Ada sosok
mayat laki-laki. Masih segar. Habis dibunuh dengan dikeroyok oleh sekelompok
orang. orang-orang itu ribut, menentukan siapa yang telah membunuh mayat itu.
perseteruan itu demikian seru, mirip sekali perdebatan di ruang-ruang pengadilan.
Padahal mereka hanya sekelompok orang yang ingin jadi pembunuh, dan repot
menentukan siapa yang menjadi pembunuh utama hingga korban pun tewas. Si Korban
adalah orang kurang beruntung yang kebetulan melintas, tapi seperti dikirim
oleh Tuhan untuk membuat seseorang menjadi pembunuh, dan waktu itu, gelar
pembunuh sangatlah membanggakan.
“Itu korbanku! Jelas,
lihat luka di tangannya!” Pembawa Kapak mencoba mengaku. “Darah dari luka itu
cukup banyak. Sudah jelas ia mayatku!” Ia ngotot sekali. reputasinya memang
sudah sangat besar sebagai Si Kapak Malaikat.
“Sembarangan. Sudah
jelas di pahanya itu membulat bekas pukulan gada milikku. Paling tidak,
tulangnya hancur sekarang. Gadaku ini luar biasa kerasnya! Ia dibuat dari baja
dan pembuatannya sangat lama” Kata Penggada. Gadanya memang besar. Mematikan,
tentu saja.
“Tetapi,” sela Pengguna
Pisau, “Lihat sayatan di punggungnya! Cukup panjang bukan? Kulitnya sampai
terkelupas. Pisauku ini biasa digunakan untuk mengupas kulit kerbau!” Pengguna
Pisau tidak terima. Ia bahkan menggores-goreskan pisaunya ke batuan karena
kesal. Pisau Damaskus, adalah pisau yang dikenal paling tajam di dunia. Ia
mampu memotong (bukan merobek atau menggergaji) besi dan sutera.
Perdebatan
makin sengit. Menunjukkan muka yang meremehkan dan menafikan pendapat semuanya.
Sementara mayatnya diam. Semua masih memegang senjatanya sendiri.
“Kalian jangan berebut.
Lihat itu perutnya. Besar sekali terbelah, sudah jelas pedang tajamku ini yang
membunuhnya! Alat-alat seperti kalian itu tidak bisa bahkan melukai sampai
dalam!” Pengguna Pedang memang kuat. Tetapi, pedang panjangnya itu seringkali
mengurangi kecepatannya.
“Dasar sesumbar!”
bentak Pelempar Batu.” Lihat benjol di keningnya itu! besar kan! Kalian mau
benjol juga! jelas-jelas batu lemparanku tadi mengenainya. Kenapa mesti
ribut?!” Ia terkenal sekali sebagai pemburu, pelempar batu andal dari gunung.
Situasi makin panas. Mereka terus menerus berdebat. Bahkan
para pengguna senjata itu hampir saja mengangkat senjata lagi, sebelum diberikan
jalan keluar oleh pengguna Gada. “Begini, katanya. “Kalau memang rumit, mayat
ini kita simpan dulu di pondok. Bagaimana kalau kita renung-renungkan dulu, apa
benar senjata kita yang membunuh mayat itu, dengan kepala dingin!”
Terlalu lama! Sambung
yang lain. “Mau sampai kapan?!”. Pembunuh adalah gelar bergengsi. Masak iya
harus ditunda-tunda.
Satu hari! Sebelum
orang-orang ramai dan mencari-cari si mayat ini! bagaimana?” semua setuju.
Mereka menyimpan mayat itu di pondokan mereka, sementara, mereka berpencar.
Mencari tempat merenung yang dipandang paling baik.
Ada yang pergi ke hutan
sepi, hingga yang terdengar adalah suara air dan serangga. Ada yang pergi ke
kuil tempat biksu-biksu berdoa. Ada juga yang pergi ke lantai atas pondoknya,
dan bersemedi. Pokoknya macam-macam. Yang penting sepi, dan enak buat merenung.
****
Manusia adalah makhluk
yang lumayan logis. Maksudnya, ia pasti berpikir untuk memuaskan logikanya
sendiri. Padahal, logika adalah masalah masuk akal berbanding kemungkinan. Ada
beberapa hal masuk akal, tetapi tidak mungkin terjadi. Ada yang mungkin
terjadi, tapi dianggap tidak masuk akal.
“Kapakku ini besar dan
berat. Masak iya tidak melukai sama sekali? kalau kupikir, tangannya itu
mengeluarkan banyak darah. Pasti ia mati kehabisan darah, atau minimal
menanggung rasa sakit akibat luka itu.” Pikirannya mulai merayap kemana-mana.
“Tetapi... setahuku
luka di tangan itu tidak mematikan. Andaikata ia mati kehabisan darah, tentu
tidak akan secepat itu. ada kemungkinan ia mati dengan serangan bersama
sehingga darah cepat habis dari semua
luka-lukanya” Pembawa Kapak ini pikirannya logis juga. hmm, seandainya korban
memang mati karena sayatan di tangan, bukankah tangan tidak mengandung
syaraf-syaraf penting, kecuali si Korban ini punya otak di tangannya.
Pikiran Penggada begini
jalannya: “Paha itu organ vital, memang. Gadaku ini meninggalkan bekas yang
jika ia masih hidup, sakitnya luar biasa. Tulangnya kupastikan hancur menjadi
serpihan-serpihan. Bahkan ia jatuh ke tanah gara-gara gadaku itu. hrrrr....”
“hanya saja, aku
sendiri sering melukai pahaku dalam perkelahian. Tetap aku tidak mati. Tak
jarang aku hanya pincang, meski tulangku kerap-kali patah dan butuh
bertahun-tahun untuk sembuh. Aku yakin sekali, sepertinya memang bukan luka
dari gadaku itu yang membunuhnya, tetapi semua
luka-lukanya....”
Lain lagi dengan
Pengguna Pedang. “Ususnya memang tidak sampai terburai keluar. Tetapi lukanya
itu lebar sekali. ia harusnya tewas pada pedangku. Tetapi, aku yang
berulangkali ditikam oleh musuh-musuhku tepat di lambung ini, tidak pernah
mati. Aneh juga kalau dia mati karena perutnya sobek. Jangan-jangan,
luka-lukanya itu memang tidak seberapa
parah, tetapi ia hanya jantungan atau lainnya....”
Pengguna Pisau berpikir
keras sekali, “Kalau memang sayatan di punggung itu tidak membunuhnya, sangat
luar biasa! Pisauku ini dibuat dari Damaskus. Bahannya pun mampu membelah
sutera tanpa merusaknya. Namun, lukanya
memang tidak dalam... ah, apa gerangan yang membunuhnya? Darah juga tidak
seberapa banyak mengalir, meski lukanya memanjang dari bahu hingga tulang
ekornya....”
Dalam benak Pelempar
Batu yang bekerja sebagai pemburu, ia yakin bahwa ia yang membunuhnya. “Batu
yang kulempar tadi lurus menuju keningnya. Apakah ia tak akan mati dengan itu?
luarbiasanya kalau ia tak mati-mati juga. tetapi memang, kepalanya itu
samasekali tak berdarah, hanya benjol dan biru. Ada yang harus kupastikan.
Sepertinya, mustahil juga seseorang mati hanya karena lemparan di kepala hingga
benjol. Terlalu mudah untuk mati bagi
seorang manusia...”
Pikiran mereka berempat
seperti diganggu kutu yang luarbiasa gatalnya, tetapi tak bisa digaruk sebab
tak punya tangan. Rasanya seperti kutu itu menghabisi kepalamu hingga
bentol-bentol dan gatalnya luarbiasa. Mau digaruk, tak punya tangan, tak
digaruk, rasanya mau disiram saja dengan api kepala ini.
Atau rasanya seperti
ada jamur kecil-kecil seukuran jempol yang tumbuh, dan akarnya menembus sampai
tengkorak. Rasanya gatal dan kau tidak bisa mencabutnya, sebab itu tumbuh
permanen di kepalamu. Maka keempat orang itu berpikiran sesuatu.
Jika memang luka semua
senjata bukan sebab kematian mayat yang malang itu, maka pastilah luka
keempatnya sekaligus yang membunuh mayat itu. Tidak salah. Tak ada satu senjata
tunggal pun yang menjadi sebab kematian. Ya; luka-luka kolektif si Korban
itulah yang akhirnya menghabiskan darah, ditambah rasa sakit yang serentak
muncul dari seluruh tubuh, itulah sebab kematiannya!
“Begitu, ya” Pikiran
mereka akhirnya menyimpulkan sesuatu.
Lalu seperti dirasuki
Iblis yang sama, mereka punya sebuah rencana untuk menentukan pembunuhnya. Agar
hanya satu yang menjadi pembunuh mutlak mayat yang malang itu. bunuh keempat
pengguna senjata yang lain!
Mereka, masing-masing,
lalu menyusun rencana penyergapan. Rencananya adalah, tepat di subuh hari.
Ketika semuanya berkumpul, ia akan bunuh ketiga temannya (ini dipikirkan secara
serentak, dan semuanya berpikiran sama). Pukul dengan kapak. Hantam dengan
gada. Belah dengan pedang. Tikam dengan pisau. Lempar dengan batu tajam.
****
Tepat subuh hari, ketika semuanya sepakat bertemu lagi di
tempat kejadian pembunuhan, semuanya mulai mempresentasikan hasil renungannya.
“Ia mati karena kapakku!”
“Ia mati karena
gadaku!”
“Ia mati karena pedangku!”
“Ia mati karena
pisauku!”
“Ia mati kena
lemparanku!”
Mati. Semuanya tak
sepakat. Tepat seperti perkiraan mereka. Dan tepat pada jadwal yang dipikirkan
oleh masing-masing pikiran, semua menikam temannya, dan bertepatan dengan yang
lainnya. Luka mereka, entah kenapa, karena memang terencana tapi bukan oleh
mereka, sangat mematikan; tepat di jantung dan kepala.
“Kita punya rencana
yang sama....” gumam mereka lirih sebelum mati. Keempatnya bergeletakan di
jalan. Lalu di pondok, si mayat, mulai bergerak-gerak. Ternyata darahnya memang
habis. Tetapi, luka-lukanya tak cukup parah. Pondok yang cukup terlindung
membuat kesadarannya kembali; ia hanya pingsan. Ditambah selubung kain membuat
badannya tetap hangat. Ia bangun lagi. Terduduk di lantai, dan mulai menata
pikirannya kembali.
Ia mulai dapat bangkit.
Berdiri. Melihat sekeliling. Menuju pintu. Berpikir ia pasti dibawa ke tempat
para pengeroyok yang berpikir telah membunuhnya. Matanya mulai terang.
Tangannya yang tak terluka parah mulai dapat digerakkan. Mencari air minum.
“Hari yang
melelahkan....” Pikirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar