Jumat, 03 Agustus 2012

Di Antara


Ini hari terakhir pertemuan panjang, yang berlangsung di Aula BAPELKES Kota Bengkulu. Banyak teman yang aku dapatkan disini, baik yang satu pulau maupun seberang lautan.

Mereka lucu, hangat, tak seperti teman-teman yang ada di Facebook, aku tak tahu wajah mereka. Aku suka menjelajahi beragam kelompok, dan menemui banyak aliran. Juga tidak seperti teman di masa lalu, yang datar dan kering.

Ada Adang, yang berasal dari Bogor. Logat sundanya sangat kental, dan ekspresinya akan membuat kita tertawa jika ia melihat wanita cantik. Aku juga kenal Hamid, dari Gorontalo. Ia selalu mengucapkan Medan dan Banten terbalik, dengan Medan yang teleng dan Banten yang pepet pada huruf e. “Bantén!”

Malam itu, berlangsung malam keakraban nasional, dengan api unggun di tengah taman. Semua kontingen melepas seragam, dan mengenakan kaos pertanda pembauran. Putih, gabungan segala warna. Putih juga berarti inti segala warna.

Api menyala terang, kehangatan ini membawa kami pada riang dan tawa, setelah perdebatan dalam rapat yang panjang.

Wajah-wajah lelah berjajar namun dirias tawa dan nyala api membuat bayangan kuning lembut di pipi dan rambut. Rerumputan kering, nyaman untuk diduduki.

“Teman....” Hembusku dalam lirih.
****


Aku sungguh kesepian. Di Jakarta, aku menemui udara panas. Memang banyak yang hangat, tetapi tersamar angin yang terhangatkan asap. Kemacetan membuat aku dan yang lain lelah untuk tersenyum. Kami tak sempat saling sapa, menanyakan kabar, dan tertawa.

Banyak teman di dunia maya, namun aku tak dapat melihat senyum yang tulus. Tertutup layar. Tersaput debu. Terbatasi kata-kata. “Senyum” terlalu panjang dituliskan, terlalu lama didengarkan.

Satu ketika,  disebuah kelompok pertemanan jejaring, aku ditegur seorang teman,
           
“Kamu pasti Hizbut Tahrir! Fotomu Palestina terus!” Ia mengaitkan HT dengan aktifis lokal pro-Palestina.

“Kenapa engkau berpendapat seperti itu, saudaraku?” Kataku dalam ketikan, menahan sesuatu.

“Saya kenal betul HT! Tujuh tahun saya bertetangga dengan orang HT, yang dibicarakan hanya Palestina, antidemokrasi, dan khilafah!” Aku tak tahu perubahan wajahnya. Tulisan tak pernah menggambarkan kehalusan tangan yang menulisnya dengan sempurna.

“Apakah dengan demikian saya bukan saudaramu?” Aku menawarkan suasana. Belum ada komentar dari yang lain, yang aku anggap saudara. Aku bukan HT, namun aku tak menolak organisasi itu.

Pada sebuah status, yang secara spontan diluar grup itu, aku menyindirnya. Dia memang belum berteman dengan aku, tetapi aku sudah menganggapnya saudara. Setiap mukmin itu bersaudara!

“Saudara tersayang, bukankah syahadat kita sama?” Aku biasa memanggil “Sayang” atau “Saudara” pada teman dekat soal keislaman.

Percakapan terus berlanjut kering, panas. Menggambarkan keriuhan dan ketidaksukaan. Embun yang senantiasa terselip dalam susunan kalimat antar saudara satu agama, satu guru, mengering tersengat panas matahari yang tersisip tanpa sengaja dalam hati.

“Sudahlah! Jangan mengelak! Dari foto profilmu aku tahu engkau HT! Kafir bughat, yang menentang pemerintah!”

Aku mengikuti perkembangan Palestina setiap hari. Sungguh! Bukan karena aku benci Yahudi. Bukankah Tuhan kami sama? Aku tak memiliki kemampuan menyiksa. Tuhan yang berhak. Aku hanya dapat memperkirakan surga atau neraka, tetapi tetap Tuhan yang menentukan.

Aku tidak benci Yahudi, tetapi aku cinta Palestina.  Itupun karena, aku mengenal salah seorang dari mereka. Esraa Saqer. Gadis cantik, berkulit gelap, mancung. Alisnya tebal, namun matanya sayu dan lebar. Garis pelangi matanya menyiratkan perang yang tak henti.

Kami pernah mengobrol dalam bahasa inggris, dan ia minta didoakan agar anak muridnya sehat. Dia seorang guru bagi pengungsi di perbatasan Jordania dan Tepi Barat, kerajinan tangan dan bahasa Inggris.

“Kamu tidak minta kemerdekaan negerimu?” Tegurku, suatu saat.

“Kami sudah merdeka!”

Oleh karena dia, aku berteman dengan wartawan italia yang bekerja di Palestina, Vittoria. Ia memberi kabar langsung dan foto-foto ekslusif yang tidak dipajang di media massa.

Hari “perayaan” kemerdekaan palestina tiba, dan ia mengabarkan festival besar, ribuan orang yang tersisa. Anak-anak yang tersisa, gadis dan pemuda yang tersisa, turun ke lapangan di Gaza dan Jerussalem. Membawa bendera, putih. Hijau. Hitam. Merah.

Yang mengesankan, semuanya tertawa dan tersenyum, tak ada yang menangis. Dalam foto yang ia berikan kepadaku, tergambar seorang anak yang digendong ayahnya, dan tertawa, sambil di sebelahnya ada yang mengibarkan tinggi-tinggi bendera baru dan masih baik.

Ini kujadikan foto pengenal Facebook, dan banyak yang menyangka aku aktifis, pengamat, bahkan ada juga yang menyangka aku anak rohis yang didoktrin mentornya.
Aku mencintai Palestina karena ada manusia di sana. Bukan karena benderanya. Bukan juga karena Jerussalem. Tuhan tidak pernah menyuruh kita mencintai Makkah, bukan? Tetapi mencintai penduduk Makkah dan mereka yang shalat di Haram bersama-sama.

Aku mencintai prinsip Esraa, karena dia berjuang dengan mengajar anak-anak pengungsi di Jordania, padahal dia seusia aku. Sangat belia. Orang tuanya tetap berjaga di Ramallah, kedua kakaknya entah dimana, namun terakhir terdengar di Jerussalem.

“Tentara Israel tidak mencarimu?” Aku penasaran.

“Kenapa harus mencariku?” Kata-katanya menyiratkan ketenangan. Dalam.

“Bukankah kamu orang Palestina?” Desakku.

“Israel tidak mencari kami, tetapi mencari tanah kami. Tanah yang tejanji buat mereka. Mereka tidak haus darah kami, tetapi mencari tanah buat rumah” Aku terpana, aku salah sangka kepada Israel selama ini.

Orang yang menuduh HT tadi tetap berkeras, aku meninggalkan percakapan.

“Saudaraku, kenapa syahadatmu tertuju kepadaku? Bukankah syahadat kita sama?” Aku mencoba membuka pemahamannya, namun gagal.

“Saudara....” Kata-kataku menguap bersama udara panas yang senantiasa mengelilingi kami.

****

Api unggun semakin besar, menghangatkan malam yang indah dan panjang. Ada halo, lingkaran pelangi yang mengelilingi bulan karena embun membiaskan cahaya halusnya. Sejuk. Tidak akan tercipta kemarahan. Pemandu acara juga dengan ceria menanyakan kabar kami satu persatu.

Rafian, yang diangkat sebagai wakil pemimpin organisasi bidang keuangan, terpergok baru pulang bersama gadis berjaket merah, salah seorang panitia. Wah! Kami semua tergelak dan tertawa, dengan muka merah ia menjelaskan, tetapi kami tetap tertawa.

Pikiranku melayang kepada alamat jejaring  bernama Fahmi,  juga seperti Rafian, sempat pergi namun kembali membawa kejutan.

Di grup pertemanan lain, akun-akun lintas agama membuat misi untuk berdamai. Namun, dengan disusupi akun yang menghendaki permusuhan atau perpindahan agama dengan kerusuhan, alamat itu berubah menjadi promosi agama.

Agama yang dijual seperti obat batuk, berkhasiat macam-macam, dan saling menjelekkan. Yang ini tidak menyebabkan kantuk, yang lain menyebabkan kantuk menahun. Yang ini rasa jeruk, yang lain rasa obat. Nah!

“Aku tidak percaya Tuhan lagi, jadi maaf, mau kamu tawarkan agama macam-macam, agama saya sekarang itu ya “Tanpa Agama”, jadi jangan paksa” dia tadinya debater, dan banyak orang Hindu serta Katolik yang ia ajak berdialog, bahkan berdebat.

“Anak ini kenapa sih?” Joseph, seorang katolik berkomentar di kirimannya. Memang, kami memiliki mengelompokkan sebutan berdasarkan umur. Jadi, seperti keluarga besar.

“Ampun, baru kemarin dia berjuang buat agamanya!” Paradev, menyela dan berkomentar keheranan.

Rupanya, ia terkena masalah, ada sesuatu dengan keluarga nyatanya. Seperti lilin-lilin kecil yang mati, kami semua-lintas agama-tersulut hangat pagi. Menyala kecil-kecil, namun jadi satu, menerangi kedalaman malam hingga mampu melihat sekeliling.

Justru, kami semua mengarahkan pemahamannya kepada keberadaan Tuhan. Dan yang mengherankan, baik hindu, kristen, budha, islam, semuanya satu pendapat: Kita mau tidak mau dibawah kepemilikan Tuhan. Mungkin, Tuhan yang dikenal Fahmi sebelumnya salah, Tuhan yang hanya bisa menyiksa.

Ia tidak kenal Tuhan yang penyayang. Padahal Tuhan itu penyayang, mungkin ia hanya diberi gambaran neraka, tanpa diberi gambaran surga.

Ia akhirnya mengerti. Kami senang, dan esoknya kembali diskusi dan debat seperti biasa. Inilah saudara, dan kami sama-sama manusia. Saudara, yang menyatu lintas agama, hingga kami lupa, kami tak pernah melihat satu sama lain, namun seperti keluarga yang sama-sama mencari Tuhan.

“Keluarga....” Semoga kami menemukan Tuhan yang sempurna.

****

Sebelum api unggun diadakan, kami berkunjung ke Pusat oleh-oleh Bengkulu. Macam-macam dijual. Yang banyak aku beli gantungan kunci dari kulit kayu, namun disusun menyerupai bunga Raflesia, lambang kota Bengkulu. Kata salah satu panitia, harusnyakami ke hutan wisata bunga ini, namun sedang tidak musim.

Aku memang sedang kurang enak badan, rapat berlangsung dengan sangat lama. Debat. Membuat dehidrasi. Aku membeli tiga botol teh dan memegangnya, tanpa pembungkus, karena tak disediakan plastik.

Mendadak, seorang gadis cantik, berjilbab hijau muda, duduk di sebelahku karena bangku lain memang sudah penuh. Mungkin karena aku menjadi salah satu pimpinan dalam jajak pendapat, ia tak lagi segan. Seperti sudah kenal, padahal aku tidak kenal dia. Aku hanya tahu dia delegasi Semarang.

“Boleh minta air tidak? Aku sangat haus” Kata-katanya tersusun lembut, ia tampak lesu dan agak pucat memang.

Kami melanjutkan perbincangan, yang awalnya untuk membunuh waktu, tetapi malah ia mengalihkan pada yang tak kusangka.

“Kamu kok bisa menyanggah pendapat dengan kuat, ya? Suka baca buku ya?” Aku terkejut.

“Iya, memang, tetapi aku tak seberapa dibanding mereka,” Mukaku mungkin merah, tetapi ia tersenyum halus.

“Suka buku apa?”

“Jujur, mungkin kamu tak tahu. Aku suka buku karangan Mutahhari, Manusia dan Agama. Juga Sayyid, Milestone” Aku benar-benar mengira dia gadis yang pintar, namun tak suka baca buku yang itu.

“Lho, Mutahhari? Wah, kamu mau tahu sesuatu?”

“Memang kenapa?” Aku heran, wajah cantiknya seakan menyimpan sesuatu dari balik tirai.

“Aku keponakan Kang Jalal” Mataku hampir minta liburan keluar, dan jantungku sudah menulis surat cuti. Jalaluddin Rahmat?

“Ulama besar Syi’ah asal Indonesia? Wah....”

****

Malam ini hari terakhir kami berkumpul, sebab setelah malam keakraban aku pulang dengan pesawat. Dia juga, pulang ke Semarang.

Sesi bersalaman, sesi terakhir yang dilakukan sebelum bubar, membuat barisan melingkar dan aku akhirnya sampai ke barisannya. “Syafa, malam ini aku pulang” kataku menahan haru. Dia menyisipkan matanya kedalam mataku lekat-lekat.

“Iya, sayang sekali, kita belum bicara banyak,” Ia menjawab juga dengan haru, namun masih sempat tersenyum indah.

Tanpa sengaja, aku mengangkat tangannya, yang tanpa sadar masih aku jemba sedari tadi hingga barisan terhenti dan semua penglihatan pasti menuju kami. Waktu berhenti. Tak lagi terdengar dentang.

“Kita harus bertemu lagi, meskipun entah kapan, ya?” Ia berkata lambat, barisan-entah kenapa-tidak protes dan justru semakin mendekatkan diri pada kami.

Aku meletakkan tangannya yang halus di dada kiriku, ia dapat merasakan detak jantungku, dan aku dapat merasakan tangannya makin erat. Hangat.

Hei! Ia Keponakan Jalal! Ulama yang dikecam sesat oleh banyak orang, dan membuat geger kalangan ulama. Lantas bagaimana?

“Kita memang harus bertemu lagi...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar