Cerpen-Topeng Monyet
Tiap pulang kerja, mataku selalu iseng memperhatikan Topeng Monyet
dan Pawangnya, yang mangkal tepat di seberang istana.
Jalan Merdeka
memang sangat padat. Memaksa mata siapa saja yang melewatinya pantang
melihat kedepan karena jenuh, tetapi menengok istana yang megah, atau ke
arah lapangan Monas yang sangat permai.
Ia mangkal tepat dibawah
reklame yang dipasangi spanduk kampanye calon presiden. Ada foto dua
orang yang sangat besar, dengan kualitas editan yang buruk, lalu ada
nomor urut.
Janjinya banyak, mulai dari utara hingga selatan. Kontras
dengan taman Monas di belakang reklame itu, yang segar dan hijau.
Jika
lampu merah menyala, ia akan memainkan Monyetnya kesana-kemari di
trotoar, bersamaan dengan berhentinya motor-motor dan pejalan kaki yang
antre. Mulai dari Monyetnya yang berlagak kehujanan, memegang payung
warna pelangi, berlagak perang menenteng senapan kayu kecil yang dicat
putih, hingga mengenakan rok mini seperti banci. Pawangnya mengendalikan
si Monyet dengan seringai senyum aneh sambil berkata-kata.
Tentu,
ada jalan cerita dan hikayat yang terus dirapalkan sang Pawang. Dulu
ketika kecil, di Depok, aku sering mendengarkan si Pawang itu bercerita
tentang si Monyet, yang kadang dinamai Mumun, Mimin, Maman, Eman, atau
yang lain—yang penting ada imbuhan -man di belakang namanya—berkelana ke
berbagai tempat dan menyamar menjadi beragam tokoh.
Cerita itu
kadang begini bunyinya: Suatu pagi si Mimin ingin belanja ke pasar,
membeli timun, kol, terong, teri dan petai. Maka si Mimin Pergi Ke
Pasaaar (pawang melemparkan keranjang kecil). Pulang dari pasar, si
Mimin kehujanan! (pawang melemparkan payung mini yang segera disambar si
Monyet).
Kata bapak si Monyet, kakeknya dulu adalah pejuang
kemerdekaan. Begini caranya, si Mimin Jadi Pahlawaaan! (melemparkan
senapan kayu kecil).
Si Pawang setengah baya. Berkumis lebat,
menggantung seperti krim diatas kue ulang tahun keponakanku. Hanya, yang
ini warnanya hitam. Hitam, sering berjemur di panasnya Jalan Merdeka.
Ia selalu mengenakan topi koboi putih, kaus lusuh yang kadang putih
kadang hitam, celana setengah betis, dan sandal kulit hitam yang tua dan
hampir lapuk.
Kandang si Monyet kecil sekali. Hanya cukup ia
berjongkok di dalamnya seperti burung nuri yang dikurung. Warnanya hijau
bergaris kuning dan hitam. Sambil makan pepaya atau pisang, ia
menanti-nanti saat pentasnya di panggung bata trotoar Jalan Merdeka yang
panas bila disentuh tanpa alas kaki.
Satu kali, aku terjebak
lampu merah agak lama dan sempat kudengarkan suaranya yang khas seperti
tukang hikayat dari Melayu mendendangkan cerita, diselingi irama gambang
mainan, kendang plastik, dan kadang ketukan kayu di kandang kotak sang
Monyet. Suaranya agak keras, tebal, namun parau.
Karena ia selalu
bercerita dengan senyum lima senti, maka entah kenapa ceritanya selalu
terdengar lebih ceria dari seharusnya. Lebih mampu menonjolkan kesan
jenaka.
“Si Mimin keeehujanaaan!” lalu si Monyet memegang payung yang dilemparkan Pawang.
“Si Mimin kepanasaaaaan!” lalu si Monyet berlagak membuka baju dan minum beer. Kaleng kosong.
“Si
Mimin jadi pahlawaan kemerdekaaaan!” maka si Monyet menyambar senapan
dan mendadak, dengan suaranya yang berat dan parau si Pawang melagukan
Hari Merdeka milik H. Muntahar:
“Tujuh belas Agustus tahun empat
lima! Itulah hari kemerdekaan kita (sambil menatap Monyet, seolah
kemerdekaan ‘kita’ adalah kemerdekaan si Pawang dan si Monyet) hari
merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia! Merdeka!”
Kendang
dan gambang mengiringinya dengan bunyi teratur, namun tak bernada.
Maklum, alatnya sederhana dan tidak di desain untuk mengiringi nyanyian
lagu kemerdekaan.
Sampai sini, nyanyian biasanya berhenti karena
lampu hijau menyala dan ia harus segera mengambil uang yang berserakan.
Percuma diteruskan, takkan ada yang mendengar.
Monyetnya sendiri
biasa saja, warnanya cokelat keunguan, mungkin sejenis dengan spesies
Monyet hutan yang sering juga kutemui jika aku berlibur ke curug-curug
di Puncak sana.
Taringnya panjang, sering dikeluarkan ketika tuannya
menarik rantai di leher, hingga ia meringis.
Kasihan juga, sih.
Sering si Monyet membangkang, misalnya jika aku iseng pulang sebelum jam
empat, hari sangat panas, dan si Monyet dipaksa menari. Ia terlihat
sangat kehausan, dan menatap murung pada sang Pawang yang minum minuman
berenergi warna kuning yang baunya seperti urin.
Ia lantas
guling-gulingan, muka ditutup topeng, dan memegang senapan. Banyak juga
orang yang memberikan uang. Terhibur, sirkus trotoar ini menarik
sebetulnya. Entahlah. Aku sendiri memang suka melihat ini, dari pada
mendengarkan pengamen yang suaranya diakrobatkan seperti Monyet itu
juga, tetapi malah terlihat seperti main-main.
Akan tetapi, tetap
saja. selepas lampu merah Jalan Merdeka itu, aku memikirkan sesuatu.
jika setiap main ada lima orang memberi uang, seribu, dan sehari bisa
main sepuluh kali—taruhlah dia datang siang dan istirahat tengah hari,
dengan durasi sekali main lima menit—maka ia hanya mendapat sekitar
limapuluhribu rupiah.
Itu makanku dua kali. Belum parkirnya. Belum pertamaxnya. Ya, kan?
Masalah si Monyet ini sederhana: ia tak mungkin dipaksa makan nasi.
Dua, ia hanya makan buah. Baik, menurut lawak jam delapan di tivi, ia makan pisang.
Tiga. Yang utama, uang si Pawang tak cukup memberi makan dan minum mereka berdua.
Baiklah.
Minggu datang, dan aku memutuskan bersepeda ke lapangan Monas dengan
harapan bisa menjumpai Monyet dan Pawangnya. Aku ingin menontonnya
sekali lagi dengan santai, dan bila perlu, menghilangkan penasaranku
dengan mengobrol.
Benar saja. ia sedang memainkan Monyetnya
dengan riang, dan seperti biasa, dengan gaya hikayat, sampai pada bagian
menyanyikan Hari Merdeka dan lampu hijau yang muncul seenaknya. Padahal
ini hari khusus, dimana mobil dilarang melintas pada hari minggu.
“Dari pagi, pak?” basa-basi, biasa.
“Iya, ini lagi ramai...” mungkin si Pawang ini berpikiran, aku seperti intel.
“Monyetnya bagus.. (sumpah, aku bingung mau bilang apa sebagai pengantar) sehari bisa dapat berapa pak?”
“ya... lumayan, gocap. Nutup makan, lah...”
“Rumah dimana, pak?” aku seperti orang penasaran yang sok akrab, ya?
Selanjutnya,
benar dugaanku. Uangnya ini tak cukup menghidupinya sehari-hari. Dulu,
ketika aku bekerja di BPS, aku mendapat lelucon tentang orang Indonesia.
Pengeluarannya, lumrah dua kali lipat dari penghasilannya. Dan untuk
memenuhi kebutuhan, mereka menggunakan cara-cara yang mustahil namun
masuk akal.
Hari itu, dia menolak membeberkan rahasianya,
darimana ia memenuhi pisang monyetnya, kontrakannya, sepatunya yang
baru, dan sedekah bulanan. Namun ia merasa aku seperti sahabatnya dan
menjadi kenalan untukku.
Minggu ini adalah musim kampanye
terbuka. Banyak janji-janji mewarnai televisi. Pidato mendadak marak
ditampilkan, dengan gaya ala-ala Pak Karno.
“Rakyat masih miskin....”
“Pengangguran melimpah...”
“Reformasi gagal....”
“Hanya jika saya terpilih....” sambung calon terakhir.
Ngomong-ngomong, keponakanku yang TK masih cadel. Jika ia melihat kampanye di televisi ia sontak bernyanyi:
“Langit kecil... di bintang yang biru, amat banyak... menghias angkasa....”
Lalu
mengajakku melihat topeng Monyet. Padahal, sulit mencari topeng Monyet
di sekitar kediamanku sekarang ini. Ah, aku jadi teringat kembali dengan
Pawang dan Monyetnya.
Ketika akhirnya hari pemilihan tiba,
diadakan penghitungan cepat dan aku tak terlalu peduli siapa yang
menang. Pikiranku masih melayang-layang pada Pawang dan monyetnya yang
misterius, memainkan atraksinya di bawah reklame calon presiden nomor
sekian. Semakin misterius. Zaman sekarang, mana ada orang hidup dengan
uang yang kurang, coba? Sejujur apapun dia, pasti ada main.
Akhirnya,
minggu itu kuputuskan memaksaanya bercerita. Memang sangat sulit.
Bahkan aku tak terlalu peduli siapa namanya. Aku hanya penasaran. Si
Monyet yang tak kurus-kurus amat itu—sebagai tanda
kemelaratan—memandangiku jelalatan, mencari makanan. Persis seperti
laki-laki memandangi perempuan.
Si Pawang akhirnya hanya memberi
petunjuk sederhana, nanti malam, dia akan pindah ke seberang jalan,
tepat di depan istana. Aneh memang. Kalau malam-malam ‘kan istana tutup,
persis seperti toko. Sepi pula. Buat apa ia pindah kesana? Padahal
kalau malam, Monas yang ramai.
****
Baik. Kuturuti
petunjuknya. Malam itu, dengan berkendara motor dan mengendap-endap dari
rumah, aku pergi ke Monas. Jam sembilan malam, tepat ketika anak muda
yang besok masuk
pagi sekolahnya bersiap pulang dari lapangan
Monas. Jalanan lebar jadi lengang. Jakarta Pusat malam-malam begini
malah sepi, beda dengan Depok atau Jak-sel dan Jak-tim.
Motor
sudah kuparkir, aku menuju tepat ke depan istana merdeka. Benar,
kutemukan dia di depan pagar istana. Hanya dia dan monyetnya. Berdua.
Heran, kenapa dia seperti berlagak mengikuti monyetnya, ya?
Akan
tetapi, setelah aku mendekat, alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati
rantai si Monyet kecil yang biasa melekat di leher Monyet, kini
tergelang di leher sang Pawang, dan sang Pawang menari-nari layaknya
Monyet kecil di siang hari.
Berlembar-lembar brosur kebijakan
pemerintah masuk ke kantong bekas permen lusuh tempat ia mengumpulkan
receh, dan si Monyet dengan tangkas memainkan gambang dan kendang sambil
sesekali melemparkan payung, baju, boneka, apapun yang menjadi alat
peraga hikayat Monyetnya.
Tepat di gerbang istana, si Pawang,
yang adalah manusia, dipermainkan Monyet kecil dan berlembar-lembar
brosur, cek kosong, proposal, serta koran bekas tentang masa pemilihan
umum dilontarkan dari dalam istana, namun si Pawang melihatnya, persis
dengan tatapan manusia diluaran sana yang melihat uang ditaburkan
sekenanya!
Siapa yang melontarkan barang-barang itu? Apa pula maksudnya ini? Istana masih sepi, sepi sekali!
Si
Monyet memunguti brosur, majalah, pamplet, dan koran bekas itu persis
seperti pada siang hari ketika ia memunguti uang yang dilemparkan
penontonnya.
Aku mengepalkan tangan untuk meyakinkan bahwa ini
kenyataan, dan semakin terpana ketika si Monyet betul-betul bersuara
berat, parau, dan bicara seperti manusia. tepat pada hikayat, ketika si
Mimin diharuskan menenteng senjata kayu kecil seperti senapan, dan
Pawang biasa menyanyikan hari merdeka milik H. Mutahar dengan suara
parau dan senyum lima senti, si Monyet bernyanyi dengan seringai senang
menerima brosur dan koran bekas kampanye itu:
“S’kali merdeka
tetap merdekaa! Selama hayat masih di kandung badaaan! Kita tetap setia,
tetap sedia, mempertahankan Indonesia, kita tetap sedia, tetap setia,
membela negara k-i-t-aaaaaaaaaa!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar