Aduh,
Kota ini....
Melamun. Saya tiba-tiba
jadi ingat kabar murid-murid saya, di sekolah terbuka. Mereka berasal dari
kalangan-kalangan ini:
Kurang mampu, tapi
telepon genggamnya mengalahkan saya. Layar sentuh, dan jenis-jenis lain yang
bikin ngeri. Takut salah pencet, nanti error sistem operasinya. Telepon genggam
saya saja Cuma telepon curut yang tidak rusak meski terbanting berkali-kali...
(tahulah apa mereknya).
Kurang gizi, tapi uang
jajannya dihabiskan untuk main ke warnet. Maklum, mereka mengalami kekerasan
rumah tangga. Jadi, mereka mencari pengalihan dengan main ke warnet, game
online. Yah... mereka suka melihat grafis tembak-tembakan dan orang terbunuh
karena bidikan mereka. Game apa ya itu?
Cerdas, tapi akalnya
mundur sebab merokok, makanan tak sehat, dan terpapar polusi setiap hari. Ini
menyebabkan mereka cenderung sakit dengan alasan yang tidak jelas dan mengalami
penyakit yang wajarnya diderita orang usia tua.
Korban televisi. Ya,
tontonan mereka adalah sinetron konyol yang mempertontonkan adegan guru pandir,
dengan wajah dungu. Mengajar dengan galak. Adegan selanjutnya adalah si murid
yang menggunjing dengan suara keras, tetapi si guru tidak mendengar (Ehm.
Maksudnya, dipaksa beradegan tidak mendengar, maklum... determinasi tokoh
sengaja dibuat untuk memuaskan penonton). Jadilah, si murid di kelas
meniru-niru tayangan itu.
Dewasa sebelum
waktunya. Ya. Lingkungan tempat mereka hidup, juga membuat etika mereka sangat
anak-anak, tetapi menuntut diperlakukan secara dewasa. Ini adalah fitrah, namun
lingkungan miskin membuat mereka sering bertemu dengan orang-orang malas, para
pengeluh, dan para pencaci. Ini mereka bawa kedalam kelas, dan bayangkan apa
yang terjadi.
Hmmm...
Mengubah mental. Itu
target awal saya. Bayangkan, di awal pelajaran, terjadi percakapan ini:
Amar: ya! Tadi sudah
jelas. Sekarang, silakan siapa mau maju, untuk membacakan di depan!
Murid-murid: (hening)
Amar: tak ada yang mau?
Murid-murid: (sikap
berdoa)
Amar: yah.. saya tunjuk
saja ya?
Murid-murid: (sikap
memelas agar jangan ditunjuk)
Amar: ya, kamu!
(menunjuk murid paling depan kanan)
Murid: (ekspresi habis
menonton The Conjuring) nggak mau
kak....
Amar: (terpana,
introspeksi ada dosa apa) lho, kenapa?
Murid: takut kak....
Amar: (dalam hati: Tuh kan bener...) wah, kenapa?
Murid: takut nggak bisa...
Ya. Akhir adegan
terpana tadi, adalah si murid bercerita secara pribadi. Di SD, dia akan
dihardik dan dipukul bila tak bisa menyelesaikan soal yang dibuat gurunya. Ah;
inikah cara mengajar orang-orang?
Hmmm....
Untuk menangani masalah
ini, saya punya ide yang waktu itu dianggap gila oleh rekan-rekan mengajar yang
lain. Ya, saya menjadi standup comedian,
hehehehe. Itu sebabnya saya tampil kocak setiap kesempatan. Dengan cara ini,
saya pikir murid-murid akan menghilangkan jarak dengan saya. Lagi pula, standup comedy menuntut kita berkomedi
cerdas, tanpa slapstick, menghina,
dan mencemooh.
Hasilnya, lumayan.
Mereka mau tertawa bersama dengan saya. Asal tahu saja, berdasarkan pengalaman
saya, adegan murid dan guru bisa cengengesan bersama tanpa jarak adalah hal
yang paling ditunggu. Mereka adalah korban kekerasan rumah tangga dan bullying dari lingkungan. Jangan diberi
tampang sangar lagi. Nanti mereka kapok sekolah.
Masalah lain yang kerap muncul, misalnya mereka malas
mengerjakan tugas. Setelah saya selidiki, ini karena mereka ada di lingkungan
yang tidak terpelajar. Bayangkan rasanya, anda berumur 11 tahun dan harus
mengerjakan PR sementara ayah anda ngobrol dengan teman judinya, ibu anda
menonton sinetron, dan kakak anda sms-an
dengan pacarnya?
Saya coba metode lain. Semua tugas, harus dikerjakan di
depan saya, selama apapun itu. jadilah, mereka membuat cerpen berjam-jam di
depan saya. Menulis di depan saya. Resikonya, anak itu harus ditunggu sampai
dia benar-benar menulis. Ya. Sampai dia benar-benar menulis. Setiap anak. Tanpa
kecuali.
Kebanyakan guru hanya sekilas memastikan siapa yang mengerjakan tugas.
Kedekatan saya dengan metode komedi, membuat anak tak merasa takut dan
menganggap perintah saya demi kebaikan mereka. Setiap minggu rata-rata mereka
menulis hingga 8 halaman, di hadapan saya. Ini demi pembiasaan.
Pada suatu hari, materi
saya tentang puisi. Keisengan saya lagi-lagi timbul. Mereka tak pernah melihat
puisi (ingat, diksinya melihat, bukan membaca. Ini secara harfiyah mereka
memang tak pernah membaca puisi). Lks dan buku paket mereka tak layak guna.
Bayangkan, buku untuk kelas 2 SMP diisi puisi dari anak kelas 2 SD dari majalah
Bobo. Saya geram.
Puisi dan karya sastra
lainnya harus mampu menjawab masalah perkembangan mental anak. Penerbit dan
penulis jangan pura-pura tidak tahu bahwa anak usia SMP sudah mulai bicara
hubungan antar manusia dan mulai mencari-cari sosok Tuhan, mbok ya jangan dikasih puisi tentang menyiram kembang....
Saya bangkitkan rasa
penasaran mereka dengan bercerita tentang Wiji Tukul yang hilang, Rendra si
Burung Merak, dan Afrizal Malna. Tentu, dengan iringan musik. Pada pertemuan
selanjutnya, mereka saya tugaskan mencari puisi dari nama-nama yang asing buat
guru reguler (yakin saya! Guru-guru reguler tak kenal dengan Gus Mus, Wijhi,
atau Acep).
Pada pertemuan selanjutnya, mereka saya kejutkan dengan
riasan kelas yang seperti teater. Ya, kali itu saya membaca puisi. Taruhan!
Berapa banyak diantara anda membacakan puisi dengan serius di depan murid anda?
Jujur saja, mereka mengaku tak pernah melihat guru mereka membaca puisi. Sejak
itu mereka tak malu-malu lagi membaca puisi di depan kelas.
Masalah selanjutnya
yang harus saya pecahkan (kok muridnya mas Amar masalah melulu isinya?) akses
terhadap buku bacaan. Saya harus relakan
uang sendiri untuk memberikan buku pada mereka. Kota saya memang blangsak.
Berani-beraninya mengklaim kota layak anak (artikel ini dibaca aparat atau
tidak ya, heheheh) padahal akses perpustakaan sulit, publikasi tak ada, dan
aparat kotanya bejat. Ada untungnya juga saya bisa menyusup ke forum-forum
pemerintah. Tahu borok dan koreng kota saya.
Ya, masalah tak ada
pengalaman membaca, Cuma bisa saya selesaikan dengan merogoh uang sendiri...
Sebenarnya, paling
miris mengetahui fakta bahwa Depok berbatasan dengan Jakarta, bahwa Depok
dipimpin mantan ketua umum partai besar, bahwa walikotanya mantan menteri, dan
seterusnya. Entah kenapa. Ada banyak program-program bagus, tapi—saya bersaksi
sebagai saksi yang melihat dan mendengar—dimainkan oleh orang-orang paling
miskin di kota Depok. Siapa mereka?
Orang yang paling
miskin itu, pejabat-pejabat yang suka main proyek dan suka dihormati orang.
Orang-orang itu calo-calo proyek dan penjilat DPRD. Orang-orang partai yang tak
peduli apapun selain citra. Saya saksinya. Mereka tak peduli siapa-siapa selain
diri mereka sendiri, apapun partai dan titelnya.Masalahnya, proyek yang
dimainkan itu yang langsung bersentuhan dengan pendidikan. Sumbangan belajar.
Itu sedikit pengalaman
saya mengajar di sekolah terbuka, Kota Depok. Hmm, kok jadi curhat ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar