"Wahai puteri-puteriku," kata Abdul Muthalib, kakek Rasulullah di penghujung hayat, "Buatlah puisi untukku..."
Maka puisi-puisi ratapan ketika ajal Abdul Muthalib pun bercucuran seperti air mata mereka. Para bibi Rasulullah, adalah perempuan-perempuan yang mahir membuat puisi.
Maka sejak kecil, bahkan keluarga Rasulullah, adalah keluarga yang begitu liris sajaknya.
Dari semua nabi, Rasulullah Muhammad adalah yang kenabiannya dekat sekali dengan para penyair. Bisa dikatakan, beliau adalah, Nabi Para Penyair. Nabi yang puitis benar hidupnya.
Dan pada suatu episode, Ka'ab bin Zuhair, seorang yang membuat kaum muslimin akan membunuhnya, kemudian bertaubat dan masuk islam, lalu meminta maaf dengan puisi yang sangat indah: Banat Su'ad.
"Dia adalah pelita yang menerangi mayapada
pengasah pedang-pedang Allah yang terhunus..."
pengasah pedang-pedang Allah yang terhunus..."
Umar bin Khattab, adalah juga seorang penyair. Maka dalam satu episode pula, ia mendengar petikan ayat-ayat dalam surat Al-Haqqah:
"Maka Aku bersumpah, dengan apa yang kau lihat maupun yang tidak kau lihat..."
Maka Umar berpikir, "Indah sekali bacaan ini. Pasti ini sebuah sajak!"
Namun bacaan itu berlanjut, "Dan (Alquran) ini, sekali-kali bukanlah sya'ir, sedikit sekali mereka yang beriman"
"Ah,"pikir Umar. Jika ini bukan puisi, mesti ini sebuah rapalan mantra para dukun!
Maka ayat itu, kembali mengalun, "Dan ini bukanlah perkataan para cenayang, sedikit sekali mereka mengingat...."
Bukankah, Al-Qur'an itu begitu menakjubkan, teman?