Selasa, 16 Agustus 2016

bangsa saya ini, adalah bangsa yang dibesarkan dengan puisi oleh para rajanya.


sejak Raja Jayabaya yang membuat suatu Ramalan, yang kemudian ditulis ulang oleh Ranggawarsita dengan bahasa Jawa Baru, orang Indonesia memahami masa depan mereka dengan puisi.
tak lama setelahnya, orang belajar politik dan tatakrama juga lewat puisi. Naskah Negarakertagama, yang mengabadikan kebesaran Kerajaan Majapahit dengan detail, ditulis dengan gaya puisi.
Pada masa kerajaan islam, lebih ekstasi lagi. Sri Susuhunan Mangkunegara IV, membuat suatu naskah Darmawasita. Pesan dari rajanya, untuk perempuan di negerinya yang akan menikah, dengan puisi.
"manising netya luruh
angedohken mring salah tampi
wong kang trapsiling tata
tan agawe rengu
manisnya kelembutan hati
menjauhkan dari salah penerimaan
orang dengan kehalusan tata
tak akan membuat kemarahan..."
ulama-ulama yang datang dan kemudian di-Jawa-kan dengan gelar Walisongo, pun mendidik umatnya dengan puisi.
sebagaimana Suluk Linglung dari Sunan Kalijaga:
"Lamun sira munggah kaji, maring Mekah thuke ana apa, hya Mekah pan tilas bae,
Nabi Ibrahim kruhun, ingkang yasa kang ponang mesjid,
miwah tilase ka’bah, kang arupa watu, gumantung tanpa centhilan,
apa iku kang sedya sira bekteni, dadi mangan brahala"
"kalau engkau naik Haji, menuju Makkah, kau kira ada apa?
di Makkah kau hanya bertilasan saja
Nabi Ibrahim yang terdahulu, yang membangun masjid
tempat bertilasnya Ka'bah itu,yang cuma berupa batu, tanpa hiasan,
apakah itu yang kau beri bakti sembah, jadi berhala?"
saat itu, para ibu menimang bayinya dengan puisi karya Sunan Kalijaga yang akhirnya dijadikan lagu dolanan anak-anak, "Lir ilir, lir ilir, tandure wis sumilir..."
semua orang membaca, menghafal, dan membuat puisi. Para petani mengasuh padinya dengan puisi. Para ulama mendidik umatnya dengan puisi. Para raja menasihati rakyatnya dengan puisi.
sebagaimana Raja Sri Susuhunan Pakubuwana II meminta maaf kepada rakyatnya, dalam serat Wulangdalem:
"tan lyan nuwun agsama, mring kang maca serat niki, kirang wewah sampun dadi celaning priya..."
dan aku meminta maaf, bagi yang membaca serat ini, apabila kurang berkenan, jangan jadikan celaan bagi lelaki ini..."
naskah itu, bicara mengenai nasihat Raja untuk moral rakyatnya. betapa urusan moral dibicarakan dengan puisi, dan jelas puisi Sang Raja tidak mendapat sponsor penerbitan dari Amerika atau Salihara.
lalu sekian ratus tahun kemudian, setelah penjajahan-penjajahan yang dahsyat: aksara kita berganti menjadi aksara latin. bahasa kita, menjadi penuh dengan isasi dan isme-isme.
raja-raja kita, tak lagi menikmati puisi sebagai bentuk nasihat-menasihati dari rakyat, maupun dari Raja untuk rakyat sebagaimana pengamalan surat Al-'ashr.
puisi, dinikmati sebagai sumber uang, atau pelanggaran hukum...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar