Kamis, 14 Maret 2013

Cerpen-Topeng Monyet

Tiap pulang kerja, mataku selalu iseng memperhatikan Topeng Monyet dan Pawangnya, yang mangkal tepat di seberang istana. 


Jalan Merdeka memang sangat padat. Memaksa mata siapa saja yang melewatinya pantang melihat kedepan karena jenuh, tetapi menengok istana yang megah, atau ke arah lapangan Monas yang sangat permai.


Ia mangkal tepat dibawah reklame yang dipasangi spanduk kampanye calon presiden. Ada foto dua orang yang sangat besar, dengan kualitas editan yang buruk, lalu ada nomor urut. 


Janjinya banyak, mulai dari utara hingga selatan. Kontras dengan taman Monas di belakang reklame itu, yang segar dan hijau.


Jika lampu merah menyala, ia akan memainkan Monyetnya kesana-kemari di trotoar, bersamaan dengan berhentinya motor-motor dan pejalan kaki yang antre. Mulai dari Monyetnya yang berlagak kehujanan, memegang payung warna pelangi, berlagak perang menenteng senapan kayu kecil yang dicat putih, hingga mengenakan rok mini seperti banci. Pawangnya mengendalikan si Monyet dengan seringai senyum aneh sambil berkata-kata.


Tentu, ada jalan cerita dan hikayat yang terus dirapalkan sang Pawang. Dulu ketika kecil, di Depok, aku sering mendengarkan si Pawang itu bercerita tentang si Monyet, yang kadang dinamai Mumun, Mimin, Maman, Eman, atau yang lain—yang penting ada imbuhan -man di belakang namanya—berkelana ke berbagai tempat dan menyamar menjadi beragam tokoh.


Cerita itu kadang begini bunyinya: Suatu pagi si Mimin ingin belanja ke pasar, membeli timun, kol, terong, teri dan petai. Maka si Mimin Pergi Ke Pasaaar (pawang melemparkan keranjang kecil). Pulang dari pasar, si Mimin kehujanan! (pawang melemparkan payung mini yang segera disambar si Monyet). 


Kata bapak si Monyet, kakeknya dulu adalah pejuang kemerdekaan. Begini caranya, si Mimin Jadi Pahlawaaan! (melemparkan senapan kayu kecil).


Si Pawang setengah baya. Berkumis lebat, menggantung seperti krim diatas kue ulang tahun keponakanku. Hanya, yang ini warnanya hitam. Hitam, sering berjemur di panasnya Jalan Merdeka. 


 Ia selalu mengenakan topi koboi putih, kaus lusuh yang kadang putih kadang hitam, celana setengah betis, dan sandal kulit hitam yang tua dan hampir lapuk.


Kandang si Monyet kecil sekali. Hanya cukup ia berjongkok di dalamnya seperti burung nuri yang dikurung. Warnanya hijau bergaris kuning dan hitam. Sambil makan pepaya atau pisang, ia menanti-nanti saat pentasnya di panggung bata trotoar Jalan Merdeka yang panas bila disentuh tanpa alas kaki.



Satu kali, aku terjebak lampu merah agak lama dan sempat kudengarkan suaranya yang khas seperti tukang hikayat dari Melayu mendendangkan cerita, diselingi irama gambang mainan, kendang plastik, dan kadang ketukan kayu di kandang kotak sang Monyet. Suaranya agak keras, tebal, namun parau. 


Karena ia selalu bercerita dengan senyum lima senti, maka entah kenapa ceritanya selalu terdengar lebih ceria dari seharusnya. Lebih mampu menonjolkan kesan jenaka.


“Si Mimin keeehujanaaan!” lalu si Monyet memegang payung yang dilemparkan Pawang.


“Si Mimin kepanasaaaaan!” lalu si Monyet berlagak membuka baju dan minum beer. Kaleng kosong.


“Si Mimin jadi pahlawaan kemerdekaaaan!” maka si Monyet menyambar senapan dan mendadak, dengan suaranya yang berat dan parau si Pawang melagukan Hari Merdeka milik H. Muntahar:


“Tujuh belas Agustus tahun empat lima! Itulah hari kemerdekaan kita (sambil menatap Monyet, seolah kemerdekaan ‘kita’ adalah kemerdekaan si Pawang dan si Monyet) hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia! Merdeka!”


