Selasa, 27 Agustus 2013

Risalah Amar: Berdamailah Dengan Dirimu, Sobat!

Ini curahan hati kepala departemen, yang mesti membina umat dan masyarakat selayaknya kepala desa, tetapi bingung harus mulai dari mana. Rekan-rekan saya harus saya perlakukan, sebagaimana Rasul memperlakukan rekan-rekannya.

Satu hari, kami mengadakan pertemuan. Satu demi satu berkesempatan mengutarakan pemikirannya. Seorang, bimbang. Ia sekarang dikenakan kewajiban membangun sebuah desa antah berantah, yang ia baru kenali beberapa bulan belakangan, namun menghadapi fakta:

Bahwa daerahnya menjadi langganan tawuran pemuda antar gang setiap bulan ramadhan. Menjelang lebaran; teman kita ini sedang menunggu-nunggu datangnya imsak bersama teman-temannya. Biasa, di depan rumah, sambil memperhatikan bapak-bapak yang berjalan menuju masjid.

Tak ia tahu; di ujung gangnya, sudah ada beberapa pemuda gang sebelah yang ingin menyerbu pemuda gang itu. ia tak curiga ketika gerombolan itu datang. Tak bisa dicegah, teman kita ini dikeroyok dan dilempari batu. Tawuran berakhir ketika aparat RT melerai dan membawa mereka ke kantor polisi.

Saya, bingung harus mengatakan apa. Kami harus membangun sekitar sekretariat, tetapi harus menghadapi fakta bahwa di tempat asal salah satu kader kami masih butuh kehadiran sosok pendamai, seperti teman kita ini.

Kembali seorang teman bercerita. Ia berasal dari Klender, daerah yang memang dikenal rawan tawuran. Tetapi kali ini, melibatkan seluruh generasi dari daerah itu. ya; tawuran dan kebencian antar warga yang diwariskan secara turun temurun pada setiap generasi telah berakar di masyarakat sekitar tempat tinggal teman kita ini.
Yah...
Di tempat lain, sobat Akademi Sosmas lainnya, musti berdamai dengan kedua orang tuanya dan beban kuliah. Ia didesak untuk terus meningkatkan akademis, sehingga melalaikan kewajibannya menambah ilmu ruhani.

Tetapi; sepertinya kami sama-sama larut dalam kecintaan pada dunia. Membangun masyarakat, dengan mencintai Allah, agar menjadi baladan amin.

Akhirnya saya kembali berpikir. Enaknya, ngapain ya?

“Gini mar!!” bang Mahar memecahkan kebuntuan.

“Kalau kita membangun masyarakat, kita nggak bisa sekonyong-konyong datang. Kita harus berdamai dengan lingkungan kita dulu. Kita kenali mereka dulu, biarkan mereka mengenal kita juga...”

Bang Ibrahim menambahkan: “Harusnya, kalau kita mau membangun masyarakat islam, kunjungi mereka, beri pengarahan berdasar qur’an. Antum perbaiki bacaan, antum dekat-dekat ke masjid. Lihat masyarakat butuh apa. Antum harus jadi orang yang paling baik diantara mereka dulu, sebelum memperbaiki mereka...”
“Rabbi ja’alna haza baladan amina wa bunyaha....”

****

Percakapan-percakapan di Akademi Sosmas memang aneh. Ia tak seperti departemen lainnya, yang penuh dengan kosakata kanan dan kiri. Mereka memilih mempelajari kosakata masyarakat.

Saya tidak mengelak; kami masih gamang. Kami bahkan masih belum bisa membaur dengan masyarakat di rumah-rumah kami sendiri. Satu saat; saya pernah dihampiri beberapa pemuda dekat rumah saya. Mereka baru membangun usaha penjualan sepatu. Terbersit. Memanfaatkan jaringan dengan kementerian koperasi, saya tertarik membantunya.

Bang Mahar mengajukan konsep, setiap syuro sosmas, jangan di Sekretariat (ini sebabnya kami menghilang) tetapi di rumah kader dan mencoba mendamaikan kader dengan orang tua dan lingkungannya. Kami harus kenal dengan lingkungan tempat kader tinggal.

Tetapi; keprihatinan saya, nanti jadi apa, ya?

Saya jujur saja. belum bisa berdamai dengan diri sendiri; kami sudah paham apa yang terjadi di masyarakat. Termasuk cara-cara memperbaikinya. Mulai dari metode dakwah bil lisan, hingga bil amal, dan dilanjutkan dengan uswatun hasanah. Jangan-jangan, kami belum menjadi uswatun hasanah, hanya karena aib-aib kami ditutupi Allah?

Jangan-jangan Allah sengaja menutupi aib-aib kami dan memberi kami kesempatan berpikir, Masalah utamanya:

Sudahkah kami berdamai dengan diri sendiri, untuk menjadi uswatun hasanah?

“Berangkatlah kamu dalam keadaan ringan atau berat...” ya, kami selalu memberat-beratkan diri, apa yang diringankan Allah, kita beratkan kembali. Dunia ini tajam sekali; ia mempedaya siapa saja dan menelannya. Ia mampu mengalahkan gema azan di seluruh kota. Bahkan ia mampu menghapus ingatan-ingatan kita tentang seruan jihad dari para pemimpin kita, meskipun hanya seringan menampakkan wajah di depan mas’ul kita.

Taubatlah, Amar, taubatlah.

Engkau menjadi pemimpin para penghafal qur’an, sekaligus menjadi agen perubahan di tengah masyarakat-masyarakat. Umat! Umat! Bagaimana kau membangun umat, sementara dirimu sendiri lalai. Engkau tenggelam dalam pemakluman-pemakluman diri. Bahwa engkau masih muda, bahwa engkau masih awam dan seterusnya.

Taubatlah, Amar, taubatlah.

Kami belum bisa berdamai dengan diri sendiri, belum bisa menjadi sosok seperti Umar yang ulama sekaligus umaro, namun sangat pengasih dan tahu setiap sudut rumah rakyatnya. Kami bahkan lalai dengan qu’an, akrab dengan buku-buku murah liberal, akrab dengan teks-teks yang jauh dari qur’an yang agung itu. kami baru bisa saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab, tanpa sadar bahwa kamilah yang seharusnya menjawab, karena orang islam itu satu, baik baru atau lama, tua atau muda.

Sudahkah kami menjaga hafalan qur’an? Sudahkah kami saling menjaga seperti para utusan yang kerap dikirim Rasulullah untuk berdakwah? Atau, sudahkah kami secara rutin bertaubat karena secara rutin pula kami ingkar dan fusuq pada-Mu, ya Allah?

Tetapi; keprihatinan kami, nanti jadi apa ya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar