Selasa, 27 Agustus 2013

Pertunjukan-Cerpen Amar Ar-Risalah

Ada sosok mayat laki-laki. Masih segar. Habis dibunuh dengan dikeroyok oleh sekelompok orang. orang-orang itu ribut, menentukan siapa yang telah membunuh mayat itu. perseteruan itu demikian seru, mirip sekali perdebatan di ruang-ruang pengadilan. Padahal mereka hanya sekelompok orang yang ingin jadi pembunuh, dan repot menentukan siapa yang menjadi pembunuh utama hingga korban pun tewas. Si Korban adalah orang kurang beruntung yang kebetulan melintas, tapi seperti dikirim oleh Tuhan untuk membuat seseorang menjadi pembunuh, dan waktu itu, gelar pembunuh sangatlah membanggakan.

“Itu korbanku! Jelas, lihat luka di tangannya!” Pembawa Kapak mencoba mengaku. “Darah dari luka itu cukup banyak. Sudah jelas ia mayatku!” Ia ngotot sekali. reputasinya memang sudah sangat besar sebagai Si Kapak Malaikat.


“Sembarangan. Sudah jelas di pahanya itu membulat bekas pukulan gada milikku. Paling tidak, tulangnya hancur sekarang. Gadaku ini luar biasa kerasnya! Ia dibuat dari baja dan pembuatannya sangat lama” Kata Penggada. Gadanya memang besar. Mematikan, tentu saja.
“Tetapi,” sela Pengguna Pisau, “Lihat sayatan di punggungnya! Cukup panjang bukan? Kulitnya sampai terkelupas. Pisauku ini biasa digunakan untuk mengupas kulit kerbau!” Pengguna Pisau tidak terima. Ia bahkan menggores-goreskan pisaunya ke batuan karena kesal. Pisau Damaskus, adalah pisau yang dikenal paling tajam di dunia. Ia mampu memotong (bukan merobek atau menggergaji) besi dan sutera.

Perdebatan makin sengit. Menunjukkan muka yang meremehkan dan menafikan pendapat semuanya. Sementara mayatnya diam. Semua masih memegang senjatanya sendiri.

“Kalian jangan berebut. Lihat itu perutnya. Besar sekali terbelah, sudah jelas pedang tajamku ini yang membunuhnya! Alat-alat seperti kalian itu tidak bisa bahkan melukai sampai dalam!” Pengguna Pedang memang kuat. Tetapi, pedang panjangnya itu seringkali mengurangi kecepatannya.

“Dasar sesumbar!” bentak Pelempar Batu.” Lihat benjol di keningnya itu! besar kan! Kalian mau benjol juga! jelas-jelas batu lemparanku tadi mengenainya. Kenapa mesti ribut?!” Ia terkenal sekali sebagai pemburu, pelempar batu andal dari gunung.

Situasi makin panas. Mereka terus menerus berdebat. Bahkan para pengguna senjata itu hampir saja mengangkat senjata lagi, sebelum diberikan jalan keluar oleh pengguna Gada. “Begini, katanya. “Kalau memang rumit, mayat ini kita simpan dulu di pondok. Bagaimana kalau kita renung-renungkan dulu, apa benar senjata kita yang membunuh mayat itu, dengan kepala dingin!”

Terlalu lama! Sambung yang lain. “Mau sampai kapan?!”. Pembunuh adalah gelar bergengsi. Masak iya harus ditunda-tunda.

Satu hari! Sebelum orang-orang ramai dan mencari-cari si mayat ini! bagaimana?” semua setuju. Mereka menyimpan mayat itu di pondokan mereka, sementara, mereka berpencar. Mencari tempat merenung yang dipandang paling baik.

Ada yang pergi ke hutan sepi, hingga yang terdengar adalah suara air dan serangga. Ada yang pergi ke kuil tempat biksu-biksu berdoa. Ada juga yang pergi ke lantai atas pondoknya, dan bersemedi. Pokoknya macam-macam. Yang penting sepi, dan enak buat merenung.

****
Manusia adalah makhluk yang lumayan logis. Maksudnya, ia pasti berpikir untuk memuaskan logikanya sendiri. Padahal, logika adalah masalah masuk akal berbanding kemungkinan. Ada beberapa hal masuk akal, tetapi tidak mungkin terjadi. Ada yang mungkin terjadi, tapi dianggap tidak masuk akal.

“Kapakku ini besar dan berat. Masak iya tidak melukai sama sekali? kalau kupikir, tangannya itu mengeluarkan banyak darah. Pasti ia mati kehabisan darah, atau minimal menanggung rasa sakit akibat luka itu.” Pikirannya mulai merayap kemana-mana.

“Tetapi... setahuku luka di tangan itu tidak mematikan. Andaikata ia mati kehabisan darah, tentu tidak akan secepat itu. ada kemungkinan ia mati dengan serangan bersama sehingga darah cepat habis dari semua luka-lukanya” Pembawa Kapak ini pikirannya logis juga. hmm, seandainya korban memang mati karena sayatan di tangan, bukankah tangan tidak mengandung syaraf-syaraf penting, kecuali si Korban ini punya otak di tangannya.

Pikiran Penggada begini jalannya: “Paha itu organ vital, memang. Gadaku ini meninggalkan bekas yang jika ia masih hidup, sakitnya luar biasa. Tulangnya kupastikan hancur menjadi serpihan-serpihan. Bahkan ia jatuh ke tanah gara-gara gadaku itu. hrrrr....”

“hanya saja, aku sendiri sering melukai pahaku dalam perkelahian. Tetap aku tidak mati. Tak jarang aku hanya pincang, meski tulangku kerap-kali patah dan butuh bertahun-tahun untuk sembuh. Aku yakin sekali, sepertinya memang bukan luka dari gadaku itu yang membunuhnya, tetapi semua luka-lukanya....”

Lain lagi dengan Pengguna Pedang. “Ususnya memang tidak sampai terburai keluar. Tetapi lukanya itu lebar sekali. ia harusnya tewas pada pedangku. Tetapi, aku yang berulangkali ditikam oleh musuh-musuhku tepat di lambung ini, tidak pernah mati. Aneh juga kalau dia mati karena perutnya sobek. Jangan-jangan, luka-lukanya itu memang tidak seberapa parah, tetapi ia hanya jantungan atau lainnya....”

Pengguna Pisau berpikir keras sekali, “Kalau memang sayatan di punggung itu tidak membunuhnya, sangat luar biasa! Pisauku ini dibuat dari Damaskus. Bahannya pun mampu membelah sutera tanpa merusaknya. Namun, lukanya memang tidak dalam... ah, apa gerangan yang membunuhnya? Darah juga tidak seberapa banyak mengalir, meski lukanya memanjang dari bahu hingga tulang ekornya....”

Dalam benak Pelempar Batu yang bekerja sebagai pemburu, ia yakin bahwa ia yang membunuhnya. “Batu yang kulempar tadi lurus menuju keningnya. Apakah ia tak akan mati dengan itu? luarbiasanya kalau ia tak mati-mati juga. tetapi memang, kepalanya itu samasekali tak berdarah, hanya benjol dan biru. Ada yang harus kupastikan. Sepertinya, mustahil juga seseorang mati hanya karena lemparan di kepala hingga benjol. Terlalu mudah untuk mati bagi seorang manusia...”

Pikiran mereka berempat seperti diganggu kutu yang luarbiasa gatalnya, tetapi tak bisa digaruk sebab tak punya tangan. Rasanya seperti kutu itu menghabisi kepalamu hingga bentol-bentol dan gatalnya luarbiasa. Mau digaruk, tak punya tangan, tak digaruk, rasanya mau disiram saja dengan api kepala ini.

Atau rasanya seperti ada jamur kecil-kecil seukuran jempol yang tumbuh, dan akarnya menembus sampai tengkorak. Rasanya gatal dan kau tidak bisa mencabutnya, sebab itu tumbuh permanen di kepalamu. Maka keempat orang itu berpikiran sesuatu.

Jika memang luka semua senjata bukan sebab kematian mayat yang malang itu, maka pastilah luka keempatnya sekaligus yang membunuh mayat itu. Tidak salah. Tak ada satu senjata tunggal pun yang menjadi sebab kematian. Ya; luka-luka kolektif si Korban itulah yang akhirnya menghabiskan darah, ditambah rasa sakit yang serentak muncul dari seluruh tubuh, itulah sebab kematiannya!

“Begitu, ya” Pikiran mereka akhirnya menyimpulkan sesuatu.

Lalu seperti dirasuki Iblis yang sama, mereka punya sebuah rencana untuk menentukan pembunuhnya. Agar hanya satu yang menjadi pembunuh mutlak mayat yang malang itu. bunuh keempat pengguna senjata yang lain!

Mereka, masing-masing, lalu menyusun rencana penyergapan. Rencananya adalah, tepat di subuh hari. Ketika semuanya berkumpul, ia akan bunuh ketiga temannya (ini dipikirkan secara serentak, dan semuanya berpikiran sama). Pukul dengan kapak. Hantam dengan gada. Belah dengan pedang. Tikam dengan pisau. Lempar dengan batu tajam.

****
Tepat subuh hari, ketika semuanya sepakat bertemu lagi di tempat kejadian pembunuhan, semuanya mulai mempresentasikan hasil renungannya. “Ia mati karena kapakku!”

“Ia mati karena gadaku!”

“Ia mati karena pedangku!”

“Ia mati karena pisauku!”

“Ia mati kena lemparanku!”

Mati. Semuanya tak sepakat. Tepat seperti perkiraan mereka. Dan tepat pada jadwal yang dipikirkan oleh masing-masing pikiran, semua menikam temannya, dan bertepatan dengan yang lainnya. Luka mereka, entah kenapa, karena memang terencana tapi bukan oleh mereka, sangat mematikan; tepat di jantung dan kepala.

“Kita punya rencana yang sama....” gumam mereka lirih sebelum mati. Keempatnya bergeletakan di jalan. Lalu di pondok, si mayat, mulai bergerak-gerak. Ternyata darahnya memang habis. Tetapi, luka-lukanya tak cukup parah. Pondok yang cukup terlindung membuat kesadarannya kembali; ia hanya pingsan. Ditambah selubung kain membuat badannya tetap hangat. Ia bangun lagi. Terduduk di lantai, dan mulai menata pikirannya kembali.

Ia mulai dapat bangkit. Berdiri. Melihat sekeliling. Menuju pintu. Berpikir ia pasti dibawa ke tempat para pengeroyok yang berpikir telah membunuhnya. Matanya mulai terang. Tangannya yang tak terluka parah mulai dapat digerakkan. Mencari air minum.


“Hari yang melelahkan....” Pikirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar