Selasa, 03 September 2013

Aduh, Kota ini....

Aduh, Kota ini....
Melamun. Saya tiba-tiba jadi ingat kabar murid-murid saya, di sekolah terbuka. Mereka berasal dari kalangan-kalangan ini:

Kurang mampu, tapi telepon genggamnya mengalahkan saya. Layar sentuh, dan jenis-jenis lain yang bikin ngeri. Takut salah pencet, nanti error sistem operasinya. Telepon genggam saya saja Cuma telepon curut yang tidak rusak meski terbanting berkali-kali... (tahulah apa mereknya).

Kurang gizi, tapi uang jajannya dihabiskan untuk main ke warnet. Maklum, mereka mengalami kekerasan rumah tangga. Jadi, mereka mencari pengalihan dengan main ke warnet, game online. Yah... mereka suka melihat grafis tembak-tembakan dan orang terbunuh karena bidikan mereka. Game apa ya itu?

Cerdas, tapi akalnya mundur sebab merokok, makanan tak sehat, dan terpapar polusi setiap hari. Ini menyebabkan mereka cenderung sakit dengan alasan yang tidak jelas dan mengalami penyakit yang wajarnya diderita orang usia tua.

Korban televisi. Ya, tontonan mereka adalah sinetron konyol yang mempertontonkan adegan guru pandir, dengan wajah dungu. Mengajar dengan galak. Adegan selanjutnya adalah si murid yang menggunjing dengan suara keras, tetapi si guru tidak mendengar (Ehm. Maksudnya, dipaksa beradegan tidak mendengar, maklum... determinasi tokoh sengaja dibuat untuk memuaskan penonton). Jadilah, si murid di kelas meniru-niru tayangan itu.

Dewasa sebelum waktunya. Ya. Lingkungan tempat mereka hidup, juga membuat etika mereka sangat anak-anak, tetapi menuntut diperlakukan secara dewasa. Ini adalah fitrah, namun lingkungan miskin membuat mereka sering bertemu dengan orang-orang malas, para pengeluh, dan para pencaci. Ini mereka bawa kedalam kelas, dan bayangkan apa yang terjadi.

Hmmm...

Mengubah mental. Itu target awal saya. Bayangkan, di awal pelajaran, terjadi percakapan ini:

Amar: ya! Tadi sudah jelas. Sekarang, silakan siapa mau maju, untuk membacakan di depan!

Murid-murid: (hening)

Amar: tak ada yang mau?

Murid-murid: (sikap berdoa)

Amar: yah.. saya tunjuk saja ya?

Murid-murid: (sikap memelas agar jangan ditunjuk)

Amar: ya, kamu! (menunjuk murid paling depan kanan)

Murid: (ekspresi habis menonton The Conjuring) nggak mau kak....

Amar: (terpana, introspeksi ada dosa apa) lho, kenapa?

Murid: takut kak....

Amar: (dalam hati: Tuh kan bener...) wah, kenapa?

Murid: takut nggak bisa...

Ya. Akhir adegan terpana tadi, adalah si murid bercerita secara pribadi. Di SD, dia akan dihardik dan dipukul bila tak bisa menyelesaikan soal yang dibuat gurunya. Ah; inikah cara mengajar orang-orang?

Hmmm....

Untuk menangani masalah ini, saya punya ide yang waktu itu dianggap gila oleh rekan-rekan mengajar yang lain. Ya, saya menjadi standup comedian, hehehehe. Itu sebabnya saya tampil kocak setiap kesempatan. Dengan cara ini, saya pikir murid-murid akan menghilangkan jarak dengan saya. Lagi pula, standup comedy menuntut kita berkomedi cerdas, tanpa slapstick, menghina, dan mencemooh.

Hasilnya, lumayan. Mereka mau tertawa bersama dengan saya. Asal tahu saja, berdasarkan pengalaman saya, adegan murid dan guru bisa cengengesan bersama tanpa jarak adalah hal yang paling ditunggu. Mereka adalah korban kekerasan rumah tangga dan bullying dari lingkungan. Jangan diberi tampang sangar lagi. Nanti mereka kapok sekolah.

Masalah lain yang kerap muncul, misalnya mereka malas mengerjakan tugas. Setelah saya selidiki, ini karena mereka ada di lingkungan yang tidak terpelajar. Bayangkan rasanya, anda berumur 11 tahun dan harus mengerjakan PR sementara ayah anda ngobrol dengan teman judinya, ibu anda menonton sinetron, dan kakak anda sms-an dengan pacarnya?

Saya coba metode lain. Semua tugas, harus dikerjakan di depan saya, selama apapun itu. jadilah, mereka membuat cerpen berjam-jam di depan saya. Menulis di depan saya. Resikonya, anak itu harus ditunggu sampai dia benar-benar menulis. Ya. Sampai dia benar-benar menulis. Setiap anak. Tanpa kecuali. 

Kebanyakan guru hanya sekilas memastikan siapa yang mengerjakan tugas. Kedekatan saya dengan metode komedi, membuat anak tak merasa takut dan menganggap perintah saya demi kebaikan mereka. Setiap minggu rata-rata mereka menulis hingga 8 halaman, di hadapan saya. Ini demi pembiasaan.

Pada suatu hari, materi saya tentang puisi. Keisengan saya lagi-lagi timbul. Mereka tak pernah melihat puisi (ingat, diksinya melihat, bukan membaca. Ini secara harfiyah mereka memang tak pernah membaca puisi). Lks dan buku paket mereka tak layak guna. Bayangkan, buku untuk kelas 2 SMP diisi puisi dari anak kelas 2 SD dari majalah Bobo. Saya geram.

Puisi dan karya sastra lainnya harus mampu menjawab masalah perkembangan mental anak. Penerbit dan penulis jangan pura-pura tidak tahu bahwa anak usia SMP sudah mulai bicara hubungan antar manusia dan mulai mencari-cari sosok Tuhan, mbok ya jangan dikasih puisi tentang menyiram kembang....

Saya bangkitkan rasa penasaran mereka dengan bercerita tentang Wiji Tukul yang hilang, Rendra si Burung Merak, dan Afrizal Malna. Tentu, dengan iringan musik. Pada pertemuan selanjutnya, mereka saya tugaskan mencari puisi dari nama-nama yang asing buat guru reguler (yakin saya! Guru-guru reguler tak kenal dengan Gus Mus, Wijhi, atau Acep).

Pada pertemuan selanjutnya, mereka saya kejutkan dengan riasan kelas yang seperti teater. Ya, kali itu saya membaca puisi. Taruhan! Berapa banyak diantara anda membacakan puisi dengan serius di depan murid anda? Jujur saja, mereka mengaku tak pernah melihat guru mereka membaca puisi. Sejak itu mereka tak malu-malu lagi membaca puisi di depan kelas.

Masalah selanjutnya yang harus saya pecahkan (kok muridnya mas Amar masalah melulu isinya?) akses terhadap buku bacaan.  Saya harus relakan uang sendiri untuk memberikan buku pada mereka. Kota saya memang blangsak. Berani-beraninya mengklaim kota layak anak (artikel ini dibaca aparat atau tidak ya, heheheh) padahal akses perpustakaan sulit, publikasi tak ada, dan aparat kotanya bejat. Ada untungnya juga saya bisa menyusup ke forum-forum pemerintah. Tahu borok dan koreng kota saya.

Ya, masalah tak ada pengalaman membaca, Cuma bisa saya selesaikan dengan merogoh uang sendiri...

Sebenarnya, paling miris mengetahui fakta bahwa Depok berbatasan dengan Jakarta, bahwa Depok dipimpin mantan ketua umum partai besar, bahwa walikotanya mantan menteri, dan seterusnya. Entah kenapa. Ada banyak program-program bagus, tapi—saya bersaksi sebagai saksi yang melihat dan mendengar—dimainkan oleh orang-orang paling miskin di kota Depok. Siapa mereka?

Orang yang paling miskin itu, pejabat-pejabat yang suka main proyek dan suka dihormati orang. Orang-orang itu calo-calo proyek dan penjilat DPRD. Orang-orang partai yang tak peduli apapun selain citra. Saya saksinya. Mereka tak peduli siapa-siapa selain diri mereka sendiri, apapun partai dan titelnya.Masalahnya, proyek yang dimainkan itu yang langsung bersentuhan dengan pendidikan. Sumbangan belajar.


Itu sedikit pengalaman saya mengajar di sekolah terbuka, Kota Depok. Hmm, kok jadi curhat ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar