Senin, 16 Januari 2017

Sejarah Kejahatan Negara Pada Para Ulama

Tidak hanya rezim hari ini yang gemar melakukan kejahatan-kejahatan pada ulama. Sejak dulu, gen ulama memang sepertinya tidak cocok dengan pemerintah. Dan sejak dulu, sepertinya gen pemerintah dan penguasa selalu tidak cocok dengan para ulama. 
 
Hati para ulama, memang seperti seekor burung merpati yang bebas. Pikiran para ulama, seperti anak panah yang pernah dilesatkan para sahabat nabi pada jantung-jantung mereka yang batil. Bahkan kehadiran fisik mereka saja, sudah mampu menyakiti mata dan hati musuh-musuhnya.
 
Tidak hanya Habib Riziek dan KH Bachtiar Nasir. Tidak hanya Tengku Zulkifli dan KH Arifin Ilham. Tetapi, sejak dulu para ulama sebagai warasatul Anbiya menjalankan tugas-tugas dakwah ini untuk menegur para penguasa dan tidak membenarkan dosa-dosa atas nama fatwa dan jabatan, sedikitpun.
 
Jika Rasulullah membenarkan kejahatan para penguasa, tentu hari ini yang ada, bukan Islam yang terang dan tegas, tapi agama musyrik Makkah yang muncul dalam bentuk baru; yang pura-pura islami. Tapi ternyata tidak. Rasulullah tidak pernah seharipun membenarkan ajaran-ajaran jahiliyah itu.
 
Adalah Imam Nawawi Al-Banteni, sebagai titik awal pembahasan kita. Memang kejahatan Negara muncul lebih awal daripada era Imam Nawawi, dan begitu juga semangat pelurusan ulama kepada kesalahan pemerintah. Akan tetapi, imam Nawawi dalam hal ini, bisa menjadi contoh yang masih lekat dalam ingatan bangsa ini. 
 
Ia adalah seorang ulama Indonesia yang menjadi sasaran kebencian Negara—kala itu Hindia Belanda—atas tuduhan menggerakkan pemberontakan petani Banten. Ia sendiri kemudian menyepi dan menghindar ke Makkah Al-Mukarramah. Ia wafat beberapa tahun sebelum pergantian abad 19 ke 20, yaitu 1897.
 
Kemudian, pada masanya, lahirlah ulama besar HOS Tjokroaminoto. Ia dianggap sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota karena kekuasaannya untuk menggerakkan masa saat itu, nyaris serupa dengan Habib Riziek Syihab; mampu mengalahkan dominasi Negara. Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, itulah syiarnya yang kemudian menggaung bersama rakyat.
 
Ia demikian kuat; sampai kehadirannya saja mampu menyebabkan perlawanan di mana-mana. Ia mendirikan Sarekat Dagang Islam, yang kemudian menjelma sebagai kekuatan politik besar. Pada 1920, ia dipenjara atas tuduhan pembunuhan. Padahal sesisi negeri sudah tahu; itu hanya kekhawatiran Belanda karena sosoknya yang begitu mampu membangkitkan perlawanan. 
 
Dan tentu kita masih ingat, pada tahun 1918, ketika itu orang-orang komunis dan nasionalis begitu gemar menghina Islam, ulama, dan Rasulullah. Ia membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammad, yang berjumlah sekitar 30.000 orang, kerumunan massa terbesar di Indonesia kala itu.
 
Tak lama setelah Tjokroaminoto, muncul sosok ulama yang menjadi Presiden Liga Muslim Dunia dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia, Muhammad Natsir. Tokoh kelahiran 1908 ini begitu kharismatik. Pada masa Soekarno, ia menjadi punggawa besar Masyumi dan aktif menyuarakan syariat islam sebagai solusi kebangsaan. Dan jelas, ia adalah sosok anti komunis. 
 
Namun, lagi-lagi, selamanya Ulama tidak bisa bersatu dengan umara. Ia dipenjara karena tuduhan menggerakkan PRRI Permesta. Berbagai tuduhan keji kala itu dilancarkan PKI melalui berbagai sayap medianya. Persis seperti hari ini, komunis sangat getol menggunakan media untuk membuat rupa-rupa fitnah. Ia, dipenjara dari tahun 1962 dan kemudian dibebaskan pada 1966 oleh Orde Baru.
 
Akan tetapi, ia kemudian melihat pemerintah Orde Baru kurang cakap dalam hal tafsir-menafsir dasar Negara. Ia menandatangani petisi 50, suatu petisi yang kala itu dibuat sebagai bentuk protes atas kekacauan tafsir terhadap pancasila pada 1980; dan membuat ia menjadi musuh pemerintah. Dia sendiri, dilarang pergi ke luar negeri hingga akhir hayatnya.
 
Pada tahun 1984, menyeruak kabar dan peraturan mengenai asas tunggal Pancasila. Berbagai kalangan islam ramai-ramai berdemonstrasi dan kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh penguasa. Adalah Amir Biki, yang kemudian syahid dalam peristiwa besar untuk memperjuangkan tafsir pancasila yang lurus dan benar sesuai islam.
 
12 September itu, ribuan massa dari Tanjung Priok berkumpul dan menuntut pembebasan 4 warga yang ditangkap aparat. Untuk menyambut mereka, datanglah kendaraan lapis baja dan truk militer yang kemudian, dalam satu malam, menghabisi nyawa 400 umat islam, termasuk Ust. Amir Biki, seorang ulama lokal Jakarta.
 
Ia tewas dengan luka tembak bersama ratusan umat muslim lain yang dilindas kendaraan lapis baja. hari itu, “tak ada sebuahpun rumah muslim di Tanjung Priok yang tidak kehilangan anggota keluarganya”
 
Buya Hamka, seorang ulama-sastrawan besar di Indonesia, juga tak luput dari pemenjaraan itu. Pada masa perjuangan fisik untuk memerdekakan Indonesia, ia menjadi salah satu lascar di Sumatera untuk melawan belanda dengan senjata. Kala itu, belanda adalah sinonim dari kebatilan dalam lisan para ulama. 
 
Pada masa Orde Lama, ia kemudian menjadi anggota Konstituante dan pemimpin Muhammadiyah sekaligus Masyumi. Setelah tidak lagi terjun ke dunia politik, ia membuat majalah Panji Masyarakat, yang keras dan tegas menentang komunis. Lalu, majalah itu dibredel oleh Orde Lama.
 
Jelas, Lekra dan PKI pada masa akhir Orde Lama begitu gemar menghina Buya Hamka. Hinaan-hinaan itu, berujung pada fitnah percobaan pembunuhan yang kemudian mengantarkannya pada penjara. Pada tahun 1964, di dalam penjara, ia bisa menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. 
 
Pada masa Orde Baru, ia masih juga bersikap lurus. Ia memang seiring pada kebijakan Anti Komunis, namun, sebagai seorang agamawan, kebenaran harus tetap tegak meskipun langit runtuh. 
 
Ia mengeluarkan fatwa haram merayakan natal bersama, setelah sebelumnya kebijakan Natal Bersama diresmikan Soeharto. Daripada mencabut fatwanya, ia memilih mundur dari jabatan Ketua Umum MUI pada 1980.
 
Dan jika hari ini, ada kejahatan Negara pada Habib Riziek dan beserta keturunan Rasulullah yang lain, maka jangan heran. Berarti Habib Riziek sudah menjalankan tugas keulamaannya dengan baik dan benar. Ia sudah menjadi penegak keadilan, musuh kebatilan.
 
Kita baru bicara mengenai sosok-sosok hebat besar. Kita belum lagi bicara mengenai orang-orang tanpa nama dan local yang bersikap keras pada kejumudan dan kebatilan negeri ini. 
 
Kejahatan Negara pada para ulama, sekurangnya terjadi karena dua hal. Pertama, ketika tatanan Negara kemudian menjadi alat kejahatan demi memenuhi kebuasan nafsu para pelaksananya. Lagi-lagi, para ulama adalah mereka yang bergerak atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah.
 
Sudah tentu, dengan dua hal itu, para ulama mendapatkan kehalusan hati. Dengan kehalusan hati itulah, kejahatan Negara dan kebatilannya Nampak jelas di mata para ulama. Inilah yang dinamakan bashirah, Orang yang dikaruniai bashirah, akan menyingkir dari kejahatan yang ada dan jujur mengatakan apa adanya.
 
Kedua, adalah titik tolak pemikiran yang berbeda antara ulama dan Negara. Ulama, jelas akan menggunakan wahyu dan sunnah Rasulullah sebagai batu pengukur. Sedangkan Negara seringkali hanya menggunakan kebenaran objektif, misalnya, kemajuan Negara lain atau standar buku-buku ideologi gagal,seperti demokrasi, komunisme, sosialisme, dan lain-lain.
 
Perbedaan standar ini kemudian mengakibatkan perbedaan pula pada cara ulama memandang keberhasilan dan kegagalan Negara dengan kebanyakan orang, terutama aparatur pemerintahan. 
 
Hal yang menurut pemerintah benar, menurut ulama bisa jadi salah dan sebaliknya. Maka, ulama kemudian bergerak dan menyampaikan nasihat pada penguasa dengan berbagai cara. Namun begitulah, penguasa yang sudah bebal, alergi dengan nasihat.
 
Surat Al-Qamar tegas menjelaskan pola-pola kehancuran suatu negeri: ketika datang seorang Rasul, bangsa itu mendustakan. Ketika datang kebenaran dari agama, bangsa itu mendustakan. Kaum Quraisy, kaum Nuh, Aad, Tsamud, kaum Saleh, kaum Luth, dan Fir’aun. Lalu diakhiri, dengan azab-azab yang mengerikan.
 
Dan kehancuran suatu rezim, biasanya dimulai ketika nasihat yang ada dianggap sebagai hal yang mengancam pemerintahan. Ketika itulah, ulama mengalami perlakuan jahat. Akan tetapi, taka da siapapun yang bisa menghentikan para ulama, kecuali Allah sendiri.
 
Sebagaimana, Allah pulalah yang mengirimkan mereka, untuk menegur, atau bahkan mengganti generasi lama yang kepalang hancur dan lupa pada dirinya sendiri.
 
Amar Ar-Risalah
Januari Hujan 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar