Kamis, 14 Maret 2013
Cerpen: Ombak
Setahun setelah perpisahannya dengan perempuan yang sangat disayanginya, pria itu, dengan segenap hatinya telah memutuskan untuk melepaskan bingkai jendela dari dinding kamarnya di lantai dua. Ia membulatkan perasaannya, untuk terus mengembara selama beberapa bulan. Meninggalkan kesibukan untuk menenangkan dirinya sendiri.
Entah dari apa.
Entah dari siapa.
Pria itu hanya sedang ingin berjalan dengan jendelanya.
Banyak tetangga dan rekan-rekan menganggapnya gila, meski ada juga yang menyayangkan tindakannya. Mencopot jendela itu sia-sia, katanya. Pria itu mengacuhkan, lantas pergi dari rumah. Ia ingin merenung di tengah kota besar. Di puncak sebuah gedung tinggi, tempat ia bisa melihat segala dinamika kota.
Lewat jendela itu, ia menyandarkan tangannya dan memandang jauh. Di sana, ia melihat sebelum senja, matahari telah terbenam lalu padam. Burung-burung yang kebingungan, hinggap sekenanya di kabel-kabel listrik.
Jalanan macet. Semua sibuk mengomentari kendaraan di depannya, sementara kendaraan terdepan mengumpat-umpat kepada lampu merah yang menghentikannya. Kota ini kehilangan cinta. Sudah tidak mengenal senja, dan hanya menganggapnya sebagai peristiwa biasa.
Tak ada pohonan yang menghitam karena bayang-bayang sendiri. Tak ada juga awan senja yang berarak. Semua kubus. Kubus gedung-gedung kota, dan kita tinggal di salah satunya. Senja tak pernah membeda-bedakan kubus, semuanya sama.
Tidak untuk dinikmati.
Ketika senja seharusnya mencapai titik terindahnya, deretan gedung-gedung perkantoran menghalangi. Maka, tidak pernah ada warga kota yang melihat senja. Pria itu akhirnya mengerti, kenapa kotanya menjadi kaku dan kehilangan rasa cinta. Tak pernah ada yang menikmati senja. Ia lewat begitu saja.
Ketika langit betul-betul jadi malam, sebuah gedung bertanya padanya.
“Kenapa kau membawa jendela sampai kesini?”
“Aku ingin menyelamatkan senja kedalam jendelaku”
“Sendirian?”
“Aku tidak lagi mempercayai siapa-siapa”
“Kenapa?” Kaca-kaca jendela gedung membiaskan kegiatan orang-orang di dalamnya.
“Entahlah, tetapi...”
Pria itu termenung-menung melihat dua orang, di sebuah jendela gedung itu, sedang tidur dengan nyenyaknya. Berdua. Tidak takut kehilangan apa-apa.
“Banyak yang menikmati senja lewat jendela rumahnya, bersama”
“Aku hanya ingin merenung”
“Tentang apa”
“Jendelanya”
Gedung itu akhirnya paham, ia tak melanjutkan pertanyaannya. Tetapi, mata gedung itu menyiratkan sesuatu. Pria itu entah, seperti merindukan masa lalu. tetapi bukan jendelanya.
Perjalanannya membawa jendela, terus mengantarnya sampai ke sebuah tepi laut yang tenang. Ombak-ombak bisa bicara. Senjapun hampir datang.
Ombak, yang melihat pria itu lalu berbisik pada yang lainnya, untuk sekedar mengajaknya bicara. Pantai dan lautan tidak pernah membiarkan siapapun sendirian di hadapannya. Disana, siang dan malam berbagi menjadi senja.
Matahari mengorbankan dirinya kepada malam, agar senja bisa muncul dan merenungi sisa-sisa siang hari. Pesisir mengorbankan dirinya dihantam ombak, agar pasir tercipta dan menjadi batas samudra.
“Senja yang indah, Teman?”
Pria itu tersenyum singkat, tetapi matanya sayu.
“Kau menikmati senja?”
“Ya, Ombak. Maukah kau duduk di sampingku?” Ia akhirnya menyerah pada sepi.
“Mari” Kata Ombak yang segera mengambil duduk di sebelah pria itu.
“Untuk apa kau membawa jendela sebesar itu?"
“Aku melepasnya dari tembok rumahku”
“Kau nampak berjalan teramat jauh. Aku melihatmu dari teluk seberang. Jendela ini untuk apa?”
“Entahlah, tetapi aku suka membawanya, untuk melihat apa saja dari salahsatu sudutnya, terutama, senja”
“Apa yang kau lihat, Teman?”
“Aku pernah melihat siang, matahari bersinar diatasnya. Aku berjalan, lalu kutemukan diriku telanjang tanpa busana”
“Bagaimana seterusnya?”
“Aku lalu merebahkan diriku di tanah. Aku melihat diriku begitu rapuhnya: matahari menghabisi kesegaranku. Aku mengering, lalu hujan turun”
“ Apa yang dikatakan hujan padamu? Ia senang sekali mengunjungi lautan dan bercerita apa saja”
“Aku diberinya pakaian hujan. Lalu aku dilarutkan, bersama jendela dan terhanyut sampai muara”
“Sebetulnya, apa yang ingin kau katakan, Teman? Jujurlah pada kami”
“Setiap kali ada wanita yang mengenakan jilbab, aku selalu teringat dia. Jilbab kesukaannya berwarna abu-abu, khas sekali, diselempangkan menyilang melingkari leher”
“Aku selalu ingat dia”
“Dua bulan yang lalu, kami tidak sedang bertengkar, tetapi dia sekejap membenci aku. Kami memang berhubungan jarak jauh, tetapi...” Pria itu merenung sebentar.
“Nampaknya, kau sangat mencintainya, hanya dengan cara yang tak ia mengerti”
“Bagaimana kau tahu?”
“Beribu tahun lamanya, aku menghantamkan diriku pada karang hitam itu, karena aku mencintainya. Aku tak pernah bicara, hingga akhirnya, ia mati menjadi pasir yang ada di kakimu saat ini, juga tanpa mengatakan apa-apa”
Matahari makin terbenam, pria itu masih memperhatikan dengan tatapan penuh makna pada senja yang merah dan bau laut. Terasa benar padanya, laut memiliki tenaga yang sangat besar.
“Tak inginkah kau kembali pulang? Tentu kau memiliki keluarga”
“Aku kehilangan diriku sendiri”
“Aku tak tahu kemana harus pulang” Tandas pria itu.
“Kau pasti tetap harus pulang”
“Suatu ketika, mungkin aku memang harus pulang. Mengetuk pintu dengan sepantasnya. Kembali menghirup aroma teh hangat di atas meja. Meletakkan tasku di kursi, dan mencium tangannya kembali.”
“Keluargamu pasti sangat merindukanmu”
“Pulanglah, teman”
“Suatu ketika, aku mungkin harus pulang. Membuka pintu kamar dengan lembut, dan berganti busana di dalam. Tidur dengan tenang, sementara sinar matahari sore masuk perlahan-lahan“
“Bukankah dengan kepergianmu, nantinya keluargamu hanya akan merasakan kehilangan yang lain?”
“Aku memang harus pulang. Aku pergi terlalu lama dan jauh untuk menyelamatkan senja. Tak kudengar kabar rumah yang nyaman, telah sekian lama...”
“Bagaimana dengan senja di rumahmu, apakah pernah kau selamatkan dengan jendela?”
Pria itu terdiam.
Pertemuan terakhirnya dengan rumah dan wanita yang sangat disayanginya, berakhir dengan perdebatan. Yang sepertinya sudah terpendam ratusan hari lamanya, tanpa sempat terselesaikan karena ragu-ragu.
“Teman?” Tegur Ombak.
“Ya, kami melinangkan airmata bersama-sama. Ia mengenakan baju ungu kemerahan, yang mengartikan ia sedang lelah terhadap sesuatu. Jilbabnya abu-abu. Sepertinya ia ragu-ragu juga dengan sesuatu...”
“Tentang wanita itu, ya?”
“Nampak benar ia menyembunyikan sesuatu”
“Sesuatu, yang aku juga tidak tahu. Aku tidak punya kemampuan membaca pikiran. Apa yang menjadi dasar pikirannya memisahkan antara kita? Aku gagal. Ya, aku gagal, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri”
Senja sudah jadi malam, dan pria itu tak menyelamatkan sedikitpun senja di laut itu dengan jendela, karena lebih banyak merenungkan kata-kata Ombak padanya.
“Katakanlah pada kami, untuk apa kau bawa jendela ini?”
“Untuk menyelamatkan senja”
“Dari apa?”
“Aku ingin menikmatinya lagi”
“Jujurlah, teman! Itu tak akan membuatmu lebih baik!”
“Ya, aku ingin menikmatinya lagi, dengan dia! Apakah jelas?!” Tiba-tiba pria itu berseru, beban di hatinya terasa memuncak.
“Aku tak pernah bisa menikmati senja bersamanya, karena kesibukanku, karena aku tak pernah mau memahami apa yang bisa dipahaminya sebagai kasih sayang!”
****
Empatpuluh kilometer per jam. Tidak begitu kencang. Semakin senja saja, angin tak hendak menyingkir dari jalan kami berdua. Asramanya terletak agak jauh, selang satu kota dari kota asal kami. Aku mengantarnya. Senja ini. entah kenapa ada perasaan yang berbeda, langitnya lebih senja dari biasanya. Berboncengan dengan sepeda motor.
“Ta?” Aku agak mengeraskan suara, mengalahkan deru angin.
“Kenapa?” Ia menjawab lembut, mendekatkan sedikit telinganya.
“Macet, ya?” Bodoh. Aku memulai percakapan dengan bodoh. Memang macet, tetapi bukan itu!
“Iya, kamu lelah? Kita istirahat saja dulu,” Jawabnya.
“Tidak, tidak usah, jika kamu lelah, tidurlah di punggungku”
“Iya, santai saja. jangan terlalu cepat”
“Kenapa, ya, kita mesti terpisah jauh? Dan ini hari terakhir aku bisa mengantarmu”
“Jangan begitu”
“beberapa jam, dalam sebulan. Aku hanya mampu memberikan itu”
“Jangan dipikirkan...”
“Jalanan ini makin macet, ya, sayang?”
“ini akhir pekan, semuanya keluar untuk menyentuh senja”
“Kita?”
“Apa?”
“Iya, kita, keluar untuk apa?”
“Maafkan aku, sayang”
“Tidak apa-apa. Kamu lelah, kan? Tidurlah. Akan kujalankan pelan-pelan motornya”
Percakapan-percakapan ini memperlambat senja. Apa lagi yang harus ku katakan? Dia telah tertidur di punggungku. Beberapa minggu ini dia mendiamkan aku. Tak juga dibalasnya pesan singkatku. Panggilanku. Nada-nada yang sama ketika aku memanggilnya menusuk-nusuk mimpi dan prasangkaku.
Jenuhkah ia?
Ya,
Jenuhkah ia?
Aku sadar betul, sikap dan penampilanku selama ini akan membuat orang berpikir dua kali untuk menghubungiku. Tegakah aku padanya? Jalanan yang aku lalui menuju asramanya menjadi penuh angka-angka dan huruf yang berantakan untuk aku tata sedemikian rupa: menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaanku padanya. Dia diam.
“Kamu sudah makan, sayang? Ayo kita ke By Pass, ada warung enak disana...”
“Belum, kebetulan! Jam berapa?”
“Hm... Jam lima? Sudah siap, kan, sayang?”
Pesan semakin singkat saja. semakin mampu mewakili sebanyak mumgkin arti dalam sesedikit mungkin kata-kata. pada pertemuan terakhir sebelum saat ini, ada yang berbeda. Dia lebih lemah, terlihat lebih rapuh.
Ia tak mau dipaksa memberikan alasan-alasan yang logis menurut senja, ketika kutanya sebabnya. Wajahnya yang pucat. Matanya yang sayu. Flu. Suaranya yang lebih lembut. Ia hanya terlihat menikmati makan malam bersamaku, tidak lebih.
“Masih jauh, ya?”
“Iya, semakin gelap”
“Kamu sakit, ya?” Beban kuliahnya teras berat, membekas di matanya.
“tidak,” jawabnya. Sangat singkat.
“Baiklah,”
“Sayang?” aku menyapanya ketika terdiam. Sudah saatnya aku bicara serius!
“Kamu... jenuh, ya?”
Semakin malam. Mobil-mobil sudah menyalakan lampu, jalan raya semakin semarak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar