Mungkin ada baiknya
juga saya terangkan, kenapa umat islam mudah sekali diserang oleh misi
kristenisasi. Begini, ambil dulu lagi tehnya, snack juga.
Umat islam kita
sederhanakan dulu menjadi dua bagian, Alim Ulama-Ulil Amri, dan Golongan Awam. Ingat, ulama dan ulil amri
saya satukan, karena pada dasarnya, dalam qur’an tersimpan hikmah kenapa umat
diperintah menaati Ulil Amri tanpa disebutkan ulama. Karena sejatinya Ulama
adalah pimpinan bagi Ummat.
Lihat, bagaimana para khalifah bertugas sebagai
juru fatwa pada masanya, tidak seperti saat ini, Presidennya tak pernah
kelihatan mimpin khotbah jumat sekalipun. Padahal dia islam lho... hehehe. Mau mantan
mas’ul organisasi tarbiyah apa kek, dia harus manunggal dengan ulama. Artinya,
dia adalah ulama sekaligus amri, bukan amri saja atau ulama saja. akibatnya,
ya,... sekularisasi....
a.
Dari golongan Ulil Amri-Ulama
Ini
saya sarikan dari berbagai buku, nanti cari ya J
1. Berubahnya
misi ulama
Dulu ulama menegakkan kebaikan, mencegah
kemungkaran. Sekarang? Jadi bintang iklan. Semakin kocak, semakin beriman
kalau kata tivi. Dulu ulama turun untuk
memperbaiki dari segala aspek, dan jauh dari hal-hal keduniawian, namun mampu
mengendalikan dunia. Dulu misi ulama adalah imbang, membangun dunia sebagai
khalifah, namun dalam rangka mengejar akhirat. Tetapi, sekarang seperti terjadi
sekularisasi pada semua lini, akhirat dipisahkan upayanya dari dunia. Ditambah
lagi, tak ada penjaminan mutu ulama.
2. Jauhnya
mereka dari sumber asli ajaran islam
Memang, mereka lekat sekali dengan
alqur’an. Tetapi tidak lagi mengambil qur’an sebagai dasar. Mereka lebih banyak
mengambil buku-buku liberal dan menyitir lagu-lagu. Ini efeknya, umat jadi
mengikuti mereka. Orang-orang untuk mendalami islam mengambil buku-buku yang
entah itu siapa dalam jajaran ulama islam.
3. Berubahnya
metode dakwah
Anda harusnya masih ingat, rasul
berdakwah tidak langsung menyerukan bahwa alkohol itu haram, karena ia tidak
memimpin FPI. #ups. Ia pelan-pelan berkata, “Bacalah, dengan nama Rabbmu yang
menciptakan”. Rakyat dibuat punya motif dulu untuk melakukan hal-hal yang
nantinya menjadi ajaran fiqih, aqidahnya dulu dibina. Dikenalkan dulu Allah
yang 99 nama-Nya itu, buat ia dekat dulu dengan qur’an dan sejenisnya.
Sekarang?
Entahlah. Makin lucu ulama, makin keren.
Makin banyak juga orang yang
bertanya-tanya dan tak menemukan jawabannya, padahal qur’an itu jelas dan
menjawab pertanyaan, tapi tak lain karena ulama hanya menghafalkan isi
buku-buku dan retorika yang hampa. Tetap, tidak semua. Hanya sebagian ulama,
kok. Yang ada, masyarakat belum punya motif, tetapi sudah diperintah
halal-haram, maka mereka jadi memandang rumit terhadap agamanya sendiri.
4. Cinta
dunia, takut mati
Betapa banyak umat yang akhirnya tidak
bisa belajar, karena ulama dan ulil amrinya mematok tarif, suka yang
mewah-mewah, dan mementingkan penampilan? #ups
Cinta mereka kepada dunia inilah, yang
mengakibatkan mereka jauh dari akhirat, dan pada gilirannya malah membuat
fatwa-fatwa serta strategi dakwah yang tidak menyentuh sendi-sendi masalah
umat.
5. Munculnya
ulama su’
Golongan ini, bisa kita masukkan dalam
munafiq. Luarnya saja ulama, padahal aslinya mereka adalah agen musuh islam
untuk menghancurkan kita. Baik disadari, ataupun tanpa mereka sadari. Sebut
saja Irshad Manji. Ulil Absar. Dan lain-lain. Mereka dianggap ulama oleh
orang-orang awam islam, yang tidak paham kemurnian ajaran Islam.
6. Terpengaruhnya
cara pikir ulama terhadap qur’an
Mudahnya, saya kutipkan sebuah artikel
dari INSIST:
Para
Orientalis seperti Ignaz Goldziher (m. 1921), mantan mahasiwa al-Azhar, Mesir,
Theodor Nöldeke (m. 1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932),
Gotthelf Bergsträsser (m.1933), Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m.
1937), Otto Pretzl (m. 1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m.
2002) dan muridnya Prof. Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama
samaran) dan masih banyak lagi yang lain, membawa pandangan hidup (worldview)
mereka ketika mengkaji Islam. Mereka mengadopsi metodologi Bibel ketika
mengkaji al- Quran.
Pendeta
Edward Sell, misalnya, menyeru sekaligus mendesak agar kajian terhadap
historisitas al- Quran dilakukan. Menurutnya, kajian kritis-historis al-Qur’an
tersebut perlu menggunakan metodologi analisa bibel (biblical criticism).
Merealisasikan gagasannya, Ia menggunakan metodologi higher criticism dalam
bukunya Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909
di Madras, India. Senada dengan Pendeta Edward Sell, Pendeta Alphonse Mingana
di awal-awal artikelnya menyatakan bahwa: Sudah tiba masanya untuk melakukan
kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel
Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. (Alphonse Mingana, Syiriac Influence on the
Style of the Kur’an;, Manchester Bulletin 11: 1927).
Nöldeke,
Schwally, Bergsträsser, dan Pretzl bekerjasama menulis buku Geschichte des
Qorans (Sejarah al-Qur’an). Buku yang menggunakan metodologi Bibel ini, mereka
tulis selama 68 tahun sejak edisi pertama dan selama 40 tahun sejak diusulkannya
edisi kedua. Hasilnya, sampai saat ini, Geschichte des Qorans menjadi karya
standar bagi para orientalis khususnya dalam sejarah kritis penyusunan
al-Quran. Seirama dengan yang lain, Arthur Jeffery mengatakan: Kita membutuhkan
tafsir kritis yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern
sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir
al-Qur’an.(Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur’an Text,’The Moslem
World 25: 1935).
Jeffery selanjutnya menumpukan hasratnya untuk
membuat tafsir-kritis al-Qur’an. Salah satu caranya dengan membuat kamus
al-Qur’an. Menurutnya, karya-karya tafsir selama ini tidak banyak memuat mengenai
kosa kata teknis di dalam al-Qur’an. Menurutnya lagi, para mufassir dari
kalangan Muslim, masih lebih banyak yang tertarik untuk menafsirkan masih dalam
ruang lingkup hukum dan teologi dibanding untuk menemukan makna asal (original
meaning) dari ayat-ayat al-Qur’an. Merealisasikan impiannya, pada tahun
1925-1926, Ia mengkaji dengan serius kosa-kata asing di dalam al-Qur’an.
Hasilnya, Ia menulis buku The Foreign Vocabulary of the Qur’an (Kosa-Kata Asing
di Dalam Al-Qur’an) (Baroda: Oriental Institute, 1938). Ia berharap kajian
tersebut bisa dijadikan kamus al-Qur’an, sebagaimana kamus Milligan-Moulton,
sebuah kamus untuk Perjanjian Baru.
Tidak
berhenti dengan kajian filologis (philological study), Jeffery juga mengadopsi
analisa teks (textual criticism) untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan
teks al-Qur’an. Tujuannya untuk menetapkan akurasi teks al-Qur’an. Analisa teks
melibatkan dua proses, yaitu revisi (recension) dan amandemen (emendation).
Merevisi adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari
bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks.
Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di
dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik. Menurut Jeffery, sejarah teks (textual
history) al-Qur’an sangat problematis karena tidak ada satupun dari autografi
naskah asli dulu yang masih ada. Tidak ada naskah al-Qur’an yang ada saat ini,
yang tidak berubah. Sekalipun perubahan naskah itu alasannya demi kebaikan,
namun tetap saja, menurut Jeffery, wajah teks asli sudah berubah.
Manuskrip-manuskrip
awal al-Qur’an, misalnya, tidak memiliki titik dan baris dan ditulis dengan
khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi,
menurut Jeffery, modernisasi tulisan dan ortografi, yang melengkapi teks dengan
tanda titik dan baris, sekalipun memiliki tujuan yang baik, namun telah merusak
teks asli. Teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan fax dari
al-Qur’an yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari
berbagai proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke
generasi di dalam komunitas masyarakat. (Arthur Jeffery, The Qur’an as
Scripture, New York: R. F. Moore: 1952).
Dalam
pandangan Jeffery, tindakan masyarakatlah (the action of community) yang
menyebabkan sebuah kitab itu dianggap suci. Fenomena ini, menurutnya, terjadi
di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community)
misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, mengumpulkan sebuah korpus yang
terdiri dari 21 Surat (Epistles), dan menggabungkan dengan Perbuatan-Perbuatan
(Acts) dan Apokalipse, yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New
Testament). Ini sama halnya, menurut Jeffery, dengan penduduk Kufah yang
menganggap mushaf Abdullah ibn Masud sebagai al-Qur’an edisi mereka (their
Recension of the Qur’an), penduduk Basra dengan mushaf Abu Musa, penduduk
Damaskus dengan mushaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan mushaf
Ubay. Bagaimanapun, mushaf-mushaf tersebut lagi-lagi paralel sekali dengan
sikap pusat-pusat gereja terdahulu yang masing-masing menetapkan sendiri
beragam variasi teks di dalam Perjanjian Baru.
Teks
Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian
text), teks Netral (Neutral text), teks Barat (Western text), dan teks Kaisarea
(Caesarean text). Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri.
Melanjutkan khayalannya, Jeffery berpendapat mushaf-mushaf tersebut merupakan
bagiandari mushaf-mushaf tandingan (rival codices) terhadap mushaf Uthmani. Ia
kemudian berkolaborasi dengan Bergsträsser, guru Joseph Schacht merancang untuk
membuat al-Qur’an edisi kritis (a critical edition of the Qur’an).
Dalam
perkembangannya, metodologi tersebut juga sudah diterapkan oleh sebagian
pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana
Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia mengatakan: Sayang
sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci—yang telah digunakan
kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan
konsekuensi negatif untuk ide wahyu--terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan
Muslim.’(Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers). Ia juga menegaskan bahwa studi al-Qur’an sangat ketinggalan dibanding
dengan studi Bibel (Quranic studies lag considerably behind biblical studies to
which they must be compared). http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute
for The Study of Islamic Thought and PCoivwileizreadtio bny Mambo Generated: 12
November, 2007, 06:52 (Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic
Thought, London: Saqi Books, 2002).
Menurut
Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini
ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah Wansbrough cocok
dengan framework yang Ia usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas
kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis,
menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang bagi kaum
fundamentalis saat ini tidak terbayangkan.
Padahal
John Wansbrough, yang menerapkan analisa Bibel, yaitu form criticism dan
redaction criticism kepada al-Qur’an, menyimpulkan bahwa teks al-Qur’an yang
tetap ada baru ada setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw. Menurut John
Wansbrough lagi, riwayat-riwayat mengenai al-Qur’an versi ‘Uthman
adalah sebuah fiksi yang datang kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim
supaya asal-muasal al-Qur’an dapat di lacak ke Hijaz (Issa J. Boullata, Book Reviews:
Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation”,
The Muslim World 67: 1977). Menurut Arkoun, kaum Muslimin menolak pendekatan
kritis-historis al-Qur’an karena nuansa politis dan
psikologis.
Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena
kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran. Padahal,
menurut Arkoun, mushaf Uthmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya
masyarakat yang kemudiannya dijadikan “tak terpikirkan’dan makin
menjadi tak terpikirkan’karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia
mengajukan istilah untuk menyebut mushaf Uthmani, sebagai mushaf resmi tertutup
(close official corpus). (Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today’di dalam
Mapping Islamic Studies. Editor Azim Nanji).
Dalam
pandangan Mohammed Arkoun, apa yang dilakukannya sama dengan apa yang
diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan
sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr
Hamid memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an. Nasr Hamid
berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks
dapat
dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga oleh Kristen
maupun ateis.
Al-Qur’an
adalah teks liguisitk-historis-manusiawi. Ia adalah hasil budaya Arab. Adopsi
metodologi Bible yang dilakukan sarjana Muslim terhadap al-Qur’an sangat
disayangkan. Jika adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas
al- Qur’an sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Qur’an akan diperlakukan sama
dengan teks-teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis, padahal sebenarnya
ia adalah Tanzil (trans-historis). Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible.
Sumbernya juga berbeda. Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan Bahasa
asli Bibel sudah tidak banyak lagi digunakan oleh penganut Kristen. Sangat
berbeda dengan kaum Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang masih, dan akan
datang terus membaca dan menghafal al-Qur’an dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu,
mengadopsi metodologi Bibel terhadap al-Qur’an adalah adopsi dan metodologi
yang salah.
Mulai saat ini anda
harusnya akrab dengan ilmu filologi. Ia adalah ilmu untuk mengungkap
naskah-naskah kuno. Dari sinilah tantangan keaslian al-qur’an paling besar
datang, mengingat perintah Khalif Utsman untuk membakar semua mushaf selain
Mushaf Utsmani. Yang kacau, sedikit sekali ulama mengajarkan ini pada umat!
7. Memperjuangkan
kepentingan suku dan kejahiliahan, lalu bertaqlid.
Anda lihat: syiah lawan sunni, sudah
berapa orang tewas sia-sia. Itu darah, nanti siapa yang menanggung di hari
Kiamat? Ulama seharusnya punya daya kritis, namun tidak taqlid, seringkali kita
jumpai orang yang disebut ulama, namun saklek dan kuno terhadap masalah-masalah
yang sebetulnya sederhana.
“Oi, nggak boleh menyepelekan sekecil
apapun!”
Ih, anda paham skala prioritas dakwah
nggak, sih?
Bukannya menyepelekan, tetapi itu
sebabnya Allah duluan menurunkan Al-Faatihah, daripada larangan muutah dan
mabuk!
8. Taqlid
lalu saling mencela
Anda tentu pernah mendengar, tentang
Hasan Al-Banna yang dikafirkan oleh kalangan salaf, dan Yusuf Qardhawi yang
dikatakan zindiq. Terlepas kesalahan atau ketepatan fatwa mereka, tidak
sepatutnya ulama saling mencela. Tahukah anda, ini jadi bahan tertawaan agama
lain! Bukankah ijtihad yang salah, bahkan diganjar kebaikan? Bukankah
kebanyakan fatwa justru bersifat lokal, mengingat longgarnya hukum islam, dan
banyaknya aspek-aspek pemakluman dan dharuri yang diizinkan?
Hal ini lantas membingungkan umat,
alih-alih saling menolong, mereka malah saling mengkafirkan, innalillah, tsumma
innalillah! Mudah-mudahan KAMMI tidak seperti ini.
9. Bodohnya
mereka terhadap permasalahan umat
Tahukah anda, apa masalah umat islam
sekarang?
Pasti: pendidikan dan kemiskinan. Di
Indonesia, sedikit yang membuat umat memahami ilmu alam, lalu menggunakannya
untuk mengembangkan masyarakat Islam, yang ada, ilmu itu malah membuat orang
makin liberal. Ulama kini sangat sekular, hingga agama adanya hanya dalam hati
saja, padahal iman itu diyakini, diucapkan, dan dilakukan. Yusuf Mansur dengan
sedekah patungannya dan Mohammad Yunus via Grameen Bank telah membuat solusi
perekonomian ummat, tapi belum nampak dukungan dari mayoritas mereka yang
dianggap ulama.
Umat ini butuh makan, tetapi ternyata
para ulama malah mempersempit peluang mereka untuk makan dengan sibuk bertaqlid
lalu membuat fatwa-fatwa yang tidak tepat sasaran. Jadilah, orang-orang miskin.
Banyak kisah-kisah yang bercerita bahwa rasul kerap memberikan cangkul atau
kambing agar umat bisa punya pekerjaan. Ini mengisyaratkan, kemiskinan bukan
masalah doa, tapi upaya dan ketaqwaan yang imbang.
Paling dini, rendahnya upaya mereka
terhadap upaya pembalasan dan pertahanan terhadap Kristenisasi dan Satanisasi.
Mereka sibuk dengan lucu-lucuan dan tabligh akbar yang membuat macet. Ketika
umat dibabtis, mereka kalang kabut tetapi tidak menyiapkan rencana matang dan
didukung oleh, sebut saja yang besar: MUI. Baik dari pendanaan, penjaminan
mutu, maupun konseling.
Kebodohan ini mengakibatkan munculnya fatwa-fatwa
yang menjadi bahan tertawaan, karena tidak bisa menyelesaikan masalah umat, dan
tidak memperhatikan timing. Pada tingkat lanjut, menurunkan kepercayaan pada
ulama.
10. Bodohnya
mereka terhadap al-qur’an
Ini termasuk, betapa banyak ulama yang
kalau jadi imam di masjid, bikin ngantuk. Padahal jika mereka “Rattiliil
qur’ana tartila”, tentu umat akan semakin cinta dengan qur’an. Quran adalah
utama dari segala utama hukum islam. Jangan ganti dengan buku lain. Di satu
sisi, asal dari perbedaan mahzab adalah qira’at dan penakwilan yang beragam.
Ulama harusnya menjelaskan ini, secara terbuka.
11. Ini
yang berat, tidak adanya khilafah yang menjamin umat bisa hidup sebagai orang
islam
Dulu, umat merasa nyaman karena ada
jaminan pemerintah terhadap agama mereka, dalam arti, penerapan syariatnya
senada dengan kehendak pemerintah, dan sebaliknya. Ketika khilafah akhirnya
hancur, umat terbelah-belah. Ulama berselisih, tanpa ada hakim yang bisa
menengahinya. Pajak umat dan zakat menguap, tanpa bisa dikontrol. Banyak deh
mudharatnya. Ketika kita diserang pihak asing (bukan islam), kita mesti
mengemis-ngemis pada PBB. Mana negara islam? Yang satu sibuk kudeta. Yang satu
sibuk jual minyak. Yang satu sibuk bangun tower. Yang lain? Menonton, dan
menahan laparnya sendiri.
12. Sedikitnya
ulama yang menguasai pusat-pusat kepentingan umat
Anda tentu ingat, nabi pernah meminta
Utsman membeli sumur untuk digunakan umat islam di madinah secara mudah. Atau,
pengambilan alih Selat Marmara oleh Mu’awiyah, untuk menguasai seluruh pelabuhan
di mediterania. Sekarang, ulama harusnya mencontoh demikian, bukan malah tunduk
pada pemilik modal dengan dasar qana’ah. Qana’ah macam apa kalau malah
mencelakakan umat? Misalnya, mana ada ulama yang menguasai media besar dibawah
ini:
R*TI
SCT*
ME*RO TV
T*ANS CORP
KO*PAS
SUAR* MERDEKA
Dulu Republika dikuasai muslim, tetapi
di kudeta karena lemahnya dukungan umat. Dengan penguasaan media, tentu
pemberitaan negatif bisa dihindari dan juga pembinaan akan lebih mudah.
Siapa ulama yang menjadi kepala BIN? Belum
ada. Padahal dari sinilah sebenarnya segala masalah negeri ini diatur muncul
dan berhentinya. Akan lebih mudah juga penyebaran informasi dan dakwah.
b.
Dari sisi umat secara umum dan orang
awam umat islam
1. Jauhnya
mereka dari qur’an
Dulu umat ini masih punya kebiasaan baca
qur’an dan tilawah ba’da maghrib, atau ba’da subuh. Seiring pudarnya budaya
demikian dan masuknya televisi, jauh pula mereka dari qur’an. Ditambah,
kerelaan mereka yang rendah untuk membeli buku ilmu-ilmu alqur’an semisal kitab
tafsir, membuat mereka bertanya-tanya tentang hal yang sederhana namun krusial,
dan pada akhirnya karena tak terjawab, mereka menjadi golongan yang kehilangan
semangat beragama, bahkan atheis. Inilah sasaran utama para misionaris.
Pewarisan tradisi islam juga melemah,
karena umat kehilangan waktu-waktu prima bersama keluarga dan anak-anak mereka,
akhirnya ada semacam missing link antara tradisi generasi orang tua mereka,
dengan generasi anak. Kini mereka memilih mencari segala jawaban dari buku-buku
barat, yang jelas jauh dari metode islam, seperti yoga, meditasi, dan juga
berpacaran. Padahal buku-buku salaf, seperti mawaridul aman, raudhatul
muhibbin, dan la tahzan sangat menjawab permasalahan mereka. Efek sederhananya,
seperti tidak peduli mana halal mana haram, hedonisme, dan melupakan kewajiban
ibadah karena menganggap biasa.
2. Liberalis
dan individualis
Wacana besar abad ini adalah, manusia
kehilangan rasa kepeduliannya terhadap sesama, dan memasuki era, dimana sistem
sama sekali hilang dan berganti menjadi spesies manusia yang hidup soliter. Ini
serius, umat menjadi lemah, dan mudah diserang oleh gangguan sekecil apapun. Padahal
kita diwajibkan menghilangkan keburukan sekecil apapun, dan keburukan itu
asalnya dari tingkah manusia yang dibiarkan. Bagaimana kita menjadi orang islam
sementara keburukan dibiarkan di depan kita, dengan alasan “tidak mengganggu
aku”?
3. Kemiskinan
dan cinta dunia
Waktu yang harusnya digunakan untuk
belajar, malah habis untuk meratap dan mencari uang. Mereka sesak memenuhi
pabrik-pabrik karena mata rantai kemiskinan yang gagal diputuskan oleh para
ulama. Ini mengakibatkan mereka jadi murtad hanya karena indomie. Ditambah,
ulama kalau datang hanya merepotkan, sebab ongkosnya mahal. #ehh.... harga
buku-buku islam, juga teramat mahal. bayangkan, sebuah buku karangan Ibnu
Taimiyah, harus dicari di bookfair yang jelas-jelas seorang pemulung tak akan
datang kesana, dengan harga yang mampu memberinya makan selama tiga hari. Ini,
harusnya zakat dan sedekah kita arahnya kesana! Bayangkan betapa luarbiasanya
jika sedekah di masjid yang jumlahnya puluhan juta, digunakan untuk subsidi
buku-buku karangan Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tafsir Jalalain,
Qurthubi, maka umat ini akan makin dekat pada kejayaan!
4. Rendahnya
pendidikan dan meluasnya taqlid
Miskin membuat mereka menjauhi
pendidikan dan buku-buku. Bisa ditebak, sumber ilmu agama mereka hanya ustad
yang kebetulan mampir di mushala, bagi yang mau jalan ke mushala. Yang tidak?
Mesti mencari tayangan religi seminggu sekali dari da’i-da’i liberal. Ajaran
islam yang masih mereka ingat, hanya apa yang dulu pernah dipelajari pada masa
kecil dari orang tua mereka, tentang tarawih yang “harus 23 rakaat biar afdol”,
tentang “pamali duduk di pintu”, tentang “cari yang haram saja susah, apa lagi
yang halal”, dan mereka kehilangan daya kritis nalar karena himpitan ekonomi.
Mereka jadi taqlid, dan sebagaimana
sebab munculnya golongan khawarij, mereka muncul menjadi kaum baru yang
kehilangan rasa percaya pada ulama dan semangat belajar. Taqlid ini berujung
pada perang dan tawuran antar warga akibat tarawih beda rakaat, akibat
takbiran, dan akibat taqlid-taqlid yang lain.
Orang-orang yang tidak paham ini kelak
menemukan artikel mengenai kesesatan syiah. Yang lain menemukan buku sejarah
berdarah wahabi. Satu lagi menemukan kewajiban menegakkan khilafah. Lalu
taqlid, dan ketiganya bertemu di sebuah forum, dan habislah mereka bertiga.
Ada juga sekelompok anak-anak muda, yang
baru belajar politik, lalu belajar islam sedikit, bertemu dengan sekelompok
yang lain, lalu saling mencela, bukannya bersatu dan mengambil kerjasama.
Mereka malah berebut harta dan kursi-kursi politik, bukan untuk menegakkan
islam, tetapi menegakkan visi-misi organisasinya. Ehh, siapa tuh ya? #kaburr
5. Hilangnya
semangat mencari ilmu dan memperjuangkan islam
Lihat, pasal diatas menggunakan
konjungsi dan, bukan lalu. Maksudnya, banyak orang islam berilmu, tapi tidak
menggunakan ilmunya untuk membangun khususnya umat islam. Mereka malah bekerja
untuk kalangan liberal, ini membuat umat semakin lemah dan terlihat payah.
6. Lemahnya
pembinaan dan umpan balik
Sebagaimana DKM, mereka punya Dewan
Gereja. Bedanya, coba sebutkan sepuluh saja masjid yang punya kurikulum dan
program membangun masyarakat secara langsung?
Sementara semua gereja punya kurikulum,
dan standarisasi pimpinan gereja. TPA islam hanya diisi membaca qur’an tanpa
memahaminya secara dalam disertai kurikulum seragam se Indonesia, sementara
gereja punya kurikulum yang membuat kualitas mereka terkontrol dan seragam. Padahal
kalau mau dimanfaatkan, khutbah jum’at bisa digunakan untuk membuat perdamaian,
dan masyarakat akhirnya kerjasama membuat lapangan kerja sendiri. Kuliah-kuliah
subuh bisa digunakan untuk menghindari pertengkaran kecil di jalan jika
kemacetan parah mengular.
Lagi pula, masjid sekarang dipandang tidak lagi
sebagai pemersatu ummat. Itu karena takmir sendiri bukan orang yang sifatnya
diteladani, dan efek lanjutannya, islam hanya menjadi ritus-ritus di dunia
fantasi. Hilanglah kerukunan antar umat islam. Tak lagi kita temukan kelompok
ronda yang didasari oleh pembicaraan di masjid.
Gila, ya, Mar? Iya lah.
Bukan mereka yang gila, kita yang malas dan lemah. Tetap saja, seorang
Missionaris, dalam brosur yang saya dapatkan membocorkan kekuatan islam yang
membuat mereka sulit mengkristenkan kita. Pelajari baik-baik, bukankah
informasi kelas super asalnya dari musuh?
Mengagumi Islam
Sebagaimana telah dituliskan dalam bagian pendahuluan
buku ini, bahwa buku ini ditulis terutama bagi orang-orang Kristen, guna
meneduhkan iman mereka kepada Yesus. Kami juga ingin memberikan informasi
mengenai islam kepada para pembaca yang budiman.
Pasal-pasal sebelumnya, kami telah membahas banyak hal
tentang Sang Putera atau kekristenan. Mulai pasal ini kita akan berdiskusi
tentang Sang Bulan, yakni Islam dan Kitab Sucinya, AI-Qur'an.
Salah satu hal penting yang perlu
dipelajari orang Kristen dan orang Islam adalah membaca Kitab Suci dalam bahasa
asli. Al-quran ditulis dalam bahasa Arab, dan menurut orang Islam, Al-Qur’an
yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain bukanlah Al-Qur’an melainkan terjemahan
Al-Qur’an.
Kebanyakan orang Islam yang dapat
membaca bahasa Arab dengan baik tidak mengetahui arti dan apa yang sedang
mereka baca. Mereka tidak dapat menceritakan kepada kita apa yang telah mereka
baca. Mereka hanya tahu bagaimana membaca kata-kata itu dan huruf-huruf yang
ada. Sekalipun begitu, ini sesuatu yang baik, sebab dengan begitu mereka dapat
mengingat dan mengenal kata-kata bahasa Arab. Mencari artinya.dan mempelajari
bagaimana kata-kata itu digunakan di berbagai tempat dalam teks.
Jadi. sudah cukup jelas bahwa pengetahuan yang
sangat kecil itu sudah sangat membantu kita memahami Kitab Suci kita. Alkitab
Perjanjian Lama di tulis dalam bahasa Ibrani, dan Perjanjian Baru ditulis dalam
Bahasa Yunani-Koine (Yunani Kuno). Sebaiknya kita juga mempelajari
bahasa-bahasa ini sekadar untuk bisa membacanya. Kita mulai, misalnya dengan
bahasa Yunani (Yunani Coine). Bahasa Yunani Koine lebih mudah dipelajari
dibanding bahasa Arab, karena abjad-absadnya mirip dengan abjad-abjad Latin,
karena itu kita dapat saja mengenal semua bunyi bahasa Yunani itu dalam waktu
tidak lebih dari satu pekan. Yesus, pada masa pelayanan- Nya di bumi. memakai
terjemahan LXX (Septuaginta - Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) ketika la
mengutip Perjanjian Lama. Maka sebenarnya. mempelajari bahasa Yunani saja sudah
cukup bagi kita untuk menyelidiki keseluruhan Alkitab kita.
Jika kita lebih bersemangat kita
dapat menambah lagi sedikit waktu untuk mempelajari bahasa Ibrani. Sekadar
belajar untuk mengenal semua bunyi dan menghafalnya tidaklah sulit. Pelajarilah
yang perlu saja untuk dapat menggunakan sebuah kamus.
Hal lain yang dapat kita pelajari
dari orang Islam adalah kesetiaan dan keseriusan mereka dalam mengikuti
ajaran-ajaran agama mereka. Terlepas dari motivasi mereka menaati ajaran agama
mereka, kita patut mengangkat topi pada mereka. Mesjid-mesjid selalu penuh
setiap hari Jumat. Walaupun tidak semua, kebanyakan orang Muslim selalu berdoa
lima kali sehari (sholat) dengan rajin. Itulah sebabnya mereka sangat terikat
dengan agamanya. tidak mudah seorang muslim pindah agama. Daerah-daerah yang
mayoritas Islam bisa bertahan berabad-abad lamanya, tidak demikian halnya
dengan kekristenan. Agama Kristen dulu menjadi mayoritas negara-negara Barat,
tetapi kini sekularisme dan ateisme menguasai negara-negara Barat itu. Orang
Kristen perlu belajar dari mereka.
Dari segi pendidikan agama, orang
Islam mirip sekali dengan orang Yahudi. Sejak kanak-kanak mereka telah dididik
dengan ajaran agama mereka. Mengaji adalah kewajiban bagi setiap anak Muslim.
Itulah sebabnya rata-rata orang Muslim sangat fanatik dengan agamanya. Sejak
kecil mereka telah ditanamkan ajaranajaran agama, sehingga hal itu menjodi
darah daging mereka. Banyak keluarga Kristen mempercayakan pendidikan rohani
kepada guru Sekolah Minggu yang hanya mengajar seminggu sekali. Kita harus
rajin mendidik anak-anak kita dengan ajaran agama sebagaimana yang
diperintahkan dalam Ulangan 6:4-9.
• … Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini
haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang
kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila
engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau
bangun. ….
Orang Muslim menekankan penampilan
luar. Seorang Muslim yang taat akan terlihat dari
penampilannya. Wanita yang saleh harus memakai jilbab dengan pakaian yang menutupi seluruh
tubuhnya. Tradisi ini menyebabkan seorang Muslim sulit mengerti melihat seorang
wanita Kristen pergi ke kebaktian gereja memakai rok mini atau pakaian yang
cukup terbuka.
Dari segi keheranan membela agama, kita pun patut
mengangkat jempol. Ribuan pemuda Islam rela mati bunuh diri membela agamanya.
Bom-bom bunuh diri adalah buktinya. Sementara banyak orang Kristen yang takut
mati demi keyakinannya kepada Yesus, banyak pemuda/i Muslim memberi dirinya
untuk mati demi agama. Meskipun salah satu motivasinya adalah karena di surga
mereka bisa bertemu dengan bidadari-bidadari. Tetapi itulah kenyataannya.
Bukankah orang Kristen memiliki jaminan keselamatan yang pasti? Mengapa tidak
banyak orang rela mau demi Injil?
Itulah hal-hal yang perlu kita
kagumi dan kita pelajari dari orang-orang Islam.
Itu baru sedikit dari
pola-pola serangan missionaris kepada islam. Tulisan ini bukan dimaksudkan
untuk mencela, atau menghakimi. Ini hanya sebuah kesimpulan yang bisa jadi anda
memiliki hal yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar