Senin, 10 Oktober 2016

#BelajarBahasa Makna Kata Rinai dan Bunuh

/1/

Kenapa setiap hujan, emosi kita semacam, terbawa?
Saya tidak paham. Dalam kacamata bahasa Indonesia-bidang ilmu saya-Hujan tidak ada padanan katanya. Hujan, adalah hujan. Titik-titik air yang jatuh dari langit.
Tapi, bahasa Indonesia dan Melayu merekam salah satu sifat hujan. Rinai, dalam bahasa kita, berarti: titik-titik hujan, atau hujan kecil kecil.
Arti lainnya, adalah senandung dan nyanyian. Adakah pada masa dulu kala hujan memang bernyanyi? Atau adakah memang nyanyian tertentu dulu digunakan mengakrabi hujan?
Rinai hujan, berarti "senandung hujan" atau "nyanyian titik-titik air yang jatuh dari langit".
Adakah "nyanyian" itu yang didengar oleh batin kita, beresonansi, lalu bekerja membangkitkan perasaan, kenangan, dan bahkan mampu mempengaruhi darah dan detak jantung?
Adakah nyanyian itu, memang salah satu rahma yang disisipkan dalam fenomena hujan?
Entahlah. Orang Indonesia memang puitis-puitis.
#belajarbahasa

/2/
Dalam bahasa Indonesia, "bunuh" berarti menghilangkan nyawa, dan mematikan.
Tetapi, dalam makna leksikal pula, bunuh berarti:
1. Menghapus sesuatu
2. Memadamkan sesuatu
3. Menutup sesuatu
Dalam konteks pertama, dijelaskan bahwa menghapus sesuatu yang dimaksud, adalah tulisan. Dalam arti, bisa jadi jika ingin membunuh, cukup dengan menghapus tulisan.
Cukup dengan menghapus tulisan, membakar buku, atau tidak membaca karya dan kemudian mengasingkan penulisnya, memadamkan semangatnya, dan menutup beritanya.
Orang yang dihapus, tulisan yang dihapus, adalah sebuah pembunuhan.
Dan ini tidak tentang kiasan. Membunuh, memang bisa dilakukan dengan, menghalangi orang menulis, menghapus tulisannya, atau membuat orang tidak membaca tulisannya.
Mungkin itu sekejam-kejamnya membunuh. Bahasa Indonesia memang mengabadikan yang lebih dari kata.

#BelajarBahasa Makna Kata Cinta


Selain rinai, kata yang sering disalahpahami atau tidak dimengerti sebagaimana adanya, adalah "cinta".
Cinta memiliki padanan kata: kasih, sayang, asmara, rahim, rahma, dan rahman. Apa beda maknanya?
Semua kata di atas kecuali rahim, memiliki asal arti "merasa memiliki". Artinya, cinta pada hal-hal yang sifatnya, bendawi.
Apa arti kata cinta? Ada 4 makna. 3 arti pertama merujuk pada arti yang kita kenal. Cinta, adalah kasih, adalah sayang, adalah suka. Tapi, semuanya berujung pada suka yang sifatnya nafsu.
Ada arti keempat. "Kekecewaan, kesedihan".
Dalam bahasa Indonesia, cinta berasal dari bahasa sanskerta, yang berarti, "kesukaan, kasih sayang yang menyebabkan kesedihan"
Karena, bahasa Indonesia mengabadikan sifat cinta kepada selain Allah: tidak abadi. Fana.
Justru, sifat yang tidak mengandung konsekuensi itu ada pada sifat cinta pada perempuan: rahim.
Cinta yang pengorbanannya tidak pernah menghasilkan kesedihan.
Cinta, yang pada saat yang sama, digunakan bagi sifat Allah: Maharahim, menyayangi mereka yang beriman.
Bahasa Indonesia seringkali lebih puitis daripada puisi kita.

#BelajarBahasa Makna Kata Lelah

Selain rinai dan cinta, ada kata "lelah". Kata ini sering kita ucapkan. Tetapi, apakah artinya?
Lelah, berarti penat, letih, tidak bertenaga. Keadaan letih setelah melakukan sesuatu yang keras.
Tapi ada dua arti lain yang secara mendasar menjelaskan, yang bagaimana lelah itu. Lagi-lagi bahasa Indonesia begitu baik mengabadikan makna kata-kata.
Pertama, lelah bisa diartikan keadaan logam yang direnggang-tekukkan berulangkali hingga nyaris retak. Seperti, logam aus. Seperti, logam pada per atau rantai.
Rantai yang aus dan nyaris retak karena terlalu jauh berputar, disebut "lelah" dalam bahasa Indonesia.
Maka jika kita lelah, mungkin kita sebagaimana keadaan "logam lelah" itu, dibengkokkan berulang-ulang hingga retak dan nyaris patah.
Arti ketiga, adalah "kejar", atau "mengejar".
Kelelahan, datangnya dari "mengejar" sesuatu. Misalnya, mengejar hewan buruan, atau mengejar kendaraan. Baik yang bertujuan atau tidak bertujuan.
Baik yang benar, maupun yang salah. Akan tetapi, jika kita sudah lelah, berbahagialah: berarti kita sedang dibengkokkan berulangkali hingga nyaris patah, berarti kita sedang mengejar sesuatu hingga letih:
Tetapi juga berarti kita sedang bergerak. Tidak sedang diam. Berarti kita sedang bekerja, tidak sedang diam.
Maka jika kita lelah, ucapkanlah dalam-dalam: ya, aku lelah! Tapi bahagialah, karena berarti kita sedang bergerak, atau melawan.

#BelajarBahasa Makna Kata Daras

"menikmati sunyi, mengawani malam, mendaras kehidupan" kata seorang penyair.
Di sana, ada kata mendaras. Adakah yang pernah menyelami, apa makna mendaras, atau daras itu, dalam bahasa Indonesia?
Mendaras sering muncul jika ada judul media yang menceritakan kasus atau peristiwa dalam hal "mempelajari", "menyelami", atau "menyusun kronologi".
Sebagaimana kata cinta yang memiliki makna tersembunyi, begitu juga daras.
Daras dalam bahasa Indonesia adalah kata kerja, yang berarti "Membaca Al-Quran dengan lantang untuk berlatih melancarkan."
Arti umum mendaras, adalah belajar membaca al-qur'an, secara khusus, belajar mengenai nagham dan maqam. Rast, sikah, jiharkah, bayyati, nahawand, hijaz, dan lain-lain.
Di dalamnya, ada fenomena tajwid, tahsin, dan sejenisnya.
Artinya jika kita meletakkan kata "mendaras" pada suatu perbuatan, di dalamnya, terkandung hakikat sebagaimana mempelajari Al-Qur'an: segenap huruf-hurufnya adalah rahmat dan pahala, segenap kata dan kalimatnya adalah makna yang luarbiasa.
Dalam mempelajari Al-Qur'an, ada kombinasi antara kehati-hatian, kerinduan pada Allah, pengharapan pada surga, sekaligus kengerian pada Neraka. Ada doa-doa yang mengalun.
Mendaras, bukan sekadar mempelajari, tapi mempelajari agar mendapatkan pahala dan rahmat dari yang dipelajari.
Lebih dari itu, belajar untuk menjadikan hidup lebih indah dengan Al-Qur'an.
Daras nampaknya secara bahasa lahir dari bahasa melayu atau Jawa Kuno juga yang berarti "menyadap nira". Nira adalah air manis yang disadap dengan susah payah, dengan melukai mayang bunga palem.
Artinya, dengan mendaras, belajar dengan usaha keras akan menghasilkan sesuatu yang manis, sebagaimana air nira.
Mendaras, jauh lebih dalam maknanya dari yang ada dalam puisi kita selama ini.
Ya, saya hanya suka meletakkan kata pada tempatnya. Saya hanya suka berpuisi dengan memahami setiap kata yang ditulis, dan menempatkan mereka sesuai dengan tabiatnya.
Bukankah bahasa Indonesia begitu puisi, sekaligus begitu ukhrawi?

Mereka yang Eksil dan Terus Bersajak

Mereka yang Eksil dan Terus Bersajak
"Bawalah pesanku, Wahai pengendara
Pada mereka yang senantiasa dalam pengharapan untuk penyingkapan Tuhan dan agamanya
Kepada sesiapa yang percaya pada Tuhan dan disiksa karenanya...."
Puisi di atas, gubahan Abdullah bin Harits bin Qays, dalam hijrahnya, dalam eksilnya ke Ethiopia bersama rombongan Ja'far bin Abi Thalib. Mereka yang pergi dan kemudian diingat sebagai "exile", oleh Menocal.
Eksil ini, terjadi pada masa awal hijrah ke Ethiopia: hati mereka masih berpaut dengan Makkah, dan kemudan harus pergi menyelamatkan iman dan dirinya. Ketika pernyataan Tiada Tuhan Selain Allah: adalah kematian.
Betapa negeri asing dan sepi, adalah alasan bahwa sajak harus terus ditulis. Betapa pengharapan adalah satu-satunya jalan mengenang tanah kelahiran. Dan itu, sebuah rasa sakit tersendiri.
Tak lama, hijrah kedua, Hijrah Akbar, dimulai:
Sebuah perjalanan 450 Km menembus rute-rute asing yang berbeda dengan kafilah Makkah-Madinah umumnya.
Sesampainya di Madinah, sebagai anak yang musti pergi dari kampungnya, sajak-sajak "eksilisme" terus menguar:
"Setiap orang selalu bersama sanaknya setiap pagi hari
Namun kematian: kini jauh lebih dekat dari tali sandalku ini..."
Penggalan sajak di atas, dibuat oleh Abu Bakar Shiddiq ketika ia terserang demam: Makkah dan Madinah berbeda. Ia harus menyesuaikan diri sebagai orang-orang yang ada dalam pengungsian. Madinah lebih dingin.
Ketika Bilal bin Rabah mengalami demam yang sama akibat kerinduan pada Makkah pasca hijrah, sambil mengangkat cawan obatnya, ia bersajak:
"Ketahuilah, betapa indah jika aku dapat kembali bermalam
Pada lembah yang dikelilingi rerumputan yang permai..."
Maka mengetahui itu, Rasulullah mengangkat tangannya dan berdoa:
"Ya Allah, mudahkanlah hijrah sahabat-sahabatku....."
"Demi Allah," Kata Rasulullah, "Makkah adalah sebaik-baik tempat, bumi Allah yang paling aku cintai,"
"Seandainya aku tidak diusir dari sana, niscaya aku tidak akan meninggalkannya."
Kepergian dari tempat kelahiran menuju tempat hijrah, adalah hal yang berat. Orang-orang terusir. Maka dalam khazanah kepenyairan kita, betapa Sitor Situmorang menemukan sajak-sajaknya yang lain di Belanda dalam pengasingannya:
"Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini
aku akan rindu balik pada semua ini
sunyi yang kutakuti sekarang
rona lereng gunung menguap
pada cerita cemara berdesir..."
Ia pergi lantaran negara ini semakin buruk, kala itu. Lantaran negara ini bukan hanya kejam, tapi memangsa rakyatnya karena satu alasan: berpikir.
Betapa Wing Kardjo, atau bahkan Pramoedya Ananta Toer membuat karya-karyanya makin ma'rifat dengan pembuangan yang dialaminya. Ke negeri asing, ke kota asing, bahkan: ke penjara yang dinding-dindingnya begitu asing.
Mereka, dibuang dengan satu alasan: karena berpikir, karena beriman, dan karena bergerak.
Maka kemudian, pada 200 tahun setelahnya, ketika seorang pangeran, Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil membangun kembali Kerajaan Umayyah di Kordoba, Andalusia, setelah pengusirannya oleh Abdul Abbas As-Saffah dari Damaskus, naluri kesajakannya bergejolak.
Ia adalah satu-satunya pangeran yang selamat dari pembantaian Abbasiyah, menyusul terbentuknya Dinasti Abbasiyah di sana.
Ia menjadi raja kecil dan membangun kota Kordoba dengan indah. Suatu ketika, ia melihat sepohon kurma tumbuh di antara tataan tanaman khas Eropa di sebuah taman. Maka, sebuah sajak meriap:
"Sepohon tamar di tengah taman
lahir di barat, jauh dari tanah peranakannya
Aku berkata padanya: betapa serupa kau dan aku, terpencil dan terbuang...."
Ah, Irsyad Ridho memang pemantik yang hebat. Mereka yang eksil dan yang bersajak di pembuangan. Ketika kita di negeri asing, dan betapa sajak adalah satu-satunya yang kita kenal sebagai kawan sejati.
Betapa pembuangan dan pengasingan: adalah alasan kenapa puisi semakin detail dan indah.
Betapa, keterasingan dan keghariban, sebagaimana biasanya, adalah konsekuensi logis dari hijrah dan perubahan.