Ini curahan hati kepala
departemen, yang mesti membina umat dan masyarakat selayaknya kepala desa,
tetapi bingung harus mulai dari mana. Rekan-rekan saya harus saya perlakukan,
sebagaimana Rasul memperlakukan rekan-rekannya.
Satu hari, kami
mengadakan pertemuan. Satu demi satu berkesempatan mengutarakan pemikirannya.
Seorang, bimbang. Ia sekarang dikenakan kewajiban membangun sebuah desa antah
berantah, yang ia baru kenali beberapa bulan belakangan, namun menghadapi
fakta:
Bahwa daerahnya menjadi
langganan tawuran pemuda antar gang setiap bulan ramadhan. Menjelang lebaran;
teman kita ini sedang menunggu-nunggu datangnya imsak bersama teman-temannya.
Biasa, di depan rumah, sambil memperhatikan bapak-bapak yang berjalan menuju
masjid.
Tak ia tahu; di ujung gangnya,
sudah ada beberapa pemuda gang sebelah yang ingin menyerbu pemuda gang itu. ia
tak curiga ketika gerombolan itu datang. Tak bisa dicegah, teman kita ini
dikeroyok dan dilempari batu. Tawuran berakhir ketika aparat RT melerai dan
membawa mereka ke kantor polisi.
Saya, bingung harus
mengatakan apa. Kami harus membangun sekitar sekretariat, tetapi harus
menghadapi fakta bahwa di tempat asal salah satu kader kami masih butuh
kehadiran sosok pendamai, seperti teman kita ini.
Kembali seorang teman
bercerita. Ia berasal dari Klender, daerah yang memang dikenal rawan tawuran.
Tetapi kali ini, melibatkan seluruh generasi dari daerah itu. ya; tawuran dan
kebencian antar warga yang diwariskan secara turun temurun pada setiap generasi
telah berakar di masyarakat sekitar tempat tinggal teman kita ini.
Yah...
Di tempat lain, sobat
Akademi Sosmas lainnya, musti berdamai dengan kedua orang tuanya dan beban
kuliah. Ia didesak untuk terus meningkatkan akademis, sehingga melalaikan
kewajibannya menambah ilmu ruhani.
Tetapi; sepertinya kami
sama-sama larut dalam kecintaan pada dunia. Membangun masyarakat, dengan
mencintai Allah, agar menjadi baladan amin.
Akhirnya saya kembali
berpikir. Enaknya, ngapain ya?
“Gini mar!!” bang Mahar
memecahkan kebuntuan.
“Kalau kita membangun
masyarakat, kita nggak bisa sekonyong-konyong datang. Kita harus berdamai
dengan lingkungan kita dulu. Kita kenali mereka dulu, biarkan mereka mengenal
kita juga...”
Bang Ibrahim menambahkan:
“Harusnya, kalau kita mau membangun masyarakat islam, kunjungi mereka, beri
pengarahan berdasar qur’an. Antum perbaiki bacaan, antum dekat-dekat ke masjid.
Lihat masyarakat butuh apa. Antum harus jadi orang yang paling baik diantara
mereka dulu, sebelum memperbaiki mereka...”
“Rabbi ja’alna haza
baladan amina wa bunyaha....”
****
Percakapan-percakapan di
Akademi Sosmas memang aneh. Ia tak seperti departemen lainnya, yang penuh
dengan kosakata kanan dan kiri. Mereka memilih mempelajari kosakata masyarakat.
Saya tidak mengelak; kami
masih gamang. Kami bahkan masih belum bisa membaur dengan masyarakat di
rumah-rumah kami sendiri. Satu saat; saya pernah dihampiri beberapa pemuda
dekat rumah saya. Mereka baru membangun usaha penjualan sepatu. Terbersit.
Memanfaatkan jaringan dengan kementerian koperasi, saya tertarik membantunya.
Bang Mahar mengajukan
konsep, setiap syuro sosmas, jangan di Sekretariat (ini sebabnya kami
menghilang) tetapi di rumah kader dan mencoba mendamaikan kader dengan orang
tua dan lingkungannya. Kami harus kenal dengan lingkungan tempat kader tinggal.
Tetapi; keprihatinan
saya, nanti jadi apa, ya?
Saya jujur saja. belum
bisa berdamai dengan diri sendiri; kami sudah paham apa yang terjadi di
masyarakat. Termasuk cara-cara memperbaikinya. Mulai dari metode dakwah bil
lisan, hingga bil amal, dan dilanjutkan dengan uswatun hasanah. Jangan-jangan,
kami belum menjadi uswatun hasanah, hanya karena aib-aib kami ditutupi Allah?
Jangan-jangan Allah
sengaja menutupi aib-aib kami dan memberi kami kesempatan berpikir, Masalah
utamanya:
Sudahkah kami berdamai
dengan diri sendiri, untuk menjadi uswatun hasanah?
“Berangkatlah kamu dalam
keadaan ringan atau berat...” ya, kami selalu memberat-beratkan diri, apa yang
diringankan Allah, kita beratkan kembali. Dunia ini tajam sekali; ia mempedaya
siapa saja dan menelannya. Ia mampu mengalahkan gema azan di seluruh kota.
Bahkan ia mampu menghapus ingatan-ingatan kita tentang seruan jihad dari para
pemimpin kita, meskipun hanya seringan menampakkan wajah di depan mas’ul kita.
Taubatlah, Amar,
taubatlah.
Engkau menjadi pemimpin
para penghafal qur’an, sekaligus menjadi agen perubahan di tengah
masyarakat-masyarakat. Umat! Umat! Bagaimana kau membangun umat, sementara
dirimu sendiri lalai. Engkau tenggelam dalam pemakluman-pemakluman diri. Bahwa
engkau masih muda, bahwa engkau masih awam dan seterusnya.
Taubatlah, Amar,
taubatlah.
Kami belum bisa berdamai
dengan diri sendiri, belum bisa menjadi sosok seperti Umar yang ulama sekaligus
umaro, namun sangat pengasih dan tahu setiap sudut rumah rakyatnya. Kami bahkan
lalai dengan qu’an, akrab dengan buku-buku murah liberal, akrab dengan
teks-teks yang jauh dari qur’an yang agung itu. kami baru bisa saling
menyalahkan dan lempar tanggung jawab, tanpa sadar bahwa kamilah yang
seharusnya menjawab, karena orang islam itu satu, baik baru atau lama, tua atau
muda.
Sudahkah kami menjaga
hafalan qur’an? Sudahkah kami saling menjaga seperti para utusan yang kerap
dikirim Rasulullah untuk berdakwah? Atau, sudahkah kami secara rutin bertaubat
karena secara rutin pula kami ingkar dan fusuq pada-Mu, ya Allah?
Tetapi; keprihatinan
kami, nanti jadi apa ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar