapakah
anak-anak itu? Tak lain adalah anak-anak tetangganya sendiri, anak-anaknya
juga. pagar memisahkan kerabat dan saudara atas nama keamanan dan ketertiban
perumahan. Portal-portal yang dibangun dengan besi, melarang siapa saja masuk
dan keluar tanpa diawasi, karena perumahan itu menjadi semacam negara dalam
kampung kami.
Pada sisi lain pagar,
ada orang-orang yang bertahan. Mereka mendirikan rumah-rumah kecil, dan menjadi
buruh rendahan dengan upah harian. Sebagian menjadi satpam dan pembantu.
Sebagian meminta pekerjaan pada para pendatang. Satpam-satpam itu dulunya
adalah petani dan peternak, dan tak mendapatkan pendidikan yang semestinya.
Dulu, sebelum pagar
dibangun dan kampung kami berganti musim, orang-orang tidak ingin sekolah,
karena sekolah memang mengajarkan ilmu-ilmu orang kota. Sekolah tidak
mengajarkan ilmu olah tanah dan olah tani, sehingga sekolah tidak menjawab
kebutuhan para petani. Sampai akhirnya pagar dibangun, dan mereka kehilangan
tanah-tanah untuk bertani, dan dikalahkan oleh lulusan sekolah tinggi, karena
pekerjaan yang ada adalah pekerjaan yang bukan untuk orang yang terdidik oleh
alam.
Generasi kedua, yang
tumbuh dengan melihat pembangunan pagar, masih mewarisi hal ini. masa kecil
mereka akrab dengan situ, balongan, sawah, dan ladang, sehingga tak perlu
sekolah, kini berhadapan dengan masa remaja akhir yang Cuma jadi
karyawan-karyawan pabrik yang menunggu waktu kapan dipecat, dan tak punya
pilihan pekerjaan karena pekerjaan yang tersedia hanya untuk tamatan sekolah,
bukan petani.
Pagar. Ia lebih dari
sekedar batas, ia adalah pemisah masa lalu dan masa sekarang, sebuah dunia yang
individualis, dan hanya pemilik modal saja yang bisa mengusahakan kemakmuran.
Pagar-pagar tinggi didirikan, dan ia menjadi penanda semu kemakmuran kampung
saya, rumah-rumah dipercantik, namun mereka hanya melihat gambaran kemewahan
dari seberang pagar yang lain: bahwa rumah mewah dan pemilik yang makmur ditandai
dengan pagar, dan bahwa pagar menandai batas teritorinya sendiri. Orang-orang jadi senang hidup sendiri.
Pagar
hanya indikator kecil dari fenomena besar yang terjadi, hilangnya cara-cara
hidup yang begitu komunal, menjadi individual, dan akibatnya, pewarisan
nilai-nilai lama masyarakat petani menjadi hilang. Berganti menjadi masyarakat
kota, yang kemakmuranya adalah kemakmuran semu. Yang kemakmurannya, adalah
kemakmuran milik sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar