Jumat, 14 April 2017

Masjid Jakarta: Dari Kebayoran Sampai Daan Mogot



Amar Ar-Risalah

Suatu hari, di tengah kerasnya perdebatan antara komunisme dan islam tentang dasar-dasar negara ini, Buya Hamka, tergerak untuk membangun sebuah masjid besar di kawasan Kebayoran Baru.

Tahun 1953. Batu pertama diletakkan tepat pada 19 November. Kala itu, tokoh-tokoh Masyumi yang ada sedang bersaing keras di parlemen melawan kekuatan PKI yang pada waktu itu nyata memusuhi tokoh islam. Baik di jalanan, maupun di parlemen.

Setahun sebelum masjid ini dimulai dibangun, terjadi razia Agustus 1951: pembersihan pemerintahan dan bahkan aparat desa dari anasir PKI dan DI TII, oleh kabinet yang diisi orang-orang Masyumi. Razia ini menuai kecaman dan menjadi front miniatur perang sipil.

Yang terjadi kemudian, 1952 hingga 1953, ketika Natsir memberikan pandangan terhadap kinerja pemerintah dalam sebuah sidang di Agustus itu, ia mengatakan dengan jelas bahwa negara di ambang perang dan kekacauan karena komunisme.

Masjid Al-Azhar diresmikan lada 1958, tepat 4 tahun ketika fatwa Masyumi, terkait vonis Kafir bagi penganut ajaran komunisme secara sadar, dijatuhkan. Jenazah mereka tidak boleh  dishalatkan. Kala itu, MUI belum ada  dan Masyumi bisa dikatakan sebagai wadah para ulama.

Tetapi, umat islam, ridho terhadap masjid ini. Para ulama bertahan dengan cemoohan "Neo-Masyumi", " Hamkaisme", dan sejenisnya. Masjid ini menjadi garis pertahanan yang kuat sekali.


Dalam waktu yang relatif bersamaan, 1951, batu pertama pembukaan tanah Masjid Istiqlal diletakkan Presiden Soekarno, di atas reruntuhan benteng Belanda, Wilhelmina.  Di bayang-bayang yang sama, perseteruan kaum Agama, Nasionalis, dam Komunis, masjid ini terus dibangun.

Fx Silaban, arsiteknya, adalah seorang protestan pribumi, dan tidak memiliki tendens apapun. Masjid ini tidak diklaim sebagai karya agungnya. Tidak pula diklaim sebagai bukti toleransi Soekarno, karena dibangun antara Gereja Immanuel dan Gereja Katedral. Tak ada buzzer. Tak ada citra.

Di tengah silang sengkarut politik, bayang-bayang disintegrasi kalangan Kristen dari Indonesia karena Piagam Jakarta: Masjid ini, diridhoi masyarakat. Diridhoi baik NU maupun Muhammadiyah, dengan Masyumi sebagai payung besarnya.

Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, yang dianggap sebagai pemborosan, tak juga mengurangi keridhoan umat terhadap pembangunan Masjid Agung At-Tin yang dimulai pada 1997.

Masjid ini menjadi saksi betapa cintanya Presiden Soeharto pada istrinya. Kontroversi yang ada, bukanlah pada siapa pembangunnya. Tapi, kondisi ekonomi kita yang melorot. Orang tahu masjid ini milik Yayasan pribadi keluarga cendana. Tapi, tak digunakan bagi pencitraan jelang pemilihan.

Tetapi, umat tetap ridho. Tak ada kebencian pada Soeharto akibat masjid ini. Orang leluasa beribadah dan bermalam di sana. Hingga kini.

Hanya sebulan setelah Masjid At-Tin diresmikan, sejarah mencatat salah satu lokalisasi terbesar di Indonesia dengan lebih dari 1600 PSK, ditutup. Kramat Tunggak namanya. Di Jakarta Utara.

Empat tahun kemudian, pada lahan kosong itu, Gubernur Sutiyoso dengan kelapangannya menerima masukan dari para ulama, membangun sebuah islamic center dengan masjid yang sangat megah. Umat, sangat ridho. Bahkan sangat ridho.

Tak pernah ada yang menyebut, ini jasa Sutiyoso. Bagi muslim, ibadah membangun masjid, adalah sesuatu yang suci. tak perlu dibanggakan sebagai karya diri.

Kemudian, lewat 13 tahun kemudian, di sebuah daerah di Jalan Daan Mogot, dibangun masjid yang akan diberi nama Masjid KH Hasyim Asy'ari.

Ya, ulama yang pernah menyerukan Resolusi Jihad mengusir penjajah kafir dari darul islam, berpuluh tahun lalu. Ulama yang tak bisa dibeli dengan apapun. Ulama yang keras penolakannya pada penjajahan bangsa asing.

Hanya masalahnya, umat tidak ridho. Masjid Al-Azhar, Istiqlal, At-Tin, Kramat Tunggak, dan lain-lain tidak dibangun dengan ungkapan-ungkapan bangga diri dan menghina ulama.

Masjid-masjid itu justru menjadi benteng para ulama dari segala anasir yang hendak hancurkan apa yang dibangun umat islam di negeri ini.

Masjid ini, justru digunakan para pendukung pasangan calon pemimpin Jakarta untuk mencibir ulama. Untuk memecah belah persatuan islam.

Maka, jika Umat islam tidak ridho, akan khusyukkah mereka yang shalat di dalamnya? Akan bebaskah kita dari perbuatan keji dan mungkar, ketika kita shalat di tempat yang dibangun, oleh orang yang sama yang memusuhi islam?

Tidak. Umat tidak ridho. "Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut apapun kecuali Allah..."

Pojok Jakarta, 15 April 2017