Sabtu, 30 Maret 2013
cerpen: Rencana
Rencana
Segudang rencana-rencana, pada akhirnya menenggelamkan kita. Aku sesak nafas, tak lagi mampu bergerak bebas. Di sini seperti di ketinggian. Aku berteriak sekeras-kerasnya, namun gemanya hanya untuk aku dan pepohonan. Apakah pepohonan mampu menjawabnya?
Aku berteriak sekeras-kerasnya, memanggil masa lalu. Sebelum ada segudang rencana-rencana. Di puncak daratan masa depan. Pelan-pelan, gelembung masa lalu keluar dari tubuh dan wajahku. Lembut lalu mengambang seperti kupu-kupu. Beraneka warna.
Ini di puncak masa depan, dan begitu dingin. Aku sendirian, tak ingin ada yang melihat airmata masa laluku mengalir dan menjadi gerimis. Gerimis ini akan membeku, menyelimuti tenda yang kugunakan untuk bermalam di puncak daratan masa depan ini. menyepi, dari keramaian rencana-rencana yang tak pernah terlaksana.
Puncak masa depan ada dalam imajinasiku sendiri, dalam ingatanku sendiri, karena aku percaya, dalam ingatan dan imajinasiku sendiri aku bebas memikirkan dan mengenang apa saja. terlaksana atau tidak terlaksana.
Dari tubuhku, pertama kali kulihat gelembung-gelembung sabun buatan sendiri. Dulu, aku biasa membuatnya dari sabun cuci ibu, dan meniupnya berdua dengan adikku. Warna cairannya biru atau hijau muda, dan aromanya khas bunga-bunga untuk memperharum pakaian.
Alat peniupnya kubuat dari kawat, yang kudapat dari gudang. Tetanggaku kanan-kiri sangat jarang, dan banyak sekali ladang serta lapangan. Jika sudah bosan, kami berkeliling lapangan meniup gelembung-menipu diri sendiri-menciptakan taman gelembung.
Dulu halaman rumahku luas, cukup bagi kami berdua berkitaran sambil meniup gelembung. Ia biasa mengenakan switer wol biru muda, bergambar burung tukan kecil di dadanya. Rambutnya pendek, lima senti. Matanya berbinar cerah, ketika bersama-sama mengejar gelembung yang terbang tinggi.
Halaman rumah kami beberapa hari dalam sebulan menjadi taman gelembung, yang biasa kami buat sebelum dipenjara sekolah. Gelembung. Gelembung-gelembung warna pelangi, yang beterbangan dan menghiasi taman kami.
Sebelum segudang rencana-rencana yang tak pernah terlaksana hadir dan membungkam masa lalu.
Gelembung-gelembung dan berkas adikku terus keluar dari tubuhku. Warna-warni. Harum. Membawa ingatan-ingatanku kepada masa lalu, sebelum rencana-rencana yang tak pernah terlaksana menjadi ingatanku.
Puncak daratan masa depan menjadi penuh gelembung-gelembung yang datang melewati tubuhku dari masa lalu. Merah muda. Hijau muda. Biru muda. Ungu muda. Sebaris warna-warna muda sebelum kita mengenal tua dan rencana.
Adikku mulai menghilang dari ingatanku di masa depan, tepat ketika aku memutuskan membuat gelembung-gelembung warna tua, penuh segudang rencana. Rencana tentang pendidikanku. Rencana tentang pekerjaanku. Rencana tentang keuanganku. Rencana tentang masa depanku.
Aku lalu pergi dari adikku dan masa lalu tanpa melambaikan tangan, sebab aku tak pernah mengira tak akan kembali. Aku lupa, bahwa di daratan masa depan, kita tak pernah bisa kembali kepada masa lalu.
Maafkan aku, Adikku.
Tak kusangka, tiba-tiba gelembung-gelembung berubah menjadi foto-foto dan gambar teman-teman lamaku. Semuanya melayang di udara, sementara hampir tengah hari di daratan masa depan. Hari semakin cerah dan hangat saja.
Ku tangkap satu foto yang mengambang, kutemukan gambar ketika aku dan lima kawanku mencari bambu untuk hiasan pawai. Menelusup hutan bambu, di tepi sungai besar di pinggir kotaku. Kuraba foto itu, masih terasa hangat tangan mereka dari masa lalu.
Kuteruskan memegang tangan mereka-di foto itu-satu demi satu untuk merasakan kembali hangatnya. Kuciumi foto itu, kucoba merasakan hawa tepi sungai yang rindang, bercampur bau masa lalu yang belum mengenal segudang rencana-rencana yang tak pernah bisa terlaksana. Aku gagal menjaga mereka.
Ada Jusa disana.
Ada Anton disana.
Ada Rudi disana.
Ada Reza disana.
Ada Sidik, dan wajah-wajah lain yang tak sempat masuk kedalam gambar di fotonya.
Tak ada rencana. Ini bukan foto yang menggunakan rencana. Ini foto yang diambil tanganku, langsung dari mataku saat itu, dan aku ingat, dengan bangga aku menunjukkannya pada mereka. Mereka berebut melihatnya, sebelum masa lalu di foto itu berhenti.
Kami akhirnya harus berpisah. Ya. Kami akhirnya dikalahkan waktu. Di masa-masa selanjutnya, kami masih saling kenal karena masa lalu, tetapi kehangatannya memudar. Rasa tangan mereka bukan yang dulu. Tangan mereka adalah tangan yang telah mengenal rencana-rencana yang tak pernah terlaksana. Tangan tua. Tangan yang tak kukenal lagi masa mudanya.
Maafkan aku, teman-temanku. Mengurungmu dalam masa lalu. Aku gagal menjagamu. Menyelamatkanmu dari rencana-rencana yang tak pernah bisa terlaksana, dan akhirnya ikut terhapus dalam ingatan tentang masa lalu.
Ribuan foto-foto itu mulai menjauh diterbangkan angin-yang memang terencana akan tiba tanpa aku sanggup menolaknya. Aku sempatkan menangkap satu gambar lagi. Tepat pada waktunya.
Dulu, sebelum aku mengenal rencana-rencana yang tak pernah terlaksana, aku dan empat temanku membentuk kelompok untuk bermain dan belajar. Rakai. Nurul, Niken, Tri, Eris, dan Lita. Nurul adalah gadis sederhana, dan manis. Ia akan berbicara lemah lembut pada siapa saja yang mengajaknya bertukar sapa.
Di sisi lain, ia adalah gadis energik, menyukai basket. Beberapa kali ia menjuarai perlombaan. Imbang dengan wajahnya yang manis dan lembut, dan jilbab pudarnya yang khas-selembar kain tipis dan persegi.
Niken seringkali mengajakku memikirkan hal-hal yang aneh dan unik. Tentang impian-impian masa depan yang tak kukira penuh rencana yang tak pernah terlaksana. Tentang alat-alat canggih yang mampu mengurai beragam zat di alam semesta. Tentang alat yang mampu mengetahui isi hati manusia.
Tentang kemampuan-kemampuan unik manusia. juga, tentang salahsatu diantara kami berlima, Eris. Dia kemudian menjadi kekasih Niken yang pertama. Perawakannya khas atlet sepak bola. Betis besar, dada bidang, namun proporsional sehingga tidak menyeramkan. Litani demikian khasnya, ia juga seorang pemain basket. Memiliki pengetahuan yang luas tentang alam dan sosial.
Sahabat yang menjadi pasanganku bertukar pikiran adalah Tri. Entah kenapa, meski kami selalu berbeda cara berpikir, tetap saja kami selalu menjadi lawan bicara yang menyenangkan. Kami bicara tentang banyak hal, negara, agama, Tuhan, wanita, apa saja.
Yang penting, bisa dikenang di masa depan sebagai sesuatu yang muncul tanpa rencana-rencana yang menyesakkan dada, namun tak pernah terlaksana.
Ketika kami berlima akhirnya pergi, mengambil jalan yang berbeda, kami tak pernah mengira tidak akan kembali. Jalan ini terlalu jauh, dan tak diketahui ujungnya. Kami tak pernah lagi bertemu seperti masa lalu. Kami hanya bertemu untuk rencana-rencana yang tak pernah terlaksana.
Maafkan aku, teman-teman. Aku tak pernah menghubungi lagi masa lalu. Ada rencana-rencana yang tak pernah bisa terlaksana, dan aku terlalu takut melewatinya. Aku terlalu takut, maafkan aku.
Seluruh foto dan gambar akhirnya jauh diterbangkan angin menuju puncak bukit, dan mengambang jauh keudara. Senja akhirnya hampir tiba. Foto-foto itu menjadi seperti burung-burung yang sering muncul ketika langit mulai kemerahan. Burung itu hanya bisa kamu lihat, ketika kau masih kecil, dan belum memiliki rencana-rencana apapun untuk siapapun.
Dari kulitku, dan sekelilingku, aku melihat kupu-kupu merah muda muncul dan terbang mengelilingiku. Menari-nari bersama warna merah senja. Ya, ya! Aku mengenal betul kupu-kupu ini.
Ini dulu, kupu-kupu kita, kan, Sayang? Ya! Aku ingat benar. Di sayapnya ada matamu, dan jika kupu-kupu ini muncul demikian banyaknya dan begitu indah, kamu akan datang segera dengan langkah manja dan menghampiri aku.
Tetapi, aku belum melihatmu. Kamu dimana? Tunggulah, sebelum malam, di puncak daratan masa depan, aku akan mencarimu. Kupu-kupunya melimpah, maka kamu seharusnya tak jauh dari sini.
Ketika aku berjalan agak cepat, aku melihat dua orang berjalan agak jauh ke barat, menuju arah matahari terbenam untuk menyamarkan wajah mereka. Mereka berpegang tangan. Salah satunya berbicara mesra, terlihat dari arah kepala dan gerakan mulutnya.
Dari tubuh mereka berdua satu demi satu kupu-kupu bermunculan, pelan-pelan. Percakapan mereka terlihat agak berat. Dalam,karena kupu-kupu yang muncul-aku masih ingat betul-kupu-kupu yang sama ketika terakhir aku menyeka air matanya.
Senja semakin erat saja. aku meninggalkan kedua orang itu. Tak jauh dari puncak daratan masa depan, ada beberapa batang pohon rindang. Dibawahnya kembali kulihat dua orang yang sedang menikmati makan, dan bercengkrama dengan awan-awan senja.
Aku mendengar jelas percakapan mereka, yang sebelum ada rencana-rencana yang tak pernah terlaksana, aku mengucapkan percakapan ini di masa lalu.
“Kamu menyayangiku?”
“Iya, Aku menyayangimu”
“Sederhana?”
“Rumit, sebab agar hanya kamu yang mengerti”
Tetapi entah kenapa kupu-kupu yang muncul terlalu banyak dari tubuh mereka, dan memudarkan tubuh mereka sekaligus. Mereka menghilang, menjadi ratusan kupu-kupu yang dulunya juga muncul dari tubuhku.
Dia akhirnya kulihat sendirian, di atas batu yang agak besar.
“Kamu lama menunggu?” Kataku menahan letih.
“Aku tak bisa” Jawabannya tak kuduga.
“Maksudmu? Banyak kupu-kupu senja ini, ayo nikmati”
“Aku ingin kembali”
Tunggu. Aku menangkap yang lain dari maksud bicaranya. Aku mengingat-ingat percakapanku di masa lalu, di balik setumpuk rencana-rencana masa depan yang tak pernah terlaksana.
Aku lalu menangis. Sepuas-puasnya. Menyadari sesuatu: ini akan mengulangi masa lalu dengan cara yang mengerikan! Aku menangis sekeras-kerasnya. Berteriak. Aku sudah di puncak masa depan, tetapi kenapa masa depan belum pada pengendalianku?
Bahkan pada imajinasiku di masa depan, terjadi sesuatu yang sama ketika aku di masa lalu. Percakapan-percakapan terakhir antara aku dan dia kembali berulang tanpa aku bisa mengubahnya. Terulang bahkan pada imajinasiku sendiri tentang masa lalu.
Tanpa sadar, akhirnya aku mengulangi kata-kataku pada masa lalu:
“Kamu jenuh, ya?” tuturku hati-hati, aku takut melukai perasaannya yang halus. Mengulangi masa lalu, dan tanpa pernah berani melewati rencana-rencana yang tak pernah bisa terlaksana.
Puncak daratan masa depan akhirnya betul-betul memasuki senja, ketika kupu-kupu terbang dari tubuhmu. Terbang tinggi, menghapus ingatan-ingatan yang tersisa dari masa lalu, sebelum aku terkubur bersama rencana-rencana.
Dan menangis, akhirnya aku menangis di imajinasiku sendiri tentang masa depan yang sedang kurencanakan. Rencana-rencana yang tak pernah bisa terlaksana.
Kamu akhirnya menghilang, maafkan aku. Dikalahkan imajinasiku sendiri. Aku terlampau menjadi tua dan pecundang. Kupu-kupu masa lalu telah berhenti keluar dari tubuhku. Aku berjalan pelan-pelan entah kemana. Ini dalam imajinasiku sendiri.
Tubuhku merapuh, beberapa kali nafasku berbunyi dan terbatuk-batuk keras. Aku kedinginan. Dibekukan imajinasiku sendiri. Aku mengeratkan jaket, namun entah kenapa, imajinasiku gagal untuk menghangatkan diri.
Masa lalu gagal aku kendalikan, justru kupu-kupu masa lalu mengambil alih ingatan dan imajinasiku sendiri.
Lalu tanpa sadar, ketika aku merenungi masa lalu dalam puncak daratan masa depan ini, penanggalan berganti dan menua. Kembali membuatkan rencana-rencana yang bertumpuk tanpa bisa terlaksana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar