Senin, 10 Oktober 2016

Mereka yang Eksil dan Terus Bersajak

Mereka yang Eksil dan Terus Bersajak
"Bawalah pesanku, Wahai pengendara
Pada mereka yang senantiasa dalam pengharapan untuk penyingkapan Tuhan dan agamanya
Kepada sesiapa yang percaya pada Tuhan dan disiksa karenanya...."
Puisi di atas, gubahan Abdullah bin Harits bin Qays, dalam hijrahnya, dalam eksilnya ke Ethiopia bersama rombongan Ja'far bin Abi Thalib. Mereka yang pergi dan kemudian diingat sebagai "exile", oleh Menocal.
Eksil ini, terjadi pada masa awal hijrah ke Ethiopia: hati mereka masih berpaut dengan Makkah, dan kemudan harus pergi menyelamatkan iman dan dirinya. Ketika pernyataan Tiada Tuhan Selain Allah: adalah kematian.
Betapa negeri asing dan sepi, adalah alasan bahwa sajak harus terus ditulis. Betapa pengharapan adalah satu-satunya jalan mengenang tanah kelahiran. Dan itu, sebuah rasa sakit tersendiri.
Tak lama, hijrah kedua, Hijrah Akbar, dimulai:
Sebuah perjalanan 450 Km menembus rute-rute asing yang berbeda dengan kafilah Makkah-Madinah umumnya.
Sesampainya di Madinah, sebagai anak yang musti pergi dari kampungnya, sajak-sajak "eksilisme" terus menguar:
"Setiap orang selalu bersama sanaknya setiap pagi hari
Namun kematian: kini jauh lebih dekat dari tali sandalku ini..."
Penggalan sajak di atas, dibuat oleh Abu Bakar Shiddiq ketika ia terserang demam: Makkah dan Madinah berbeda. Ia harus menyesuaikan diri sebagai orang-orang yang ada dalam pengungsian. Madinah lebih dingin.
Ketika Bilal bin Rabah mengalami demam yang sama akibat kerinduan pada Makkah pasca hijrah, sambil mengangkat cawan obatnya, ia bersajak:
"Ketahuilah, betapa indah jika aku dapat kembali bermalam
Pada lembah yang dikelilingi rerumputan yang permai..."
Maka mengetahui itu, Rasulullah mengangkat tangannya dan berdoa:
"Ya Allah, mudahkanlah hijrah sahabat-sahabatku....."
"Demi Allah," Kata Rasulullah, "Makkah adalah sebaik-baik tempat, bumi Allah yang paling aku cintai,"
"Seandainya aku tidak diusir dari sana, niscaya aku tidak akan meninggalkannya."
Kepergian dari tempat kelahiran menuju tempat hijrah, adalah hal yang berat. Orang-orang terusir. Maka dalam khazanah kepenyairan kita, betapa Sitor Situmorang menemukan sajak-sajaknya yang lain di Belanda dalam pengasingannya:
"Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini
aku akan rindu balik pada semua ini
sunyi yang kutakuti sekarang
rona lereng gunung menguap
pada cerita cemara berdesir..."
Ia pergi lantaran negara ini semakin buruk, kala itu. Lantaran negara ini bukan hanya kejam, tapi memangsa rakyatnya karena satu alasan: berpikir.
Betapa Wing Kardjo, atau bahkan Pramoedya Ananta Toer membuat karya-karyanya makin ma'rifat dengan pembuangan yang dialaminya. Ke negeri asing, ke kota asing, bahkan: ke penjara yang dinding-dindingnya begitu asing.
Mereka, dibuang dengan satu alasan: karena berpikir, karena beriman, dan karena bergerak.
Maka kemudian, pada 200 tahun setelahnya, ketika seorang pangeran, Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil membangun kembali Kerajaan Umayyah di Kordoba, Andalusia, setelah pengusirannya oleh Abdul Abbas As-Saffah dari Damaskus, naluri kesajakannya bergejolak.
Ia adalah satu-satunya pangeran yang selamat dari pembantaian Abbasiyah, menyusul terbentuknya Dinasti Abbasiyah di sana.
Ia menjadi raja kecil dan membangun kota Kordoba dengan indah. Suatu ketika, ia melihat sepohon kurma tumbuh di antara tataan tanaman khas Eropa di sebuah taman. Maka, sebuah sajak meriap:
"Sepohon tamar di tengah taman
lahir di barat, jauh dari tanah peranakannya
Aku berkata padanya: betapa serupa kau dan aku, terpencil dan terbuang...."
Ah, Irsyad Ridho memang pemantik yang hebat. Mereka yang eksil dan yang bersajak di pembuangan. Ketika kita di negeri asing, dan betapa sajak adalah satu-satunya yang kita kenal sebagai kawan sejati.
Betapa pembuangan dan pengasingan: adalah alasan kenapa puisi semakin detail dan indah.
Betapa, keterasingan dan keghariban, sebagaimana biasanya, adalah konsekuensi logis dari hijrah dan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar