Ada orang yang-alkisah-belajarnya sudah sedemikian. Hafalan Al-Qur'annya banyak. Hafalan haditsnya, mantap. Kalau membaca qur'an, tajwidnya pas. Itu semua dia pelajari baik-baik. Tak lupa, ilmu-ilmu keislaman, semacam fikih, ilmu tauhid, bahkan perbandingan mazhab ia tekuni.
Ia memenangkan setiap persoalan yang diadukan padanya. Iapun menguasai ilmu sejarah dan siroh nabawiyah. Ilmu tafsir? Bahkan ia menguasai tafsir-tafsir yang banyak ragamnya, dan menguasai rupa-rupa beda qiraat.
Di hadapannya, tak ada yang lebih pintar. Tak ada yang lebih 'alim dan faqih. Tapi ia lupa mempelajari satu hal, yang dipelajari murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal selama 20 tahun sebelum belajar fikih.
Ia lupa mempelajari satu ilmu yang dipelajari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hingga mengikuti gurunya ke penjara, Ibnu Taimiyyah, hingga gurunya wafat.
Ia lupa mempelajari ilmu yang dipelajari Imam Syafi'i hingga mampu menulis dengan sempurna dan membuat kitab mazhabnya, Al-Umm dan Ar-Risalah, juga menjadi kitab rujukan tata bahasa dan sastra.
Ia lupa-sebenar-benarnya lupa-mempelajari ilmu yang membuat Imam Malik bin Anas meringkas Al-Muwattha'nya, lantaran takut membuat perpecahan dan kesulitan dalam beragama.
Ilmu itu, adalah adab berbicara. Kelembutan hati dan wajah. Kesantunan sikap. Ilmu itu, yang membuat Syaithan diusir dari surga:
"Qala ana khayrum-minhu khalaqtani min nari-wa khalaqtahu min-tin!", dia berkata: aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia dari tanah!"
Orang yang tampak jahat di hadapan kita, bisa jadi sedang berkontemplasi dan berproses hijrah, sebagaimana Fudhail bin Iyyadh yang merampok namun tengah berpuasa.
Sebagaimana Ibrahim bin Adham yang tampak sebagai petani utun namun menyimpan kedalaman hati dan akhlak.
Sebagaimana Ali Zainal Abidin yang kerap menangis dan berpucat pasi, mengingat betapa tidak selamatnya dia dan orang-orang, dari api neraka.
Ada yang lupa. Dan semoga, itu bukan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar