Siang ini, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya
tentang apa yang bisa dikenang dari perjalanan hidup nabi saya. Muhammad
Rasulullah. Tentang bagaimana budaya lama dihancurkan, budaya baru
diarahkan.
Di tengah suasana politik yang pekat dan bau lembaran
uang busuk, ada saja yang masih memperkosa teks-teks sejarah Nabi, dan
kemudian masih belum terbuka hatinya untuk mengenakan Jilbab. Setelah
beberapa waktu lalu, Prof. Hamka Haq berbicara seperti orang yang
menjadi korban TV tentang siroh nabawiyah, kini ada lagi, rupanya.
Apakah menjadi Islam harus menjadi Arab? Pertanyaan semacam ini
sebetulnya harus kita cermati baik-baik sebagai pertanyaan budaya. Yang
jelas, menjadi islam harus pakai jilbab. Akan tetapi, mari kita coba
mendedah siroh nabawiyah dan khulafaur rasyidin dalam konteks ciri
budaya, penyebaran budaya, dan kemudian, aspek-aspek budaya pop yang
ada.
Apa budaya pop yang ada di masa Rasulullah? Adakah
tanda-tanda budaya yang ada, berasal dari kearifan local arab, atau
didapat melalui sebuah rekayasa social yang dilakukan oleh Rasulullah,
atas nama dakwah Islam? Atau benarkah yang hari ini dipercaya sebagai
sebatas mengarab-arabkan Islam, ternyata betul-betul ciptaan dakwah
untuk berkehidupan secara islam, bukan secara Arab?
Dalam hal
ini, mari kita luruskan dulu bahwa sumber-sumber siroh nabawiyah
mestilah sumber otentik. Terjemahan dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, Maghazi
Al-Waqidi, atau juga Sirah Ibnu Hisyam yang dilakukan oleh orientalis
seperti Garaudy, Noldeke, dan Guillaume tidak sepenuhnya akurat karena
didasari rasisme terhadap Arab.
Bahwa, ruh pengetahuan mereka
adalah nafsu menduduki bangsa lain, sebagai dampak perang dunia yang
meluas dan juga kolonialisme. Bahwa, ada orang yang mempelajari islam
hanya untuk menghancurkannya.
Apa saja yang dianggap
mengarab-arabkan umat islam hari ini? Jika kita bicara mengenai trend
berbusana atau fashion, sesungguhnya, dalam siroh nabawiyah politik
identitas Rasulullah sangat kental terasa. Semangatnya, satu.
Meninggikan islam, membedakan kita dengan umat yang lain. Mari kita
simak contohnya satu demi satu.
Beberapa hadits yang diriwayatkan
oleh para imam—itupun jika kita masih percaya—Rasulullah memberikan
tuntunan dan arahan budaya yang jelas mengenai adab berbusana dan
penampilan. Di antaranya, hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, mengenai
larangan menguncung rambut bocah, perintah untuk mengenakan sandal
secara sepasang, tidak sebelah saja; dan kemudian ditambah lagi dengan
bagaimana memakai dan melepaskannya; perintah untuk menyingsingkan kain
sarung sampai pertengahan betis; dan lain-lain.
Yang lebih jelas
lagi, adalah perintah untuk berbeda dari pemeluk agama lain sebagai
identitas. Misalnya, perintah untuk mencukur kumis, dan memanjangkan
jenggot, agar berbeda dari orang Majusi. Hadis ini diriwayatkan dari
Ibnu Umar. Ada pula perintah untuk mewarnai uban agar berbeda dengan
orang lain.
Tapi lagi-lagi, itupun jika kita masih percaya.
Siang ini, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya mengenai
apa yang saya kenang dari kehidupan nabi saya.
Perkara budaya
pada zaman Rasulullah memang perkara yang agak pelik dipahami oleh
mereka yang rasis dan anti semit. Lagi-lagi, seperti dikatakan
Koentjaraningrat, seorang ahli budaya, jangan-jangan kita hari ini
mengalami tuna harga dini.
Seolah-olah kita harus berislam dengan
cara barat, dengan pola pikir ala barat. Belum selesai pikiran kita
soal siapa yang berhak menafsirkan al-Qur’an, kini muncul lagi gelombang
liberalisasi yang mengherankan kita. Kita tidak mau menghargai diri
sendiri, tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat
menghargai diri orang lain, orang asing.
