Minggu, 11 November 2018

Alasan Untuk Menulis dan Seruan Keadilan



Amar Ar-Risalah

Semua tulisan yang abadi, selalu lahir karena satu hal. Tulisan itu memberikan tawaran jalan keluar dari segala penindasan yang terjadi pada pembacanya.

Dan dengan tulisannya itu, orang diajak memahami, bahwa kebebasan yang dia alami adalah semu. Bahwa ada kekuatan manusia lain yang menindasnya, yang merampas haknya, dan islamlah, yang dapat menegakkan hak-haknya kembali.

Hasan Al-Banna. Mesir. 1930-an. Kekhalifahan Islam baru saja runtuh. Inggris menguasai militer, pelabuhan, dan media di Mesir.

Mesir memang negara merdeka di atas kertas. Tapi kebijakan Raja Faruq, tak pernah bisa membohongi rakyatnya. Bahwa ia lebih menguntungkan Inggris dengan apa yang dikenal hari ini sebagai 'investasi', 'kenyamanan bagi pelaku pasar', dan sejenisnya.

Hasan Al-Banna yang seorang penghafal Qur'an jelas menangkap hal ini. Dengan ketajaman hatinya, ia tangkap kerinduan orang pada keadilan. Maka sambil ia menyusun lapis demi lapis gerakan Ikhwanul Muslimin, ia menulis.

Tulisannya tajam, bernas, dan apa adanya. Saat ia menuliskan kata keadilan, maka ia sangat paham apa maksudnya. Ia tawarkan keadilan islam bagi bangsanya. Tulisannya itu dimuat secara berkala di Majalah Al-Ikhwanul Muslimun hingga menjelang akhir hayatnya.

Sebab, keadilan harus ada buat semua orang. Bukan cuma yang bisa menanam investasi di sebuah negara, tapi juga pada pedagang-pedagang kecil, yang saban musim pemilihan berharap diwakili pejabat yang bijak dan kritis.

Tapi pemilihan itu sendiripun sebuah pembohongan publik. Hasan Al-Banna melihat dari pemilihan semacam itulah, Negeri Mesir jatuh ke lubang hitam ketidakadilan.

Ke manakah islam? Ke manakah persaudaraan muslim?

Saat ia melihat penyebab muslim melemah dan secara pribadi begitu lembek, ia tuliskan 10 baiat Muslim yang membuat kita menjadi pribadi yang unggul.

Dari 10 baiat itu, ada 20 hal pokok yang harus dipahami seorang muslim. Ushul Isyrin namanya. Tulisannya, di masa-masa perang itu, menjawab kerinduan orang tentang cara-cara menegakkan kembali keadilan yang hilang.

Maka bersamanya, orang bergabung kedalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan bergerak di mana-mana bagai gelombang. Saat tersiar kabar pecahnya perang dan penjajahan di Palestina, Hasan mengirim 10.000 orang dengan kemampuan militer ke sana.

Pencapaian yang luar biasa! Hasan Al-Banna dan tulisannya seolah-olah mampu menjawab kerinduan masyarakat tentang konsep keadilan itu. Sampai akhirnya, pemerintah Mesir merasa ia adalah ancaman.


Di sudut ini patutlah kita merasa: ketidakadilan yang sama terjadi di negeri kita. Negeri kita mengimpor segala sesuatu, yang mana, rakyat masih mampu mengusahakannya. Perbedaan hak si kaya dan si miskin makin tajam.


Kebijakan pemerintah juga makin menguntungkan pengusaha, atas nama data-data pembangunan. Sementara, kesakita. Rakyat tak ada tempatnya. Untuk alasan itulah, KAMMI harus senantiasa ada.

Gerakan KAMMI, ada di mana-mana dan merasakan kelaparan yang sama dengan rakyat. Tinggal kita menuliskan gagasan-gagasan keadilan itu, sebagaimana Hasan Al-Banna dalam mingguan Ikhwanul Muslimun.

Tak ada tulisan yang lebih berbahaya selain menyadarkan orang tentang ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka. Dan terutama, ketidakadilan Inggris kepada Mesir, dan Mesir kepada rakyatnya.

Kita sudah tahu bahwa Hasan Al-Banna akan dibunuh. Yang kata Qardhawi, ia dibunuh tiga kali. Ditembak, lalu dokter dilarang merawatnya, dan tak ada seorangpun boleh melihat pemakamannya.

Tapi siapa bisa membohongi orang, bahwa ketidakadilan masih terjadi? Untuk alasan itulah, barangkali Allah menyampaikan tulisan Al-Banna kepada kita. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, atau Majmuatu Rasail, yang menjadi bacaan wajib gerakan kita.

Sebab di negeri kita ketidakadilan telah detail. Telah jelas dan bahkan bisa dirasakan anak kecil sekalipun.

Kita adalah lapis tengah masyarakat Indonesia. Yang melihat megahnya gaya hidup lapis atas kita, atas harta yang dikumpulkan dari pajak-pajak rakyat di lapisan di bawah kita.

Sementara kita juga melihat, betapa tergantungnya negara kita dengan negara lain. Bahwa kemiskinan, sesungguhnya adalah saat ada makanan, tapi kau tak bisa memakannya karena telah diatur-atur oleh orang lain!

Suatu saat rakyat akan sadar bahwa mereka telah dibohongi. Mereka telah ditindas. Suatu saat rakyat akan sadar bahwa hidupnya negara telah diatur tidak dengan benar sehingga terus mencetak ketidakadilan baru secara massal.

Dan, kepada para pemuda, saatnya kita menulis. Saatnya kita berdiri dan tak jadi orang yang sekadar duduk-duduk dan mencibir apa saja yang melintas di hadapan mereka.


Tulislah ketidakadilan itu! Tulislah kejahatan-kejahatan negeri ini, dan bawalah ke bawah sinar matahari yang terang, agar orang tahu bahwa kita telah dibodohi dan ditipu habis-habisan.

Biarkan tulisan kita beredar bersama kelaparan masyarakat dan perjuangan yang menyertainya. Biarkan tulisan kita membidik bersama mata marah para ulama, dan mengalir bersama sungai-sungai yang dikeringkan untuk para pengusaha.

Edarkan tulisan kita ini, pada simpul-simpul kebodohan rakyat, dan bawa mereka dari kegelapan pekat menuju cahaya yang membuat mereka memandang dunia ini dengan kesempurnaan islam.

Zaman mengamanahkan pada kita untuk menulis. Untuk mengabarkan pada rakyat bagaimana cara mengambil kembali kedaulatan mereka. Maka menulislah, dan jangan takut apapun.

Sebab ketakutanmu itu sendiri, adalah sebuah ketidakadilan!


Kita adalah orang-orang yang berpikir dan bertindak merdeka!