Kendang dan gambang mengiringinya dengan bunyi teratur, namun tak bernada. Maklum, alatnya sederhana dan tidak di desain untuk mengiringi nyanyian lagu kemerdekaan.


Sampai sini, nyanyian biasanya berhenti karena lampu hijau menyala dan ia harus segera mengambil uang yang berserakan. Percuma diteruskan, takkan ada yang mendengar.


Monyetnya sendiri biasa saja, warnanya cokelat keunguan, mungkin sejenis dengan spesies Monyet hutan yang sering juga kutemui jika aku berlibur ke curug-curug di Puncak sana.

Taringnya panjang, sering dikeluarkan ketika tuannya menarik rantai di leher, hingga ia meringis.


Kasihan juga, sih. Sering si Monyet membangkang, misalnya jika aku iseng pulang sebelum jam empat, hari sangat panas, dan si Monyet dipaksa menari. Ia terlihat sangat kehausan, dan menatap murung pada sang Pawang yang minum minuman berenergi warna kuning yang baunya seperti urin.


Ia lantas guling-gulingan, muka ditutup topeng, dan memegang senapan. Banyak juga orang yang memberikan uang. Terhibur, sirkus trotoar ini menarik sebetulnya. Entahlah. Aku sendiri memang suka melihat ini, dari pada mendengarkan pengamen yang suaranya diakrobatkan seperti Monyet itu juga, tetapi malah terlihat seperti main-main.


Akan tetapi, tetap saja. selepas lampu merah Jalan Merdeka itu, aku memikirkan sesuatu. jika setiap main ada lima orang memberi uang, seribu, dan sehari bisa main sepuluh kali—taruhlah dia datang siang dan istirahat tengah hari, dengan durasi sekali main lima menit—maka ia hanya mendapat sekitar limapuluhribu rupiah.


Itu makanku dua kali. Belum parkirnya. Belum pertamaxnya. Ya, kan?


Masalah si Monyet ini sederhana: ia tak mungkin dipaksa makan nasi.


Dua, ia hanya makan buah. Baik, menurut lawak jam delapan di tivi, ia makan pisang.


Tiga. Yang utama, uang si Pawang tak cukup memberi makan dan minum mereka berdua.


Baiklah. Minggu datang, dan aku memutuskan bersepeda ke lapangan Monas dengan harapan bisa menjumpai Monyet dan Pawangnya. Aku ingin menontonnya sekali lagi dengan santai, dan bila perlu, menghilangkan penasaranku dengan mengobrol.


Benar saja. ia sedang memainkan Monyetnya dengan riang, dan seperti biasa, dengan gaya hikayat, sampai pada bagian menyanyikan Hari Merdeka dan lampu hijau yang muncul seenaknya. Padahal ini hari khusus, dimana mobil dilarang melintas pada hari minggu.


“Dari pagi, pak?” basa-basi, biasa.


“Iya, ini lagi ramai...” mungkin si Pawang ini berpikiran, aku seperti intel.


“Monyetnya bagus.. (sumpah, aku bingung mau bilang apa sebagai pengantar) sehari bisa dapat berapa pak?”


“ya... lumayan, gocap. Nutup makan, lah...”


“Rumah dimana, pak?” aku seperti orang penasaran yang sok akrab, ya?


Selanjutnya, benar dugaanku. Uangnya ini tak cukup menghidupinya sehari-hari. Dulu, ketika aku bekerja di BPS, aku mendapat lelucon tentang orang Indonesia. Pengeluarannya, lumrah dua kali lipat dari penghasilannya. Dan untuk memenuhi kebutuhan, mereka menggunakan cara-cara yang mustahil namun masuk akal.


Hari itu, dia menolak membeberkan rahasianya, darimana ia memenuhi pisang monyetnya, kontrakannya, sepatunya yang baru, dan sedekah bulanan. Namun ia merasa aku seperti sahabatnya dan menjadi kenalan untukku.


Minggu ini adalah musim kampanye terbuka. Banyak janji-janji mewarnai televisi. Pidato mendadak marak ditampilkan, dengan gaya ala-ala Pak Karno.


“Rakyat masih miskin....”


“Pengangguran melimpah...”


“Reformasi gagal....”


“Hanya jika saya terpilih....” sambung calon terakhir.


Ngomong-ngomong, keponakanku yang TK masih cadel. Jika ia melihat kampanye di televisi ia sontak bernyanyi:


“Langit kecil... di bintang yang biru, amat banyak... menghias angkasa....”


Lalu mengajakku melihat topeng Monyet. Padahal, sulit mencari topeng Monyet di sekitar kediamanku sekarang ini. Ah, aku jadi teringat kembali dengan Pawang dan Monyetnya.


Ketika akhirnya hari pemilihan tiba, diadakan penghitungan cepat dan aku tak terlalu peduli siapa yang menang. Pikiranku masih melayang-layang pada Pawang dan monyetnya yang misterius, memainkan atraksinya di bawah reklame calon presiden nomor sekian. Semakin misterius. Zaman sekarang, mana ada orang hidup dengan uang yang kurang, coba? Sejujur apapun dia, pasti ada main.


Akhirnya, minggu itu kuputuskan memaksaanya bercerita. Memang sangat sulit. Bahkan aku tak terlalu peduli siapa namanya. Aku hanya penasaran. Si Monyet yang tak kurus-kurus amat itu—sebagai tanda kemelaratan—memandangiku jelalatan, mencari makanan. Persis seperti laki-laki memandangi perempuan.


Si Pawang akhirnya hanya memberi petunjuk sederhana, nanti malam, dia akan pindah ke seberang jalan, tepat di depan istana. Aneh memang. Kalau malam-malam ‘kan istana tutup, persis seperti toko. Sepi pula. Buat apa ia pindah kesana? Padahal kalau malam, Monas yang ramai.

****


Baik. Kuturuti petunjuknya. Malam itu, dengan berkendara motor dan mengendap-endap dari rumah, aku pergi ke Monas. Jam sembilan malam, tepat ketika anak muda yang besok masuk


pagi sekolahnya bersiap pulang dari lapangan Monas. Jalanan lebar jadi lengang. Jakarta Pusat malam-malam begini malah sepi, beda dengan Depok atau Jak-sel dan Jak-tim.


Motor sudah kuparkir, aku menuju tepat ke depan istana merdeka. Benar, kutemukan dia di depan pagar istana. Hanya dia dan monyetnya. Berdua. Heran, kenapa dia seperti berlagak mengikuti monyetnya, ya?


Akan tetapi, setelah aku mendekat, alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati rantai si Monyet kecil yang biasa melekat di leher Monyet, kini tergelang di leher sang Pawang, dan sang Pawang menari-nari layaknya Monyet kecil di siang hari.


Berlembar-lembar brosur kebijakan pemerintah masuk ke kantong bekas permen lusuh tempat ia mengumpulkan receh, dan si Monyet dengan tangkas memainkan gambang dan kendang sambil sesekali melemparkan payung, baju, boneka, apapun yang menjadi alat peraga hikayat Monyetnya.


Tepat di gerbang istana, si Pawang, yang adalah manusia, dipermainkan Monyet kecil dan berlembar-lembar brosur, cek kosong, proposal, serta koran bekas tentang masa pemilihan umum dilontarkan dari dalam istana, namun si Pawang melihatnya, persis dengan tatapan manusia diluaran sana yang melihat uang ditaburkan sekenanya!


Siapa yang melontarkan barang-barang itu? Apa pula maksudnya ini? Istana masih sepi, sepi sekali!


Si Monyet memunguti brosur, majalah, pamplet, dan koran bekas itu persis seperti pada siang hari ketika ia memunguti uang yang dilemparkan penontonnya.


Aku mengepalkan tangan untuk meyakinkan bahwa ini kenyataan, dan semakin terpana ketika si Monyet betul-betul bersuara berat, parau, dan bicara seperti manusia. tepat pada hikayat, ketika si Mimin diharuskan menenteng senjata kayu kecil seperti senapan, dan Pawang biasa menyanyikan hari merdeka milik H. Mutahar dengan suara parau dan senyum lima senti, si Monyet bernyanyi dengan seringai senang menerima brosur dan koran bekas kampanye itu:


“S’kali merdeka tetap merdekaa! Selama hayat masih di kandung badaaan! Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia, kita tetap sedia, tetap setia, membela negara k-i-t-aaaaaaaaaa!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar