Senin, 09 September 2013

Kenapa Umat Islam Mudah Jadi Sasaran Kristenisasi?

Mungkin ada baiknya juga saya terangkan, kenapa umat islam mudah sekali diserang oleh misi kristenisasi. Begini, ambil dulu lagi tehnya, snack juga.

Umat islam kita sederhanakan dulu menjadi dua bagian, Alim Ulama-Ulil Amri,  dan Golongan Awam. Ingat, ulama dan ulil amri saya satukan, karena pada dasarnya, dalam qur’an tersimpan hikmah kenapa umat diperintah menaati Ulil Amri tanpa disebutkan ulama. Karena sejatinya Ulama adalah pimpinan bagi Ummat.

 Lihat, bagaimana para khalifah bertugas sebagai juru fatwa pada masanya, tidak seperti saat ini, Presidennya tak pernah kelihatan mimpin khotbah jumat sekalipun. Padahal dia islam lho... hehehe. Mau mantan mas’ul organisasi tarbiyah apa kek, dia harus manunggal dengan ulama. Artinya, dia adalah ulama sekaligus amri, bukan amri saja atau ulama saja. akibatnya, ya,... sekularisasi....

a.       Dari golongan Ulil Amri-Ulama


Ini saya sarikan dari berbagai buku, nanti cari ya J

1.      Berubahnya misi ulama
Dulu ulama menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran. Sekarang? Jadi bintang iklan. Semakin kocak, semakin beriman kalau  kata tivi. Dulu ulama turun untuk memperbaiki dari segala aspek, dan jauh dari hal-hal keduniawian, namun mampu mengendalikan dunia. Dulu misi ulama adalah imbang, membangun dunia sebagai khalifah, namun dalam rangka mengejar akhirat. Tetapi, sekarang seperti terjadi sekularisasi pada semua lini, akhirat dipisahkan upayanya dari dunia. Ditambah lagi, tak ada penjaminan mutu ulama.

2.      Jauhnya mereka dari sumber asli ajaran islam
Memang, mereka lekat sekali dengan alqur’an. Tetapi tidak lagi mengambil qur’an sebagai dasar. Mereka lebih banyak mengambil buku-buku liberal dan menyitir lagu-lagu. Ini efeknya, umat jadi mengikuti mereka. Orang-orang untuk mendalami islam mengambil buku-buku yang entah itu siapa dalam jajaran ulama islam.

3.      Berubahnya metode dakwah
Anda harusnya masih ingat, rasul berdakwah tidak langsung menyerukan bahwa alkohol itu haram, karena ia tidak memimpin FPI. #ups. Ia pelan-pelan berkata, “Bacalah, dengan nama Rabbmu yang menciptakan”. Rakyat dibuat punya motif dulu untuk melakukan hal-hal yang nantinya menjadi ajaran fiqih, aqidahnya dulu dibina. Dikenalkan dulu Allah yang 99 nama-Nya itu, buat ia dekat dulu dengan qur’an dan sejenisnya.

Sekarang?

Entahlah. Makin lucu ulama, makin keren.

Makin banyak juga orang yang bertanya-tanya dan tak menemukan jawabannya, padahal qur’an itu jelas dan menjawab pertanyaan, tapi tak lain karena ulama hanya menghafalkan isi buku-buku dan retorika yang hampa. Tetap, tidak semua. Hanya sebagian ulama, kok. Yang ada, masyarakat belum punya motif, tetapi sudah diperintah halal-haram, maka mereka jadi memandang rumit terhadap agamanya sendiri.

4.      Cinta dunia, takut mati
Betapa banyak umat yang akhirnya tidak bisa belajar, karena ulama dan ulil amrinya mematok tarif, suka yang mewah-mewah, dan mementingkan penampilan? #ups

Cinta mereka kepada dunia inilah, yang mengakibatkan mereka jauh dari akhirat, dan pada gilirannya malah membuat fatwa-fatwa serta strategi dakwah yang tidak menyentuh sendi-sendi masalah umat.

5.      Munculnya ulama su’
Golongan ini, bisa kita masukkan dalam munafiq. Luarnya saja ulama, padahal aslinya mereka adalah agen musuh islam untuk menghancurkan kita. Baik disadari, ataupun tanpa mereka sadari. Sebut saja Irshad Manji. Ulil Absar. Dan lain-lain. Mereka dianggap ulama oleh orang-orang awam islam, yang tidak paham kemurnian ajaran Islam.

6.      Terpengaruhnya cara pikir ulama terhadap qur’an
Mudahnya, saya kutipkan sebuah artikel dari INSIST:

Para Orientalis seperti Ignaz Goldziher (m. 1921), mantan mahasiwa al-Azhar, Mesir, Theodor Nöldeke (m. 1930), Friedrich Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932), Gotthelf Bergsträsser (m.1933), Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m. 1937), Otto Pretzl (m. 1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m. 2002) dan muridnya Prof. Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama samaran) dan masih banyak lagi yang lain, membawa pandangan hidup (worldview) mereka ketika mengkaji Islam. Mereka mengadopsi metodologi Bibel ketika mengkaji al- Quran.

Pendeta Edward Sell, misalnya, menyeru sekaligus mendesak agar kajian terhadap historisitas al- Quran dilakukan. Menurutnya, kajian kritis-historis al-Qur’an tersebut perlu menggunakan metodologi analisa bibel (biblical criticism). Merealisasikan gagasannya, Ia menggunakan metodologi higher criticism dalam bukunya Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India. Senada dengan Pendeta Edward Sell, Pendeta Alphonse Mingana di awal-awal artikelnya menyatakan bahwa: Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.  (Alphonse Mingana, Syiriac Influence on the Style of the Kur’an;, Manchester Bulletin 11: 1927).

Nöldeke, Schwally, Bergsträsser, dan Pretzl bekerjasama menulis buku Geschichte des Qorans (Sejarah al-Qur’an). Buku yang menggunakan metodologi Bibel ini, mereka tulis selama 68 tahun sejak edisi pertama dan selama 40 tahun sejak diusulkannya edisi kedua. Hasilnya, sampai saat ini, Geschichte des Qorans menjadi karya standar bagi para orientalis khususnya dalam sejarah kritis penyusunan al-Quran. Seirama dengan yang lain, Arthur Jeffery mengatakan: Kita membutuhkan tafsir kritis yang mencontoh karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an.(Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur’an Text,’The Moslem World 25: 1935).

 Jeffery selanjutnya menumpukan hasratnya untuk membuat tafsir-kritis al-Qur’an. Salah satu caranya dengan membuat kamus al-Qur’an. Menurutnya, karya-karya tafsir selama ini tidak banyak memuat mengenai kosa kata teknis di dalam al-Qur’an. Menurutnya lagi, para mufassir dari kalangan Muslim, masih lebih banyak yang tertarik untuk menafsirkan masih dalam ruang lingkup hukum dan teologi dibanding untuk menemukan makna asal (original meaning) dari ayat-ayat al-Qur’an. Merealisasikan impiannya, pada tahun 1925-1926, Ia mengkaji dengan serius kosa-kata asing di dalam al-Qur’an. Hasilnya, Ia menulis buku The Foreign Vocabulary of the Qur’an (Kosa-Kata Asing di Dalam Al-Qur’an) (Baroda: Oriental Institute, 1938). Ia berharap kajian tersebut bisa dijadikan kamus al-Qur’an, sebagaimana kamus Milligan-Moulton, sebuah kamus untuk Perjanjian Baru.

Tidak berhenti dengan kajian filologis (philological study), Jeffery juga mengadopsi analisa teks (textual criticism) untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan teks al-Qur’an. Tujuannya untuk menetapkan akurasi teks al-Qur’an. Analisa teks melibatkan dua proses, yaitu revisi (recension) dan amandemen (emendation). Merevisi adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik. Menurut Jeffery, sejarah teks (textual history) al-Qur’an sangat problematis karena tidak ada satupun dari autografi naskah asli dulu yang masih ada. Tidak ada naskah al-Qur’an yang ada saat ini, yang tidak berubah. Sekalipun perubahan naskah itu alasannya demi kebaikan, namun tetap saja, menurut Jeffery, wajah teks asli sudah berubah.

Manuskrip-manuskrip awal al-Qur’an, misalnya, tidak memiliki titik dan baris dan ditulis dengan khat Kufi yang sangat berbeda dengan tulisan yang saat ini digunakan. Jadi, menurut Jeffery, modernisasi tulisan dan ortografi, yang melengkapi teks dengan tanda titik dan baris, sekalipun memiliki tujuan yang baik, namun telah merusak teks asli. Teks yang diterima (textus receptus) saat ini, bukan fax dari al-Qur’an yang pertama kali. Namun, ia adalah teks yang merupakan hasil dari berbagai proses perubahan ketika periwayatannya berlangsung dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat. (Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture, New York: R. F. Moore: 1952).

Dalam pandangan Jeffery, tindakan masyarakatlah (the action of community) yang menyebabkan sebuah kitab itu dianggap suci. Fenomena ini, menurutnya, terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, mengumpulkan sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), dan menggabungkan dengan Perbuatan-Perbuatan (Acts) dan Apokalipse, yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru (New Testament). Ini sama halnya, menurut Jeffery, dengan penduduk Kufah yang menganggap mushaf Abdullah ibn Masud sebagai al-Qur’an edisi mereka (their Recension of the Qur’an), penduduk Basra dengan mushaf Abu Musa, penduduk Damaskus dengan mushaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan mushaf Ubay. Bagaimanapun, mushaf-mushaf tersebut lagi-lagi paralel sekali dengan sikap pusat-pusat gereja terdahulu yang masing-masing menetapkan sendiri beragam variasi teks di dalam Perjanjian Baru.

Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text), teks Netral (Neutral text), teks Barat (Western text), dan teks Kaisarea (Caesarean text). Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri. Melanjutkan khayalannya, Jeffery berpendapat mushaf-mushaf tersebut merupakan bagiandari mushaf-mushaf tandingan (rival codices) terhadap mushaf Uthmani. Ia kemudian berkolaborasi dengan Bergsträsser, guru Joseph Schacht merancang untuk membuat al-Qur’an edisi kritis (a critical edition of the Qur’an).
Dalam perkembangannya, metodologi tersebut juga sudah diterapkan oleh sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Ia mengatakan: Sayang sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci—yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu--terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.’(Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers). Ia juga menegaskan bahwa studi al-Qur’an sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bibel (Quranic studies lag considerably behind biblical studies to which they must be compared). http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic Thought and PCoivwileizreadtio bny Mambo Generated: 12 November, 2007, 06:52 (Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London: Saqi Books, 2002).

Menurut Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah Wansbrough cocok dengan framework yang Ia usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang bagi kaum fundamentalis saat ini tidak terbayangkan.

Padahal John Wansbrough, yang menerapkan analisa Bibel, yaitu form criticism dan redaction criticism kepada al-Qur’an, menyimpulkan bahwa teks al-Qur’an yang tetap ada baru ada setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw. Menurut John Wansbrough lagi, riwayat-riwayat mengenai al-Qur’an versi ‘Uthman adalah sebuah fiksi yang datang kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim supaya asal-muasal al-Qur’an dapat di lacak ke Hijaz (Issa J. Boullata, Book Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation”, The Muslim World 67: 1977). Menurut Arkoun, kaum Muslimin menolak pendekatan kritis-historis al-Qur’an karena nuansa politis dan
psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai ke-makhluk-an al-Quran. Padahal, menurut Arkoun, mushaf Uthmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang kemudiannya dijadikan “tak terpikirkan’dan makin menjadi tak terpikirkan’karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengajukan istilah untuk menyebut mushaf Uthmani, sebagai mushaf resmi tertutup (close official corpus). (Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today’di dalam Mapping Islamic Studies. Editor Azim Nanji).

Dalam pandangan Mohammed Arkoun, apa yang dilakukannya sama dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an. Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran sebagai sebuah teks
dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis.

Al-Qur’an adalah teks liguisitk-historis-manusiawi. Ia adalah hasil budaya Arab. Adopsi metodologi Bible yang dilakukan sarjana Muslim terhadap al-Qur’an sangat disayangkan. Jika adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas al- Qur’an sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Qur’an akan diperlakukan sama dengan teks-teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis, padahal sebenarnya ia adalah Tanzil (trans-historis). Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible. Sumbernya juga berbeda. Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan Bahasa asli Bibel sudah tidak banyak lagi digunakan oleh penganut Kristen. Sangat berbeda dengan kaum Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang masih, dan akan datang terus membaca dan menghafal al-Qur’an dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi Bibel terhadap al-Qur’an adalah adopsi dan metodologi yang salah.

Mulai saat ini anda harusnya akrab dengan ilmu filologi. Ia adalah ilmu untuk mengungkap naskah-naskah kuno. Dari sinilah tantangan keaslian al-qur’an paling besar datang, mengingat perintah Khalif Utsman untuk membakar semua mushaf selain Mushaf Utsmani. Yang kacau, sedikit sekali ulama mengajarkan ini pada umat!

7.      Memperjuangkan kepentingan suku dan kejahiliahan, lalu bertaqlid.
Anda lihat: syiah lawan sunni, sudah berapa orang tewas sia-sia. Itu darah, nanti siapa yang menanggung di hari Kiamat? Ulama seharusnya punya daya kritis, namun tidak taqlid, seringkali kita jumpai orang yang disebut ulama, namun saklek dan kuno terhadap masalah-masalah yang sebetulnya sederhana.

“Oi, nggak boleh menyepelekan sekecil apapun!”

Ih, anda paham skala prioritas dakwah nggak, sih?

Bukannya menyepelekan, tetapi itu sebabnya Allah duluan menurunkan Al-Faatihah, daripada larangan muutah dan mabuk!



8.      Taqlid lalu saling mencela
Anda tentu pernah mendengar, tentang Hasan Al-Banna yang dikafirkan oleh kalangan salaf, dan Yusuf Qardhawi yang dikatakan zindiq. Terlepas kesalahan atau ketepatan fatwa mereka, tidak sepatutnya ulama saling mencela. Tahukah anda, ini jadi bahan tertawaan agama lain! Bukankah ijtihad yang salah, bahkan diganjar kebaikan? Bukankah kebanyakan fatwa justru bersifat lokal, mengingat longgarnya hukum islam, dan banyaknya aspek-aspek pemakluman dan dharuri yang diizinkan?

Hal ini lantas membingungkan umat, alih-alih saling menolong, mereka malah saling mengkafirkan, innalillah, tsumma innalillah! Mudah-mudahan KAMMI tidak seperti ini.

9.      Bodohnya mereka terhadap permasalahan umat
Tahukah anda, apa masalah umat islam sekarang?

Pasti: pendidikan dan kemiskinan. Di Indonesia, sedikit yang membuat umat memahami ilmu alam, lalu menggunakannya untuk mengembangkan masyarakat Islam, yang ada, ilmu itu malah membuat orang makin liberal. Ulama kini sangat sekular, hingga agama adanya hanya dalam hati saja, padahal iman itu diyakini, diucapkan, dan dilakukan. Yusuf Mansur dengan sedekah patungannya dan Mohammad Yunus via Grameen Bank telah membuat solusi perekonomian ummat, tapi belum nampak dukungan dari mayoritas mereka yang dianggap ulama.

Umat ini butuh makan, tetapi ternyata para ulama malah mempersempit peluang mereka untuk makan dengan sibuk bertaqlid lalu membuat fatwa-fatwa yang tidak tepat sasaran. Jadilah, orang-orang miskin. Banyak kisah-kisah yang bercerita bahwa rasul kerap memberikan cangkul atau kambing agar umat bisa punya pekerjaan. Ini mengisyaratkan, kemiskinan bukan masalah doa, tapi upaya dan ketaqwaan yang imbang.

Paling dini, rendahnya upaya mereka terhadap upaya pembalasan dan pertahanan terhadap Kristenisasi dan Satanisasi. Mereka sibuk dengan lucu-lucuan dan tabligh akbar yang membuat macet. Ketika umat dibabtis, mereka kalang kabut tetapi tidak menyiapkan rencana matang dan didukung oleh, sebut saja yang besar: MUI. Baik dari pendanaan, penjaminan mutu, maupun konseling.

Kebodohan ini mengakibatkan munculnya fatwa-fatwa yang menjadi bahan tertawaan, karena tidak bisa menyelesaikan masalah umat, dan tidak memperhatikan timing. Pada tingkat lanjut, menurunkan kepercayaan pada ulama.

10.  Bodohnya mereka terhadap al-qur’an
Ini termasuk, betapa banyak ulama yang kalau jadi imam di masjid, bikin ngantuk. Padahal jika mereka “Rattiliil qur’ana tartila”, tentu umat akan semakin cinta dengan qur’an. Quran adalah utama dari segala utama hukum islam. Jangan ganti dengan buku lain. Di satu sisi, asal dari perbedaan mahzab adalah qira’at dan penakwilan yang beragam. Ulama harusnya menjelaskan ini, secara terbuka.

11.  Ini yang berat, tidak adanya khilafah yang menjamin umat bisa hidup sebagai orang islam
Dulu, umat merasa nyaman karena ada jaminan pemerintah terhadap agama mereka, dalam arti, penerapan syariatnya senada dengan kehendak pemerintah, dan sebaliknya. Ketika khilafah akhirnya hancur, umat terbelah-belah. Ulama berselisih, tanpa ada hakim yang bisa menengahinya. Pajak umat dan zakat menguap, tanpa bisa dikontrol. Banyak deh mudharatnya. Ketika kita diserang pihak asing (bukan islam), kita mesti mengemis-ngemis pada PBB. Mana negara islam? Yang satu sibuk kudeta. Yang satu sibuk jual minyak. Yang satu sibuk bangun tower. Yang lain? Menonton, dan menahan laparnya sendiri.

12.  Sedikitnya ulama yang menguasai pusat-pusat kepentingan umat
Anda tentu ingat, nabi pernah meminta Utsman membeli sumur untuk digunakan umat islam di madinah secara mudah. Atau, pengambilan alih Selat Marmara oleh Mu’awiyah, untuk menguasai seluruh pelabuhan di mediterania. Sekarang, ulama harusnya mencontoh demikian, bukan malah tunduk pada pemilik modal dengan dasar qana’ah. Qana’ah macam apa kalau malah mencelakakan umat? Misalnya, mana ada ulama yang menguasai media besar dibawah ini:

R*TI
SCT*
ME*RO TV
T*ANS CORP
KO*PAS
SUAR* MERDEKA

Dulu Republika dikuasai muslim, tetapi di kudeta karena lemahnya dukungan umat. Dengan penguasaan media, tentu pemberitaan negatif bisa dihindari dan juga pembinaan akan lebih mudah.

Siapa ulama yang menjadi kepala BIN? Belum ada. Padahal dari sinilah sebenarnya segala masalah negeri ini diatur muncul dan berhentinya. Akan lebih mudah juga penyebaran informasi dan dakwah.

b.      Dari sisi umat secara umum dan orang awam umat islam
1.      Jauhnya mereka dari qur’an
Dulu umat ini masih punya kebiasaan baca qur’an dan tilawah ba’da maghrib, atau ba’da subuh. Seiring pudarnya budaya demikian dan masuknya televisi, jauh pula mereka dari qur’an. Ditambah, kerelaan mereka yang rendah untuk membeli buku ilmu-ilmu alqur’an semisal kitab tafsir, membuat mereka bertanya-tanya tentang hal yang sederhana namun krusial, dan pada akhirnya karena tak terjawab, mereka menjadi golongan yang kehilangan semangat beragama, bahkan atheis. Inilah sasaran utama para misionaris.

Pewarisan tradisi islam juga melemah, karena umat kehilangan waktu-waktu prima bersama keluarga dan anak-anak mereka, akhirnya ada semacam missing link antara tradisi generasi orang tua mereka, dengan generasi anak. Kini mereka memilih mencari segala jawaban dari buku-buku barat, yang jelas jauh dari metode islam, seperti yoga, meditasi, dan juga berpacaran. Padahal buku-buku salaf, seperti mawaridul aman, raudhatul muhibbin, dan la tahzan sangat menjawab permasalahan mereka. Efek sederhananya, seperti tidak peduli mana halal mana haram, hedonisme, dan melupakan kewajiban ibadah karena menganggap biasa.

2.      Liberalis dan individualis
Wacana besar abad ini adalah, manusia kehilangan rasa kepeduliannya terhadap sesama, dan memasuki era, dimana sistem sama sekali hilang dan berganti menjadi spesies manusia yang hidup soliter. Ini serius, umat menjadi lemah, dan mudah diserang oleh gangguan sekecil apapun. Padahal kita diwajibkan menghilangkan keburukan sekecil apapun, dan keburukan itu asalnya dari tingkah manusia yang dibiarkan. Bagaimana kita menjadi orang islam sementara keburukan dibiarkan di depan kita, dengan alasan “tidak mengganggu aku”?

3.      Kemiskinan dan cinta dunia
Waktu yang harusnya digunakan untuk belajar, malah habis untuk meratap dan mencari uang. Mereka sesak memenuhi pabrik-pabrik karena mata rantai kemiskinan yang gagal diputuskan oleh para ulama. Ini mengakibatkan mereka jadi murtad hanya karena indomie. Ditambah, ulama kalau datang hanya merepotkan, sebab ongkosnya mahal. #ehh.... harga buku-buku islam, juga teramat mahal. bayangkan, sebuah buku karangan Ibnu Taimiyah, harus dicari di bookfair yang jelas-jelas seorang pemulung tak akan datang kesana, dengan harga yang mampu memberinya makan selama tiga hari. Ini, harusnya zakat dan sedekah kita arahnya kesana! Bayangkan betapa luarbiasanya jika sedekah di masjid yang jumlahnya puluhan juta, digunakan untuk subsidi buku-buku karangan Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tafsir Jalalain, Qurthubi, maka umat ini akan makin dekat pada kejayaan!

4.      Rendahnya pendidikan dan meluasnya taqlid
Miskin membuat mereka menjauhi pendidikan dan buku-buku. Bisa ditebak, sumber ilmu agama mereka hanya ustad yang kebetulan mampir di mushala, bagi yang mau jalan ke mushala. Yang tidak? Mesti mencari tayangan religi seminggu sekali dari da’i-da’i liberal. Ajaran islam yang masih mereka ingat, hanya apa yang dulu pernah dipelajari pada masa kecil dari orang tua mereka, tentang tarawih yang “harus 23 rakaat biar afdol”, tentang “pamali duduk di pintu”, tentang “cari yang haram saja susah, apa lagi yang halal”, dan mereka kehilangan daya kritis nalar karena himpitan ekonomi.

Mereka jadi taqlid, dan sebagaimana sebab munculnya golongan khawarij, mereka muncul menjadi kaum baru yang kehilangan rasa percaya pada ulama dan semangat belajar. Taqlid ini berujung pada perang dan tawuran antar warga akibat tarawih beda rakaat, akibat takbiran, dan akibat taqlid-taqlid yang lain.

Orang-orang yang tidak paham ini kelak menemukan artikel mengenai kesesatan syiah. Yang lain menemukan buku sejarah berdarah wahabi. Satu lagi menemukan kewajiban menegakkan khilafah. Lalu taqlid, dan ketiganya bertemu di sebuah forum, dan habislah mereka bertiga.

Ada juga sekelompok anak-anak muda, yang baru belajar politik, lalu belajar islam sedikit, bertemu dengan sekelompok yang lain, lalu saling mencela, bukannya bersatu dan mengambil kerjasama. Mereka malah berebut harta dan kursi-kursi politik, bukan untuk menegakkan islam, tetapi menegakkan visi-misi organisasinya. Ehh, siapa tuh ya? #kaburr

5.      Hilangnya semangat mencari ilmu dan memperjuangkan islam
Lihat, pasal diatas menggunakan konjungsi dan, bukan lalu. Maksudnya, banyak orang islam berilmu, tapi tidak menggunakan ilmunya untuk membangun khususnya umat islam. Mereka malah bekerja untuk kalangan liberal, ini membuat umat semakin lemah dan terlihat payah.

6.      Lemahnya pembinaan dan umpan balik
Sebagaimana DKM, mereka punya Dewan Gereja. Bedanya, coba sebutkan sepuluh saja masjid yang punya kurikulum dan program membangun masyarakat secara langsung?

Sementara semua gereja punya kurikulum, dan standarisasi pimpinan gereja. TPA islam hanya diisi membaca qur’an tanpa memahaminya secara dalam disertai kurikulum seragam se Indonesia, sementara gereja punya kurikulum yang membuat kualitas mereka terkontrol dan seragam. Padahal kalau mau dimanfaatkan, khutbah jum’at bisa digunakan untuk membuat perdamaian, dan masyarakat akhirnya kerjasama membuat lapangan kerja sendiri. Kuliah-kuliah subuh bisa digunakan untuk menghindari pertengkaran kecil di jalan jika kemacetan parah mengular.

Lagi pula, masjid sekarang dipandang tidak lagi sebagai pemersatu ummat. Itu karena takmir sendiri bukan orang yang sifatnya diteladani, dan efek lanjutannya, islam hanya menjadi ritus-ritus di dunia fantasi. Hilanglah kerukunan antar umat islam. Tak lagi kita temukan kelompok ronda yang didasari oleh pembicaraan di masjid.
Gila, ya, Mar? Iya lah. Bukan mereka yang gila, kita yang malas dan lemah. Tetap saja, seorang Missionaris, dalam brosur yang saya dapatkan membocorkan kekuatan islam yang membuat mereka sulit mengkristenkan kita. Pelajari baik-baik, bukankah informasi kelas super asalnya dari musuh?

Mengagumi Islam

Sebagaimana telah dituliskan dalam bagian pendahuluan buku ini, bahwa buku ini ditulis terutama bagi orang-orang Kristen, guna meneduhkan iman mereka kepada Yesus. Kami juga ingin memberikan informasi mengenai islam kepada para pembaca yang budiman.

Pasal-pasal sebelumnya, kami telah membahas banyak hal tentang Sang Putera atau kekristenan. Mulai pasal ini kita akan berdiskusi tentang Sang Bulan, yakni Islam dan Kitab Sucinya, AI-Qur'an.

Salah satu hal penting yang perlu dipelajari orang Kristen dan orang Islam adalah membaca Kitab Suci dalam bahasa asli. Al-quran ditulis dalam bahasa Arab, dan menurut orang Islam, Al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain bukanlah Al-Qur’an melainkan terjemahan Al-Qur’an.

Kebanyakan orang Islam yang dapat membaca bahasa Arab dengan baik tidak mengetahui arti dan apa yang sedang mereka baca. Mereka tidak dapat menceritakan kepada kita apa yang telah mereka baca. Mereka hanya tahu bagaimana membaca kata-kata itu dan huruf-huruf yang ada. Sekalipun begitu, ini sesuatu yang baik, sebab dengan begitu mereka dapat mengingat dan mengenal kata-kata bahasa Arab. Mencari artinya.dan mempelajari bagaimana kata-kata itu digunakan di berbagai tempat dalam teks.

 Jadi. sudah cukup jelas bahwa pengetahuan yang sangat kecil itu sudah sangat membantu kita memahami Kitab Suci kita. Alkitab Perjanjian Lama di tulis dalam bahasa Ibrani, dan Perjanjian Baru ditulis dalam Bahasa Yunani-Koine (Yunani Kuno). Sebaiknya kita juga mempelajari bahasa-bahasa ini sekadar untuk bisa membacanya. Kita mulai, misalnya dengan bahasa Yunani (Yunani Coine). Bahasa Yunani Koine lebih mudah dipelajari dibanding bahasa Arab, karena abjad-absadnya mirip dengan abjad-abjad Latin, karena itu kita dapat saja mengenal semua bunyi bahasa Yunani itu dalam waktu tidak lebih dari satu pekan. Yesus, pada masa pelayanan- Nya di bumi. memakai terjemahan LXX (Septuaginta - Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) ketika la mengutip Perjanjian Lama. Maka sebenarnya. mempelajari bahasa Yunani saja sudah cukup bagi kita untuk menyelidiki keseluruhan Alkitab kita.

Jika kita lebih bersemangat kita dapat menambah lagi sedikit waktu untuk mempelajari bahasa Ibrani. Sekadar belajar untuk mengenal semua bunyi dan menghafalnya tidaklah sulit. Pelajarilah yang perlu saja untuk dapat menggunakan sebuah kamus.

Hal lain yang dapat kita pelajari dari orang Islam adalah kesetiaan dan keseriusan mereka dalam mengikuti ajaran-ajaran agama mereka. Terlepas dari motivasi mereka menaati ajaran agama mereka, kita patut mengangkat topi pada mereka. Mesjid-mesjid selalu penuh setiap hari Jumat. Walaupun tidak semua, kebanyakan orang Muslim selalu berdoa lima kali sehari (sholat) dengan rajin. Itulah sebabnya mereka sangat terikat dengan agamanya. tidak mudah seorang muslim pindah agama. Daerah-daerah yang mayoritas Islam bisa bertahan berabad-abad lamanya, tidak demikian halnya dengan kekristenan. Agama Kristen dulu menjadi mayoritas negara-negara Barat, tetapi kini sekularisme dan ateisme menguasai negara-negara Barat itu. Orang Kristen perlu belajar dari mereka.

Dari segi pendidikan agama, orang Islam mirip sekali dengan orang Yahudi. Sejak kanak-kanak mereka telah dididik dengan ajaran agama mereka. Mengaji adalah kewajiban bagi setiap anak Muslim. Itulah sebabnya rata-rata orang Muslim sangat fanatik dengan agamanya. Sejak kecil mereka telah ditanamkan ajaranajaran agama, sehingga hal itu menjodi darah daging mereka. Banyak keluarga Kristen mempercayakan pendidikan rohani kepada guru Sekolah Minggu yang hanya mengajar seminggu sekali. Kita harus rajin mendidik anak-anak kita dengan ajaran agama sebagaimana yang diperintahkan dalam Ulangan 6:4-9.

• … Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. ….

Orang Muslim menekankan penampilan luar. Seorang Muslim yang taat akan terlihat dari penampilannya. Wanita yang saleh harus memakai jilbab dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya. Tradisi ini menyebabkan seorang Muslim sulit mengerti melihat seorang wanita Kristen pergi ke kebaktian gereja memakai rok mini atau pakaian yang cukup terbuka.

Dari segi keheranan membela agama, kita pun patut mengangkat jempol. Ribuan pemuda Islam rela mati bunuh diri membela agamanya. Bom-bom bunuh diri adalah buktinya. Sementara banyak orang Kristen yang takut mati demi keyakinannya kepada Yesus, banyak pemuda/i Muslim memberi dirinya untuk mati demi agama. Meskipun salah satu motivasinya adalah karena di surga mereka bisa bertemu dengan bidadari-bidadari. Tetapi itulah kenyataannya. Bukankah orang Kristen memiliki jaminan keselamatan yang pasti? Mengapa tidak banyak orang rela mau demi Injil?

Itulah hal-hal yang perlu kita kagumi dan kita pelajari dari orang-orang Islam.


Itu baru sedikit dari pola-pola serangan missionaris kepada islam. Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mencela, atau menghakimi. Ini hanya sebuah kesimpulan yang bisa jadi anda memiliki hal yang lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar