Minggu, 18 September 2016

Hasan Al-Banna dan Kedai Kopi

Mesir. Perang Dunia baru saja usai. Pemuda-pemudanya di bawah bayang-bayang Inggris dan lebih senang menghabiskan waktu di kedai kopi.
Adalah Imam Hasan Al-Banna. Seorang yang perenung. Seorang yang mengakrabi puisi lebih dari apapun. Dalam sebuah tulisan, ia pernah berkata,
"Setelah menyempurnakan diri dengan ilmu maka lengkapilah dengan perbuatan...". Idenya sederhana:
Bagaimana membuat pemuda Mesir kala itu, ingin mendengar uraian akhlak dan agama?
Maka tulisnya lagi, "Aku meminta kepada teman-temanku untuk keluar memberi nasihat di kedai-kedai kopi,"
Mereka berasa ganjil dan heran serta berkata: ‘Orang-orang yang berada di kedai kedai kopi itu tidak akan membenarkan kita melakukannya,"
"Dan malah akan menentang sebab mengganggu kesenangan mereka..." seru kawan-kawannya.
"Seperti diketahui, " Kata Imam Al-Banna, "Mereka ini adalah kerumunan pemuda yang suka berfoya-foya,"
"Tentulah sukar bagi mereka untuk menerima nasihat kita. Bagaimana kita hendak memberi nasihat mengenai agama dan akhlak bagi kaum yang tidak memikirkan selain kesenangan saja?" Pikir Al-Banna, tetapi kemudian ditepisnya:
"Tetapi Aku berpendapat sebaliknya. Aku percaya mereka itu merupakan satu golongan yang sanggup dan bersedia untuk mendengar sebarang nasihat daripada golongan yang lain!"
"bahkan lebih daripada golongan-golongan yang ada di masjid sendiri, karena bagi mereka, ini adalah satu perkara yang baru. Kita harus bijak memilih tajuk-tajuk yang sesuai,"
"dan janganlah katakan sesuatu yang akan melukai mereka!"
Kemudian, pada musim-musim perang yang berkepanjangan dan kejumudan bangsa mesir itu, Imam Al-Banna bergerak dan keluar. Ia betul-betul, secara harfiyah, memberi ceramah di kedai kopi!
Ia melakukan ini dalam usia yang muda. Ia, bahkan masih mahasiswa di Al-Azhar.
Maka ia menulis, "Kami mengawalinya dengan kedai kopi yang terletak di Medan Solahuddin. Pertama di kedai kopi As-Sayyidah ‘Aisyah dan dari situ ke kedai-kedai kopi yang berselerak di kawasan Toulon,"
"Seterusnya dari Thariq al-Jabal ke Syare’i Salamah. Tidak ketinggalan juga kedai kopi As-Saiyyidah Zainab," katanya.
Dan begitulah, kenikmatan dakwah merasuk dalam darahnya: "Aku merasakan pada malam itu saja lebih 20 khutbah telah kusampaikan kepada mereka. Setiap satu khutbah mengambil waktu di antara 5 hingga 10 menit."
"Mereka yang ada di sana merasa heran dan berdiam diri untuk menumpukan perhatian untuk mendengar," kenang Al-Banna.
"Pada mulanya mereka merasa sesuatu yang ganjil. Lama-kelamaan mereka meminta untuk menambahkan lagi percakapan itu..."
"Kami tidak minum atau meminta sesuatu pun," katanya. Kami hanya memohon sedikit waktu untuk mengingatkan mereka kepada Allah..." dan kita akhirnya melihat, bahwa Mesir kini akhirnya berubah.
"Tidak mengherankan sesungguhnya Allah tidak mengutus nabi atau rasul kecuali untuk menyampaikan yang pertama, ialah ‘Katakanlah aku tidak menghendaki upah’...." kenangnya lagi.
Dan kemudian, lama-kelamaan, gerakan ini membesar, dari kedai kopi ke kedai kopi yang lain: semangat untuk membersihkan pemuda-pemuda dari akhlak yang buruk.
Semangat untuk memperbaiki bangsanya yang rusak dan dijajah Inggris: Ikhwanul Muslimin.

Antara Ilmu dan Adab

Ada orang yang-alkisah-belajarnya sudah sedemikian. Hafalan Al-Qur'annya banyak. Hafalan haditsnya, mantap. Kalau membaca qur'an, tajwidnya pas. Itu semua dia pelajari baik-baik. Tak lupa, ilmu-ilmu keislaman, semacam fikih, ilmu tauhid, bahkan perbandingan mazhab ia tekuni.
Ia memenangkan setiap persoalan yang diadukan padanya. Iapun menguasai ilmu sejarah dan siroh nabawiyah. Ilmu tafsir? Bahkan ia menguasai tafsir-tafsir yang banyak ragamnya, dan menguasai rupa-rupa beda qiraat.
Di hadapannya, tak ada yang lebih pintar. Tak ada yang lebih 'alim dan faqih. Tapi ia lupa mempelajari satu hal, yang dipelajari murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal selama 20 tahun sebelum belajar fikih.
Ia lupa mempelajari satu ilmu yang dipelajari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hingga mengikuti gurunya ke penjara, Ibnu Taimiyyah, hingga gurunya wafat.
Ia lupa mempelajari ilmu yang dipelajari Imam Syafi'i hingga mampu menulis dengan sempurna dan membuat kitab mazhabnya, Al-Umm dan Ar-Risalah, juga menjadi kitab rujukan tata bahasa dan sastra.
Ia lupa-sebenar-benarnya lupa-mempelajari ilmu yang membuat Imam Malik bin Anas meringkas Al-Muwattha'nya, lantaran takut membuat perpecahan dan kesulitan dalam beragama.
Ilmu itu, adalah adab berbicara. Kelembutan hati dan wajah. Kesantunan sikap. Ilmu itu, yang membuat Syaithan diusir dari surga:
"Qala ana khayrum-minhu khalaqtani min nari-wa khalaqtahu min-tin!", dia berkata: aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia dari tanah!"
Orang yang tampak jahat di hadapan kita, bisa jadi sedang berkontemplasi dan berproses hijrah, sebagaimana Fudhail bin Iyyadh yang merampok namun tengah berpuasa.
Sebagaimana Ibrahim bin Adham yang tampak sebagai petani utun namun menyimpan kedalaman hati dan akhlak.
Sebagaimana Ali Zainal Abidin yang kerap menangis dan berpucat pasi, mengingat betapa tidak selamatnya dia dan orang-orang, dari api neraka.
Ada yang lupa. Dan semoga, itu bukan kita.