Tapi, apakah tidak saya mengulang perdebatan lama antara seniman-seniman Gelanggang dengan orang-orang masy’amah?
Apakah tidak saya mengulang perdebatan orde lama St Takdir dengan rupa-rupa tokoh budaya?
Di luar persoalan budaya berpakaian dan berperilaku, kita harus
berusaha kritis. Untuk masalah jilbab misalnya, adakah jilbab merupakan
sebuah budaya arab? Ayat tentang jilbab diturunkan setelah Rasulullah
hijrah ke Madinah. Dan dalam hal ini, tidak kita jumpai satu bukti
sejarah pun yang menunjukkan bahwa jilbab sudah menjadi budaya arab,
atau budaya pop kala itu.
Jilbab, adalah suatu budaya asing.
Budaya yang tidak pernah dikenal sebelumnya untuk kalangan wanita arab
sebagai pakaian sehari-hari. Untuk itulah, teks yang ada justru
menunjukkan terjadi perubahan budaya besar-besaran setelah ayat hijab
turun; semua wanita mencari apa saja, ya, apa saja yang bisa digunakan
untuk menutupi kepala mereka.
Dan hari ini, para wanita, bahkan mantan presiden kita, mencari apa saja, alasan apa saja untuk tidak mengenakan jilbab…..
Dan, mengenai ayatnya, saya rasa, teman-teman lebih mengetahui ayat
berapa dan surat apa, karena hari ini orang yang bukan islam rupanya
merasa memahami islam lebih dari muslim.
Selanjutnya, bagaimana
mengenai perilaku berbahasa? Berbeda dengan nabi yang lain, rupanya
Rasulullah memiliki suatu perencanaan bahasa yang jitu. Ia bahkan lebih
canggih daripada kepala badan bahasa hari ini yang terus-terusan
memaksakan tetikus sebagai ganti mouse dan swafoto sebagai pengganti
selfie.
Perencanaan bahasa adalah suatu kebijakan yang ditujukan
untuk merekayasa dan mengubah penggunaan suatu bahasa. Di antara yang
mencolok, adalah perubahan idiom dan pepatah tertentu, serta—yang tak
kalah penting—sikap bahasa penuturnya.
Lagi pula, teori
perencanaan bahasa ini bukan dikeluarkan orang Arab. Teori ini
dikemukakan oleh Haugen, dalam bukunya, Dialect, Language, and Motion,
pada 1972.
Karena Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab, mau tak mau
orang akan bersikap memuliakan bahasa Arab. Terlepas dari, adakah orang
non islam yang menuturkan juga bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Sejak
awal turunnya, kitab itu sudah menjadi patron dan batu pembanding, dan
dalam tingkat selanjutnya, alat perencanaan bahasa yang efektif.
Dalam perkembangannya, hal-hal seperti salam dan lain-lain, ternyata
berubah setelah islam datang. Adakah itu merupakan budaya Arab atau
bukan? Kenyataannya berlangsung adegan semacam ini:
Suatu hari, seorang laki-laki dari Bani Amir meminta izin masuk kepada Nabi, lalu ia berkata, “Apakah aku boleh masuk?”
Lalu Nabi berkata pada pembantunya, “temuliah ia dan katakan, bahwa ia
tidak meminta izin dengan adab yang baik. Katakanlah padanya untuk
mengucapkan, assalamu alaikum, apakah aku boleh masuk?”
Dalam
perjanjian Hudaibiyah berlangsung percakapan antara Nabi, Suhail, dan
Ali bin Abi Thalib sebagai penulis naskah perjanjian. Ali menulis,
bismillahirrahmanirrahim. Akan tetapi, Suhail menolak, ia mengatakan,
“Kami tidak mengenal Rahman dan Rahim, kami hanya mengenal Allah,
tulislah Bismillah saja!”
Dalam sebuah kisah yang lebih
jelas—lagi-lagi jika percaya—seorang laki-laki mencari nabi, namun ia
tidak juga menemukannya. Maka ia duduk sejenak, tiba-tiba datanglah
sekelompok orang dan beliay termasuk salah seorang di antara mereka,
namun aku tidak mengetahui yang mana nabi. Kelihatannya, Nabi sedang
menyelesaikan perkara di antara mereka. Setelah itu, beberapa orang
masih tinggal di sisi beliau dan mereka berkata, “Wahai Rasulullah!”
Ketika aku mendengarnya, maka aku berseru, “Alayka salam, ya
Rasulullah!” Beliau berkata, sesungguhnya Alaika salam adalah perkataan
untuk orang yang sudah mati,” lalu beliau menghampiriku lalu berkata,
“Jika seorang laki-laki bertemu dengan saudaranya sesame muslim,
hendaklah ia mengucapkan, Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
kemudian Nabi menjawab salamku tadi, lalu berkata “Wa alaika wa rahmatullahi…”
Dan mari saksikan, betapa sejarah mencatat setelah islam, terjadi
perubahan budaya pop besar-besaran. Dulu, membudaya bahwa salam itu
begini dan begitu, tetapi kemudian berubah; menjadi yang sekarang kita
kenal. Dulu berbusana itu begini begitu, kini ada batasannya.
Saya tidak bermaksud mengatakan Al-Qur’an adalah produk budaya. Tetapi,
betapa islam mengubah kebudayaan Arab, dan bukannya Arab yang mengubah
islam.
Menjadi islam, tidak harus menjadi Arab. Justru budaya
Arab lama, diperangi habis-habisan oleh islam dan kemudian, direkayasa
ulang.
Dalam Al-Qur’an, dibatasi penggunaan bahasa pula. Sebagai
contoh, Al-Baqarah ayat 104 yang tegas mengatakan, jangan mengatakan
ra’ina tetapi katakanlah, unzhurna. Permasalahan yang ada bukan pada
makna, tetapi, kemudian kata-kata ra’ina menjadi hinaan. Bahkan, Ibnu
Katsir dalam tafsirnya jelas melarang kita serupa dengan orang kafir.
Di sinilah, politik budaya dan bahasa, jelas dibuat dan direncanakan
dengan baik dan jelas oleh islam. Bukan masalah kearab-araban.
Sebagaimana hari ini jika kita berpolitik, juga tidak peru
kecina-cinaan.
Saya kira, di situlah kita harus berpikir lebih
jernih. Jangan karena situasi politik, maka kita memperkosa ajaran
islam. Jangan karena kita tidak berjilbab, maka kita katakan yang
berjilbab itu kearab-araban. Jangan karena kita kelu mengucap takbir,
maka kita katakan yang bertakbir itu kearab-araban.
Atau, wahai
saudaraku, jika lidah kita kelu dan lama sudah tidak membaca al-Qur’an,
jangan kita katakan lisan mereka yang basah karena ayat-ayat itu,
kearab-araban.
Politik budaya dan politik bahasa dalam islam
jelas merupakan suatu instrument dakwah. Kita yang terbiasa mengucapkan
hamdalah, takbir, tahmid, dan tahlil, adalah agen-agen budaya dan bahasa
itu.
Dan siang ini, di tengah bermacam hiruk pikuk, saya hanya
membiarkan tangan saya menulis sekenanya, dan berpikir apa adanya. Tanpa
muatan modal asing, atau misi penggembosan agama tertentu…
Selasa, 17 Januari 2017
Senin, 16 Januari 2017
Sejarah Kejahatan Negara Pada Para Ulama
Tidak hanya rezim hari ini yang gemar melakukan kejahatan-kejahatan pada ulama. Sejak dulu, gen ulama memang sepertinya tidak cocok dengan pemerintah. Dan sejak dulu, sepertinya gen pemerintah dan penguasa selalu tidak cocok dengan para ulama.
Hati para ulama, memang seperti seekor burung merpati yang bebas. Pikiran para ulama, seperti anak panah yang pernah dilesatkan para sahabat nabi pada jantung-jantung mereka yang batil. Bahkan kehadiran fisik mereka saja, sudah mampu menyakiti mata dan hati musuh-musuhnya.
Tidak hanya Habib Riziek dan KH Bachtiar Nasir. Tidak hanya Tengku Zulkifli dan KH Arifin Ilham. Tetapi, sejak dulu para ulama sebagai warasatul Anbiya menjalankan tugas-tugas dakwah ini untuk menegur para penguasa dan tidak membenarkan dosa-dosa atas nama fatwa dan jabatan, sedikitpun.
Jika Rasulullah membenarkan kejahatan para penguasa, tentu hari ini yang ada, bukan Islam yang terang dan tegas, tapi agama musyrik Makkah yang muncul dalam bentuk baru; yang pura-pura islami. Tapi ternyata tidak. Rasulullah tidak pernah seharipun membenarkan ajaran-ajaran jahiliyah itu.
Adalah Imam Nawawi Al-Banteni, sebagai titik awal pembahasan kita. Memang kejahatan Negara muncul lebih awal daripada era Imam Nawawi, dan begitu juga semangat pelurusan ulama kepada kesalahan pemerintah. Akan tetapi, imam Nawawi dalam hal ini, bisa menjadi contoh yang masih lekat dalam ingatan bangsa ini.
Ia adalah seorang ulama Indonesia yang menjadi sasaran kebencian Negara—kala itu Hindia Belanda—atas tuduhan menggerakkan pemberontakan petani Banten. Ia sendiri kemudian menyepi dan menghindar ke Makkah Al-Mukarramah. Ia wafat beberapa tahun sebelum pergantian abad 19 ke 20, yaitu 1897.
Kemudian, pada masanya, lahirlah ulama besar HOS Tjokroaminoto. Ia dianggap sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota karena kekuasaannya untuk menggerakkan masa saat itu, nyaris serupa dengan Habib Riziek Syihab; mampu mengalahkan dominasi Negara. Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, itulah syiarnya yang kemudian menggaung bersama rakyat.
Ia demikian kuat; sampai kehadirannya saja mampu menyebabkan perlawanan di mana-mana. Ia mendirikan Sarekat Dagang Islam, yang kemudian menjelma sebagai kekuatan politik besar. Pada 1920, ia dipenjara atas tuduhan pembunuhan. Padahal sesisi negeri sudah tahu; itu hanya kekhawatiran Belanda karena sosoknya yang begitu mampu membangkitkan perlawanan.
Dan tentu kita masih ingat, pada tahun 1918, ketika itu orang-orang komunis dan nasionalis begitu gemar menghina Islam, ulama, dan Rasulullah. Ia membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammad, yang berjumlah sekitar 30.000 orang, kerumunan massa terbesar di Indonesia kala itu.
Tak lama setelah Tjokroaminoto, muncul sosok ulama yang menjadi Presiden Liga Muslim Dunia dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia, Muhammad Natsir. Tokoh kelahiran 1908 ini begitu kharismatik. Pada masa Soekarno, ia menjadi punggawa besar Masyumi dan aktif menyuarakan syariat islam sebagai solusi kebangsaan. Dan jelas, ia adalah sosok anti komunis.
Namun, lagi-lagi, selamanya Ulama tidak bisa bersatu dengan umara. Ia dipenjara karena tuduhan menggerakkan PRRI Permesta. Berbagai tuduhan keji kala itu dilancarkan PKI melalui berbagai sayap medianya. Persis seperti hari ini, komunis sangat getol menggunakan media untuk membuat rupa-rupa fitnah. Ia, dipenjara dari tahun 1962 dan kemudian dibebaskan pada 1966 oleh Orde Baru.
Akan tetapi, ia kemudian melihat pemerintah Orde Baru kurang cakap dalam hal tafsir-menafsir dasar Negara. Ia menandatangani petisi 50, suatu petisi yang kala itu dibuat sebagai bentuk protes atas kekacauan tafsir terhadap pancasila pada 1980; dan membuat ia menjadi musuh pemerintah. Dia sendiri, dilarang pergi ke luar negeri hingga akhir hayatnya.
Pada tahun 1984, menyeruak kabar dan peraturan mengenai asas tunggal Pancasila. Berbagai kalangan islam ramai-ramai berdemonstrasi dan kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh penguasa. Adalah Amir Biki, yang kemudian syahid dalam peristiwa besar untuk memperjuangkan tafsir pancasila yang lurus dan benar sesuai islam.
12 September itu, ribuan massa dari Tanjung Priok berkumpul dan menuntut pembebasan 4 warga yang ditangkap aparat. Untuk menyambut mereka, datanglah kendaraan lapis baja dan truk militer yang kemudian, dalam satu malam, menghabisi nyawa 400 umat islam, termasuk Ust. Amir Biki, seorang ulama lokal Jakarta.
Ia tewas dengan luka tembak bersama ratusan umat muslim lain yang dilindas kendaraan lapis baja. hari itu, “tak ada sebuahpun rumah muslim di Tanjung Priok yang tidak kehilangan anggota keluarganya”
Buya Hamka, seorang ulama-sastrawan besar di Indonesia, juga tak luput dari pemenjaraan itu. Pada masa perjuangan fisik untuk memerdekakan Indonesia, ia menjadi salah satu lascar di Sumatera untuk melawan belanda dengan senjata. Kala itu, belanda adalah sinonim dari kebatilan dalam lisan para ulama.
Pada masa Orde Lama, ia kemudian menjadi anggota Konstituante dan pemimpin Muhammadiyah sekaligus Masyumi. Setelah tidak lagi terjun ke dunia politik, ia membuat majalah Panji Masyarakat, yang keras dan tegas menentang komunis. Lalu, majalah itu dibredel oleh Orde Lama.
Jelas, Lekra dan PKI pada masa akhir Orde Lama begitu gemar menghina Buya Hamka. Hinaan-hinaan itu, berujung pada fitnah percobaan pembunuhan yang kemudian mengantarkannya pada penjara. Pada tahun 1964, di dalam penjara, ia bisa menyelesaikan Tafsir Al-Azhar.
Pada masa Orde Baru, ia masih juga bersikap lurus. Ia memang seiring pada kebijakan Anti Komunis, namun, sebagai seorang agamawan, kebenaran harus tetap tegak meskipun langit runtuh.
Ia mengeluarkan fatwa haram merayakan natal bersama, setelah sebelumnya kebijakan Natal Bersama diresmikan Soeharto. Daripada mencabut fatwanya, ia memilih mundur dari jabatan Ketua Umum MUI pada 1980.
Dan jika hari ini, ada kejahatan Negara pada Habib Riziek dan beserta keturunan Rasulullah yang lain, maka jangan heran. Berarti Habib Riziek sudah menjalankan tugas keulamaannya dengan baik dan benar. Ia sudah menjadi penegak keadilan, musuh kebatilan.
Kita baru bicara mengenai sosok-sosok hebat besar. Kita belum lagi bicara mengenai orang-orang tanpa nama dan local yang bersikap keras pada kejumudan dan kebatilan negeri ini.
Kejahatan Negara pada para ulama, sekurangnya terjadi karena dua hal. Pertama, ketika tatanan Negara kemudian menjadi alat kejahatan demi memenuhi kebuasan nafsu para pelaksananya. Lagi-lagi, para ulama adalah mereka yang bergerak atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah.
Sudah tentu, dengan dua hal itu, para ulama mendapatkan kehalusan hati. Dengan kehalusan hati itulah, kejahatan Negara dan kebatilannya Nampak jelas di mata para ulama. Inilah yang dinamakan bashirah, Orang yang dikaruniai bashirah, akan menyingkir dari kejahatan yang ada dan jujur mengatakan apa adanya.
Kedua, adalah titik tolak pemikiran yang berbeda antara ulama dan Negara. Ulama, jelas akan menggunakan wahyu dan sunnah Rasulullah sebagai batu pengukur. Sedangkan Negara seringkali hanya menggunakan kebenaran objektif, misalnya, kemajuan Negara lain atau standar buku-buku ideologi gagal,seperti demokrasi, komunisme, sosialisme, dan lain-lain.
Perbedaan standar ini kemudian mengakibatkan perbedaan pula pada cara ulama memandang keberhasilan dan kegagalan Negara dengan kebanyakan orang, terutama aparatur pemerintahan.
Hal yang menurut pemerintah benar, menurut ulama bisa jadi salah dan sebaliknya. Maka, ulama kemudian bergerak dan menyampaikan nasihat pada penguasa dengan berbagai cara. Namun begitulah, penguasa yang sudah bebal, alergi dengan nasihat.
Surat Al-Qamar tegas menjelaskan pola-pola kehancuran suatu negeri: ketika datang seorang Rasul, bangsa itu mendustakan. Ketika datang kebenaran dari agama, bangsa itu mendustakan. Kaum Quraisy, kaum Nuh, Aad, Tsamud, kaum Saleh, kaum Luth, dan Fir’aun. Lalu diakhiri, dengan azab-azab yang mengerikan.
Dan kehancuran suatu rezim, biasanya dimulai ketika nasihat yang ada dianggap sebagai hal yang mengancam pemerintahan. Ketika itulah, ulama mengalami perlakuan jahat. Akan tetapi, taka da siapapun yang bisa menghentikan para ulama, kecuali Allah sendiri.
Sebagaimana, Allah pulalah yang mengirimkan mereka, untuk menegur, atau bahkan mengganti generasi lama yang kepalang hancur dan lupa pada dirinya sendiri.
Amar Ar-Risalah
Januari Hujan 2017.
Langganan:
Postingan (Atom)