Selasa, 17 Januari 2017

Tentang Seorang Nabi Yang Melakukan Politik Budaya dan Bahasa

Siang ini, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya tentang apa yang bisa dikenang dari perjalanan hidup nabi saya. Muhammad Rasulullah. Tentang bagaimana budaya lama dihancurkan, budaya baru diarahkan.

Di tengah suasana politik yang pekat dan bau lembaran uang busuk, ada saja yang masih memperkosa teks-teks sejarah Nabi, dan kemudian masih belum terbuka hatinya untuk mengenakan Jilbab. Setelah beberapa waktu lalu, Prof. Hamka Haq berbicara seperti orang yang menjadi korban TV tentang siroh nabawiyah, kini ada lagi, rupanya.

Apakah menjadi Islam harus menjadi Arab? Pertanyaan semacam ini sebetulnya harus kita cermati baik-baik sebagai pertanyaan budaya. Yang jelas, menjadi islam harus pakai jilbab. Akan tetapi, mari kita coba mendedah siroh nabawiyah dan khulafaur rasyidin dalam konteks ciri budaya, penyebaran budaya, dan kemudian, aspek-aspek budaya pop yang ada.

Apa budaya pop yang ada di masa Rasulullah? Adakah tanda-tanda budaya yang ada, berasal dari kearifan local arab, atau didapat melalui sebuah rekayasa social yang dilakukan oleh Rasulullah, atas nama dakwah Islam? Atau benarkah yang hari ini dipercaya sebagai sebatas mengarab-arabkan Islam, ternyata betul-betul ciptaan dakwah untuk berkehidupan secara islam, bukan secara Arab?

Dalam hal ini, mari kita luruskan dulu bahwa sumber-sumber siroh nabawiyah mestilah sumber otentik. Terjemahan dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, Maghazi Al-Waqidi, atau juga Sirah Ibnu Hisyam yang dilakukan oleh orientalis seperti Garaudy, Noldeke, dan Guillaume tidak sepenuhnya akurat karena didasari rasisme terhadap Arab.

Bahwa, ruh pengetahuan mereka adalah nafsu menduduki bangsa lain, sebagai dampak perang dunia yang meluas dan juga kolonialisme. Bahwa, ada orang yang mempelajari islam hanya untuk menghancurkannya.
Apa saja yang dianggap mengarab-arabkan umat islam hari ini? Jika kita bicara mengenai trend berbusana atau fashion, sesungguhnya, dalam siroh nabawiyah politik identitas Rasulullah sangat kental terasa. Semangatnya, satu. Meninggikan islam, membedakan kita dengan umat yang lain. Mari kita simak contohnya satu demi satu.

Beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para imam—itupun jika kita masih percaya—Rasulullah memberikan tuntunan dan arahan budaya yang jelas mengenai adab berbusana dan penampilan. Di antaranya, hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, mengenai larangan menguncung rambut bocah, perintah untuk mengenakan sandal secara sepasang, tidak sebelah saja; dan kemudian ditambah lagi dengan bagaimana memakai dan melepaskannya; perintah untuk menyingsingkan kain sarung sampai pertengahan betis; dan lain-lain.

Yang lebih jelas lagi, adalah perintah untuk berbeda dari pemeluk agama lain sebagai identitas. Misalnya, perintah untuk mencukur kumis, dan memanjangkan jenggot, agar berbeda dari orang Majusi. Hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Umar. Ada pula perintah untuk mewarnai uban agar berbeda dengan orang lain.
Tapi lagi-lagi, itupun jika kita masih percaya. Siang ini, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya mengenai apa yang saya kenang dari kehidupan nabi saya.

Perkara budaya pada zaman Rasulullah memang perkara yang agak pelik dipahami oleh mereka yang rasis dan anti semit. Lagi-lagi, seperti dikatakan Koentjaraningrat, seorang ahli budaya, jangan-jangan kita hari ini mengalami tuna harga dini.

Seolah-olah kita harus berislam dengan cara barat, dengan pola pikir ala barat. Belum selesai pikiran kita soal siapa yang berhak menafsirkan al-Qur’an, kini muncul lagi gelombang liberalisasi yang mengherankan kita. Kita tidak mau menghargai diri sendiri, tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang asing.

Tapi, apakah tidak saya mengulang perdebatan lama antara seniman-seniman Gelanggang dengan orang-orang masy’amah?

Apakah tidak saya mengulang perdebatan orde lama St Takdir dengan rupa-rupa tokoh budaya?
Di luar persoalan budaya berpakaian dan berperilaku, kita harus berusaha kritis. Untuk masalah jilbab misalnya, adakah jilbab merupakan sebuah budaya arab? Ayat tentang jilbab diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Dan dalam hal ini, tidak kita jumpai satu bukti sejarah pun yang menunjukkan bahwa jilbab sudah menjadi budaya arab, atau budaya pop kala itu.

Jilbab, adalah suatu budaya asing. Budaya yang tidak pernah dikenal sebelumnya untuk kalangan wanita arab sebagai pakaian sehari-hari. Untuk itulah, teks yang ada justru menunjukkan terjadi perubahan budaya besar-besaran setelah ayat hijab turun; semua wanita mencari apa saja, ya, apa saja yang bisa digunakan untuk menutupi kepala mereka.

Dan hari ini, para wanita, bahkan mantan presiden kita, mencari apa saja, alasan apa saja untuk tidak mengenakan jilbab…..

Dan, mengenai ayatnya, saya rasa, teman-teman lebih mengetahui ayat berapa dan surat apa, karena hari ini orang yang bukan islam rupanya merasa memahami islam lebih dari muslim.

Selanjutnya, bagaimana mengenai perilaku berbahasa? Berbeda dengan nabi yang lain, rupanya Rasulullah memiliki suatu perencanaan bahasa yang jitu. Ia bahkan lebih canggih daripada kepala badan bahasa hari ini yang terus-terusan memaksakan tetikus sebagai ganti mouse dan swafoto sebagai pengganti selfie.

Perencanaan bahasa adalah suatu kebijakan yang ditujukan untuk merekayasa dan mengubah penggunaan suatu bahasa. Di antara yang mencolok, adalah perubahan idiom dan pepatah tertentu, serta—yang tak kalah penting—sikap bahasa penuturnya.

Lagi pula, teori perencanaan bahasa ini bukan dikeluarkan orang Arab. Teori ini dikemukakan oleh Haugen, dalam bukunya, Dialect, Language, and Motion, pada 1972.

Karena Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab, mau tak mau orang akan bersikap memuliakan bahasa Arab. Terlepas dari, adakah orang non islam yang menuturkan juga bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Sejak awal turunnya, kitab itu sudah menjadi patron dan batu pembanding, dan dalam tingkat selanjutnya, alat perencanaan bahasa yang efektif.

Dalam perkembangannya, hal-hal seperti salam dan lain-lain, ternyata berubah setelah islam datang. Adakah itu merupakan budaya Arab atau bukan? Kenyataannya berlangsung adegan semacam ini:

Suatu hari, seorang laki-laki dari Bani Amir meminta izin masuk kepada Nabi, lalu ia berkata, “Apakah aku boleh masuk?”

Lalu Nabi berkata pada pembantunya, “temuliah ia dan katakan, bahwa ia tidak meminta izin dengan adab yang baik. Katakanlah padanya untuk mengucapkan, assalamu alaikum, apakah aku boleh masuk?”

Dalam perjanjian Hudaibiyah berlangsung percakapan antara Nabi, Suhail, dan Ali bin Abi Thalib sebagai penulis naskah perjanjian. Ali menulis, bismillahirrahmanirrahim. Akan tetapi, Suhail menolak, ia mengatakan, “Kami tidak mengenal Rahman dan Rahim, kami hanya mengenal Allah, tulislah Bismillah saja!”

Dalam sebuah kisah yang lebih jelas—lagi-lagi jika percaya—seorang laki-laki mencari nabi, namun ia tidak juga menemukannya. Maka ia duduk sejenak, tiba-tiba datanglah sekelompok orang dan beliay termasuk salah seorang di antara mereka, namun aku tidak mengetahui yang mana nabi. Kelihatannya, Nabi sedang menyelesaikan perkara di antara mereka. Setelah itu, beberapa orang masih tinggal di sisi beliau dan mereka berkata, “Wahai Rasulullah!”

Ketika aku mendengarnya, maka aku berseru, “Alayka salam, ya Rasulullah!” Beliau berkata, sesungguhnya Alaika salam adalah perkataan untuk orang yang sudah mati,” lalu beliau menghampiriku lalu berkata, “Jika seorang laki-laki bertemu dengan saudaranya sesame muslim, hendaklah ia mengucapkan, Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

kemudian Nabi menjawab salamku tadi, lalu berkata “Wa alaika wa rahmatullahi…”

Dan mari saksikan, betapa sejarah mencatat setelah islam, terjadi perubahan budaya pop besar-besaran. Dulu, membudaya bahwa salam itu begini dan begitu, tetapi kemudian berubah; menjadi yang sekarang kita kenal. Dulu berbusana itu begini begitu, kini ada batasannya.

Saya tidak bermaksud mengatakan Al-Qur’an adalah produk budaya. Tetapi, betapa islam mengubah kebudayaan Arab, dan bukannya Arab yang mengubah islam.

Menjadi islam, tidak harus menjadi Arab. Justru budaya Arab lama, diperangi habis-habisan oleh islam dan kemudian, direkayasa ulang.

Dalam Al-Qur’an, dibatasi penggunaan bahasa pula. Sebagai contoh, Al-Baqarah ayat 104 yang tegas mengatakan, jangan mengatakan ra’ina tetapi katakanlah, unzhurna. Permasalahan yang ada bukan pada makna, tetapi, kemudian kata-kata ra’ina menjadi hinaan. Bahkan, Ibnu Katsir dalam tafsirnya jelas melarang kita serupa dengan orang kafir.

Di sinilah, politik budaya dan bahasa, jelas dibuat dan direncanakan dengan baik dan jelas oleh islam. Bukan masalah kearab-araban. Sebagaimana hari ini jika kita berpolitik, juga tidak peru kecina-cinaan.

Saya kira, di situlah kita harus berpikir lebih jernih. Jangan karena situasi politik, maka kita memperkosa ajaran islam. Jangan karena kita tidak berjilbab, maka kita katakan yang berjilbab itu kearab-araban. Jangan karena kita kelu mengucap takbir, maka kita katakan yang bertakbir itu kearab-araban.

Atau, wahai saudaraku, jika lidah kita kelu dan lama sudah tidak membaca al-Qur’an, jangan kita katakan lisan mereka yang basah karena ayat-ayat itu, kearab-araban.

Politik budaya dan politik bahasa dalam islam jelas merupakan suatu instrument dakwah. Kita yang terbiasa mengucapkan hamdalah, takbir, tahmid, dan tahlil, adalah agen-agen budaya dan bahasa itu.

Dan siang ini, di tengah bermacam hiruk pikuk, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya, dan berpikir apa adanya. Tanpa muatan modal asing, atau misi penggembosan agama tertentu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar