Kamis, 29 Agustus 2013
Rabu, 28 Agustus 2013
Puisi-Puisi Amar Ar-Risalah
Kangen
Itu ada cinta mengambang-ambang di udara—tak kuasa
aku menangkapnya—agung sekali cara terbangnya
Hei, bukankah ia
berasal dari tetes-tetes airmata yang naik ke langit; dari mereka yang ingin
sekali menjumpai-Mu?
Aku kangen, Ya Allah, pada airmata Kita. Agar aku
menangis lalu Kau hiburkan, di cahayai tahir sekali
Aku masih boleh
kangen, kan, pada-Mu?
Selasa, 27 Agustus 2013
Pertunjukan-Cerpen Amar Ar-Risalah
Ada sosok
mayat laki-laki. Masih segar. Habis dibunuh dengan dikeroyok oleh sekelompok
orang. orang-orang itu ribut, menentukan siapa yang telah membunuh mayat itu.
perseteruan itu demikian seru, mirip sekali perdebatan di ruang-ruang pengadilan.
Padahal mereka hanya sekelompok orang yang ingin jadi pembunuh, dan repot
menentukan siapa yang menjadi pembunuh utama hingga korban pun tewas. Si Korban
adalah orang kurang beruntung yang kebetulan melintas, tapi seperti dikirim
oleh Tuhan untuk membuat seseorang menjadi pembunuh, dan waktu itu, gelar
pembunuh sangatlah membanggakan.
“Itu korbanku! Jelas,
lihat luka di tangannya!” Pembawa Kapak mencoba mengaku. “Darah dari luka itu
cukup banyak. Sudah jelas ia mayatku!” Ia ngotot sekali. reputasinya memang
sudah sangat besar sebagai Si Kapak Malaikat.
Risalah Amar: Kisah Jatijajar
Sebuah desa permai,
Jatijajar namanya, sebagaimana kesederhanaan orang-orang Sunda menamai sebuah
tempat dengan ciri yang juga sederhana. Hanya ada tiga ekor kucing dan sepuluh
rumah penduduk, sepuluh tahun yang lalu. Alkisah, ketiga kucing ini
terus-menerus melahirkan. Kemampuan bunting mereka luar biasa; enam kali
setahun dan enam anak setiap melahirkan. Mutan? Tidak diketahui dengan pasti.
Yang terjadi berikutnya adalah kepindahan orang-orang Jawa, yang mayoritas dari
Wonogiri lalu menetap.
Penduduk asli yang
beranak pinak bersimbiosis, dan membentuk pola pemukiman menyusur mengikuti
alur jalan raya. Tiga ekor kucing yang tadi, telah menjelma menjadi puluhan
kucing jenis baru yang masih bisa dilacak silsilahnya melalui belangnya, tetapi
tidak doyan tikus.
Risalah Amar: Menghargai Sesuatu
Hmmh.
Tulisan ini, lagi-lagi
Cuma desah-desah keresahan saya. Di akademi Sosmas, saya jadi mengingat-ingat
sesuatu, beberapa tahun lalu sebelum bergabung dengan KAMMI. Begini ceritanya:
Seorang teman saya; bukan
beragama islam, gemar sekali mempelajari sejarah nasional yang disembunyikan
oleh pemerintah. Waktu itu, kami masih sama-sama muda. Dua SMA. Dia orang yang
lumayan simpatik; ketika kebanyakan orang-orang islam yang menjadi kawan saya
justru acuh tak acuh kepada temannya sendiri, dia justru menjadi sahabat dekat
saya dari SMP.
Satu saat, di kelas
saya—2 IPA 1—ternyata diisi anak-anak pilihan yang menjadi aktivis sekolah. Tak
kurang ketua Basket, Ketua PaskIbra, Ketua Pramuka, dan ini yang unik: dua orang
wakil ketua ROHIS bersama dengan seorang Ketua ROHKRIS
Risalah Amar: Berdamailah Dengan Dirimu, Sobat!
Ini curahan hati kepala
departemen, yang mesti membina umat dan masyarakat selayaknya kepala desa,
tetapi bingung harus mulai dari mana. Rekan-rekan saya harus saya perlakukan,
sebagaimana Rasul memperlakukan rekan-rekannya.
Satu hari, kami
mengadakan pertemuan. Satu demi satu berkesempatan mengutarakan pemikirannya.
Seorang, bimbang. Ia sekarang dikenakan kewajiban membangun sebuah desa antah
berantah, yang ia baru kenali beberapa bulan belakangan, namun menghadapi
fakta:
Bahwa daerahnya menjadi
langganan tawuran pemuda antar gang setiap bulan ramadhan. Menjelang lebaran;
teman kita ini sedang menunggu-nunggu datangnya imsak bersama teman-temannya.
Biasa, di depan rumah, sambil memperhatikan bapak-bapak yang berjalan menuju
masjid.
Langganan:
Postingan (Atom)