Selasa, 16 Agustus 2016

Abdullah bin Rawahah dan Puisi-puisi itu

"Wahai jiwaku, jika kamu tidak terbunuh (saat ini) maka nanti kamu juga akan mati.
Kematian ini sungguh telah sampai kepadamu
Apa yang selama ini kau cita-citakan akan diberikan kepadamu
Jika kau melaksanakan yang dilakukan dua sahabatmu yang terdahulu niscaya kamu akan diberikan..."
Puisi ini dibuat oleh Abdullah bin Rawahah. Dia, Penyair yang gugur di medan perang. Berbeda dengan Wiji Thukul atau Wing Kardjo yang sebatas menulis, sebatas deklamasi.
Abdullah bin Rawahah maju menjadi panglima perang Mu'tah, melawan ratusan ribu pasukan Roma. Sajak ini dibuat secara spontan ketika ia, penyair ini, ragu-ragu menghadapi kematian.
Akhirnya sejarah mencatat, ia gugur. Ia adalah salah satu penyair muslim terbaik di Kota Madinah, bahkan penjuru dunia islam kala itu. Bahkan kabarnya sampai kepada Rasulullah melalui wahyu, "Abdullah bin Rawahah, ia sempat ragu, namun ia maju terus dan gugur di jalan Allah..."
Ia bukan penyair yang hidup dari penjualan buku puisinya. Ia juga bukan penyair yang gemar baca puisi di acara-acara peringatan yang dibuat penguasa. Ia berpuisi, karena begitulah seorang Ibnu Rawahah hidup. Ia berpuisi dengan spontan.
Maka, ketika satu per satu langkah penyair ini berderap meninggalkan Madinah ke medan perang terakhir kali:
"Akan tetapi, kupinta ampunan kepada Allah
Dan tusukan mematikan yang dapat melenyapkan segala kotoran dosa
Atau tikaman tombak dengan kedua tangan yang penuh ambisi lagi terlatih.
Yang dapat mengoyak isi perut dan hati.
Sehingga apabila orang-orang melewati kuburanku, dikatakan:
Semoga Allah menjadikannya pejuang dan semoga itu menjadi kenyataan...."
Ia tak hanya menghunuskan pedang dalam puisinya. Tetapi, ia juga orang yang mampu menghunuskan puisi dengan pedang-pedangnya. Perangnya, bukan perang biasa. Perang yang melawan pasukan terkuat di dunia pada waktu itu.
Pasukannya, bukan pasukan biasa. Pasukan ini adalah pasukan yang dipimpin bergantian oleh Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abu Thalib, dan dia sendiri, Abdullah bin Rawahah, seorang penyair.
Ketika Chairil mengatakan, "Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang diliputi debu...."
Maka jauh sebelumnya, Abdullah maju sebagai prajurit, bukan cuma penyair yang sebatas mengabadikan di balik kredo: "puisi mesti bebas dari keterlibatan...." Sajaknya pun bebas dari sepi dan hujan, bebas dari kesenyapan malam dan cinta.
Maka barangkali, sajaknya ini menjadi sajak kita:
"Maka berikanlah kami ketenangan.
Dan kokohkanlah! Kaki-kaki kami jika kami bertemu musuh.
Sesungguhnya orang-orang kafir menzalimi kami...."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar