dalam sirah Nabawiyah, pemilu mungkin kurang muncul sebagai variabel penting. apalagi, pilgub. Rasul hanya memilih langsung beberapa pemimpin kota baik untuk Plt maupun seterusnya.
misalnya, Ali bin Abi Thalib sebagai Plt Walikota Madinah saat beberapa perang, Utsman bin Mazhun sebagai walikota Makkah, dan 'Attab bin Al-Qamah sebagai walikota Madinah menjelang wafatnya.
pada masa pemilihan Khalifah Utsman, barulah pemilu yang mendekati sistem pemilu mtodern dijalankan, meskipun pemilunya jauh lebih beradab dari sekarang.
waktu itu, Khalifah Umar menunjuk 6 orang Ahlul Halli wal Aqdi. di dalamnya ada berbagai kalangan, pengusaha, cendekiawan, politisi, panglima perang, dan lain-lain. dengan berbagai hal, akhirnya mengerucut menjadi dua orang.
Ali dan Utsman. Ali, tidak membuat Teman Ali untuk mengumpulkan KTP masyarakat Madinah. perkaranya, semdua orang sudah kenal Ali. Utsman pun tidak ramai menyewa media, meskipun semua mafhum bahwa Utsman adalah orang terkaya di Hijaz pada waktu itu.
lagipula, Utsman tidak menaruh saham di Lippo atau Northstar. Dengan kekuasaan Khalifah Umar, dia juga tidak memaksa minta Tax Amnesty. Dia orang kaya yang berjiwa kaya.
Tidak ada misalnya tiga parpol mendukung Ali. Ali ini, dari kalangan militer. Mantan panglima perang dalam operasi Khaibar, yang bukan untuk menangkap Santoso atau Amir Biki.
Maka akhirnya, Abdurrahman bin Auff selaku KPU, mengadakan jajak pendapat terbatas pada sahabat Nabi di Madinah.
yang menarik, baik Utsman maupun Ali ketika ditanya, "Siapa yang pantas menjadi Khalifah?"
Ali menjawab, "Utsman", dan Utsman menjawab, "Ali".
Pendukung Ali seperti Ammar bin Yasir tidak bersumpah "Iris kuping gue kalau Utsman kepilih!!"
Pendukung Utsman seperti Muawiyah dan Mughirah bin Syu'bah, juga tidak mengatakan, "Ali itu deparpolisasi!!"
semuanya berjalan aman, baik, benar, dan yang jelas, begitu islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar