Mesir. Perang Dunia baru saja usai. Pemuda-pemudanya di bawah bayang-bayang Inggris dan lebih senang menghabiskan waktu di kedai kopi.
Adalah Imam Hasan Al-Banna. Seorang yang perenung. Seorang yang mengakrabi puisi lebih dari apapun. Dalam sebuah tulisan, ia pernah berkata,
"Setelah menyempurnakan diri dengan ilmu maka lengkapilah dengan perbuatan...". Idenya sederhana:
Bagaimana membuat pemuda Mesir kala itu, ingin mendengar uraian akhlak dan agama?
Maka tulisnya lagi, "Aku meminta kepada teman-temanku untuk keluar memberi nasihat di kedai-kedai kopi,"
Mereka berasa ganjil dan heran serta berkata: ‘Orang-orang yang berada di kedai kedai kopi itu tidak akan membenarkan kita melakukannya,"
"Dan malah akan menentang sebab mengganggu kesenangan mereka..." seru kawan-kawannya.
"Seperti diketahui, " Kata Imam Al-Banna, "Mereka ini adalah kerumunan pemuda yang suka berfoya-foya,"
"Tentulah sukar bagi mereka untuk menerima nasihat kita. Bagaimana kita hendak memberi nasihat mengenai agama dan akhlak bagi kaum yang tidak memikirkan selain kesenangan saja?" Pikir Al-Banna, tetapi kemudian ditepisnya:
"Tetapi Aku berpendapat sebaliknya. Aku percaya mereka itu merupakan satu golongan yang sanggup dan bersedia untuk mendengar sebarang nasihat daripada golongan yang lain!"
"bahkan lebih daripada golongan-golongan yang ada di masjid sendiri, karena bagi mereka, ini adalah satu perkara yang baru. Kita harus bijak memilih tajuk-tajuk yang sesuai,"
"dan janganlah katakan sesuatu yang akan melukai mereka!"
Kemudian, pada musim-musim perang yang berkepanjangan dan kejumudan bangsa mesir itu, Imam Al-Banna bergerak dan keluar. Ia betul-betul, secara harfiyah, memberi ceramah di kedai kopi!
Ia melakukan ini dalam usia yang muda. Ia, bahkan masih mahasiswa di Al-Azhar.
Maka ia menulis, "Kami mengawalinya dengan kedai kopi yang terletak di Medan Solahuddin. Pertama di kedai kopi As-Sayyidah ‘Aisyah dan dari situ ke kedai-kedai kopi yang berselerak di kawasan Toulon,"
"Seterusnya dari Thariq al-Jabal ke Syare’i Salamah. Tidak ketinggalan juga kedai kopi As-Saiyyidah Zainab," katanya.
Dan begitulah, kenikmatan dakwah merasuk dalam darahnya: "Aku merasakan pada malam itu saja lebih 20 khutbah telah kusampaikan kepada mereka. Setiap satu khutbah mengambil waktu di antara 5 hingga 10 menit."
"Mereka yang ada di sana merasa heran dan berdiam diri untuk menumpukan perhatian untuk mendengar," kenang Al-Banna.
"Pada mulanya mereka merasa sesuatu yang ganjil. Lama-kelamaan mereka meminta untuk menambahkan lagi percakapan itu..."
"Kami tidak minum atau meminta sesuatu pun," katanya. Kami hanya memohon sedikit waktu untuk mengingatkan mereka kepada Allah..." dan kita akhirnya melihat, bahwa Mesir kini akhirnya berubah.
"Tidak mengherankan sesungguhnya Allah tidak mengutus nabi atau rasul kecuali untuk menyampaikan yang pertama, ialah ‘Katakanlah aku tidak menghendaki upah’...." kenangnya lagi.
Dan kemudian, lama-kelamaan, gerakan ini membesar, dari kedai kopi ke kedai kopi yang lain: semangat untuk membersihkan pemuda-pemuda dari akhlak yang buruk.
Semangat untuk memperbaiki bangsanya yang rusak dan dijajah Inggris: Ikhwanul Muslimin.