Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
akhir zaman.
Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan
sebelumnya mengenai lima hal yang menyebabkan mandi wajib. Saat ini kami
akan memaparkan serial kedua dari tiga serial secara keseluruhan
tentang tata cara mandi wajib (al ghuslu). Semoga pembahasan kali ini
bermanfaat.
Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama
mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah
yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja
mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits
dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i
no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini
menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh
tubuh.”[1]
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling
memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu beliau bersabda,
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada
kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR.
Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)
Dalil yang menunjukkan
bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun
(fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Ummu Salamah. Ia mengatakan,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى
امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ
قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ
حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang
rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?”
Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada
kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu
telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi
rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk
mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau
shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap
sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam
hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara
yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]
-Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal
ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang
menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari
‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ –
صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ
فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ،
ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ
شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ
يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari ‘Aisyah, isteri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak
tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu
beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke
kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan
cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau
mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim
no. 316)
Hadits kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا
مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى
شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ،
ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ
غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ
تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas
berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi
untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan
air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau
tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada
telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu
beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur
dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua
tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur
seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu
mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari
no. 265 dan Muslim no. 317)
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan
untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan
tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi
tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang
beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah
ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia
menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran
yang ada.”[4]
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci
anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang
mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka
itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya
dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh,
sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai
mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat
kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang
disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan.
Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih
dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana
disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara
mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci
wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke
seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik
hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang
disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh
digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ
الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ
اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ
قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ،
ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Jika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan
menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin
merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke
atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no.
272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا
ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا
الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air
dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air
dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu
kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke
bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى
تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika
memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap
perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana
zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah
satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.[7]
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang
diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu
Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang
mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika
mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu
mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya
dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ غُسْلِ
الْمَحِيضِ فَقَالَ « تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا
فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا
فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ
تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً
فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا
فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ
كَأَنَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ. وَسَأَلَتْهُ عَنْ
غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ
الطُّهُورَ – أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا
فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا
الْمَاءَ »
“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang
dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu engkau
bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau
menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras
hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau
menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas
bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia
dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah
kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal
tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas
tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau
bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian
kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar
kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan
Muslim no. 332)
Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu
menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.”
Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti
halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal
ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan
membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah
guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas
darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum
lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak
karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no.
252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab,
“Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi
Syaibah secara marfu’ dan mauquf[8])
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi
berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk
dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan
ulama) dalam masalah ini.[9]
Penjelasan ini adalah sebagai
alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib,
lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia
tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?
Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,
فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ ، فَانْطَلَقَ وَهْوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak
mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya
dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini,
sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang
tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan
beberapa alasan:
Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika itu masih mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi
beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya yang
bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh
jadi kain tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada
urusan lainnya.
Hadits ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis
mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak
dibawakan handuk ketika itu.
Mengeringkan air dengan tangan
menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena
keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]
Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di
atas juga berlaku untuk mandi yang sunnah yang akan kami jelaskan pada
tulisan selanjutnya (serial ketiga atau terakhir).
Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Selesai susun di wisma MTI, 7 Jumadits Tsani 1431 H (20/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379.
[2] Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Fathul Bari, 1/360.
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali
Asy Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.
[7] Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah,
‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali,
hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.
[8] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61
[9] Idem.
[10] Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar