Selasa, 01 Januari 2019

Catatan Awal Tahun Negeri Buku: Soal Karya dan Kepengarangan




Tahun 2018, cukup bising untuk ukuran tahun literasi. Warga Negeri Buku mengamati apa yang terjadi di Negeri Tetangga, ternyata belum begitu baik bagi perkembangan sastra kedepan.


Bulan Februari. Yang basah. Orang dikejutkan dengan pengumuman lahirnya angkatan puisi esai. Bagi beberapa orang, katanya, "syaratnya sudah terpenuhi", dan lagi, " dunia puisi sudah berubah."

Cara pemunculannya, seperti yang disoroti para sastrawan, tidak dengan cara yang baik. Denny JA memberikan hadiah besar bagi sayembara, dan membayar sejumlah kritikus sastra untuk memoles-moles "indahnya" puisi Esai, dan agar jumlah penulisnya mencapai "angka cukup masif" untuk dikatakan sebagai sebuah angkatan.

Publik, di generasi selanjutnya, akan mengambil kesimpulan instan: terkenallah, lalu menulislah. Kau akan disebut penyair dan sastrawan.

Di luar itu. Kami juga mendapati pada awal tahun lalu, gelombang penulis-penulis wattpad. Mereka yang, agaknya, mewarisi genre paling baru di dunia kepenulisan kita: Fiksi Metropop. Cara menulisnya sama. Isi ceritanya sama. Yang berbeda, cara publik membacanya dan cara penulis memilih medianya.

Menyambung di tahun 2016 dan 2017, yang mana, kita juga melihat betapa banyak buku-buku baru yang muncul dari dokumentasi status dan unggahan instagram seseorang, agaknya, di tahun 2018 hal ini semakin kental dan semakin terjadi.

Apa pasalnya? Dua hal ini punya sebuah persamaan. Keduanya, tidak menawarkan cara pandang baru kepada makna kemanusiaan, kebudayaan, atau juga kehidupan.

Sebab, kedua peristiwa itu muaranya pada satu hal: festivalisasi karya. Orang cuma dididik agar membeli karya yang terkenal, besar, dan populer. Soal isi, bisa diurus belakangan.

Puisi Esai misalnya, memang dibuat secara masif. Tapi, justru itulah masalahnya. Orang ternyata masih mudah termakan iklan.

Bahwa sesuatu yang populer, masif, dilakukan banyak orang, dan dipujapuji orang, dianggap sebagai sesuatu yang baik tanpa melihat esensinya.

Angkatan sastra, sebelumnya selalu lahir dengan nilai perjuangan yang sama. Angkatan 45 misalnya, jelas menawarkan cara pandang kepada kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan sekarang, orang cukup jadi terkenal, dan pura-pura memperjuangkan sesuatu yang tidak perlu berat-berat dan mendasar.

Sebab, mereka percaya pada postulat generasi: generasi  Y dan Z toh tak suka bicara urusan filsafat, agama, atau hal-hal mendasar soal kebudayaan. Terkenal saja melalui media sosial, sudah cukup.

Dongkrak saja statistik dan survei, dan buat sebuah festival. Generasi Y dan Z, seolah digambarkan sebagai generasi beringas, robot, dan bisa ditafsirkan bagai menafsir deret angka-angka yang bukan menunjukkan manusia.

Menjamurnya buku-buku dari wattpad yang menawarkan atraksi narasi--bahkan beberapa di antaranya secara ekstrim--tidak diiringi dengan pencarian jati diri kemanusiaan para penulisnya.


Karya-karya itu, sepenuhnya seperti karya terjemahan--meskipun tidak semua. Nama-nama tokohnya, sangat tidak Asia. Sangat tidak Indonesia.

Pola penyelesaian konflik dalam cerita selalu menjiplak pola-pola penyelesaian konflik instan a la kota besar. Di mana, perempuan selalu jadi korban, atau secara ekstrim, laki-laki dipaksakan menyelesaikan konflik secara perempuan.

Dalam karya-karya itu, Tuhan cuma dianggap jalan pintas. Adegan berdoa, atau tindak tanduk tokohnya, tidak terlalu intens. Nama Tuhan baru disebut bilamana cerita itu bersentuhan dengan alam gaib. Atau kadang, demi memuaskan atraksi narasi, alam gaib dikonstruk ulang, untuk menyiasati keringnya makna sebuah karya.

Nama-nama tokoh dan ciri kebiasaan sehari-hari para tokoh dalam karya-karya yang muncul di karya-karya yang jamak ada, ternyata menunjukkan bangsa kita yang masih menganggap dunia Barat, Jepang, atau Korea: yang sebut saja negara asing, lebih baik dan lebih luar biasa dari negara kita.


Kalau di tahun-tahun sebelumnya nama-nama timur tengah atau latar Mesir serta Hijaz dianggap baik, kini bergeser. Barangkali penulisnya ingin mengatakan bahwa kota-kota kita tak cukup mengandung kehidupan untuk ditulis dalam sebuah karya.



Artinya, untuk menjadi bagus, indah, terkenal, dan hebat, orang--para penulis--ternyata tak bisa memilih jati diri bangsanya sendiri, tapi musti meminjam jatidiri bangsa lain.

Inilah yang disebut orang sebagai fenomena pos kolonial. Saat sebuah bangsa belum bisa melupakan keterjajahan, dan menganggap bangsa lain lebih superior. Ajaibnya, para pembaca kita pun menikmatinya!

Barangkali, catatan bagian satu ini mesti ditutup dengan obituari. Pengarang Danarto pada bulan April dan NH Dini pada bulan Desember, meninggalkan kita. Keduanya secara simbolik mengubah bentuk karya orang pada zamannya.

Berkunjunglah ke Negeri Buku. Kami berharap, menjamurnya taman baca dan perpustakaan pribadi, akan membuat selera baca orang naik. Pada gilirannya, kita akan kembali menemukan kemanusiaan di dalamnya.


Amar Ar-Risalah
Warga Negeri Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar