Ini hari
terakhir pertemuan panjang, yang berlangsung di Aula BAPELKES Kota Bengkulu.
Banyak teman yang aku dapatkan disini, baik yang satu pulau maupun seberang
lautan.
Mereka lucu,
hangat, tak seperti teman-teman yang ada di Facebook, aku tak tahu wajah
mereka. Aku suka menjelajahi beragam kelompok, dan menemui banyak aliran. Juga
tidak seperti teman di masa lalu, yang datar dan kering.
Ada Adang, yang
berasal dari Bogor. Logat sundanya sangat kental, dan ekspresinya akan membuat
kita tertawa jika ia melihat wanita cantik. Aku juga kenal Hamid, dari
Gorontalo. Ia selalu mengucapkan Medan dan Banten terbalik, dengan Medan yang
teleng dan Banten yang pepet pada huruf e. “Bantén!”
Malam itu,
berlangsung malam keakraban nasional, dengan api unggun di tengah taman. Semua
kontingen melepas seragam, dan mengenakan kaos pertanda pembauran. Putih, gabungan
segala warna. Putih juga berarti inti segala warna.
Api menyala
terang, kehangatan ini membawa kami pada riang dan tawa, setelah perdebatan
dalam rapat yang panjang.
Wajah-wajah
lelah berjajar namun dirias tawa dan nyala api membuat bayangan kuning lembut
di pipi dan rambut. Rerumputan kering, nyaman untuk diduduki.
“Teman....” Hembusku
dalam lirih.
****
Aku sungguh
kesepian. Di Jakarta, aku menemui udara panas. Memang banyak yang hangat,
tetapi tersamar angin yang terhangatkan asap. Kemacetan membuat aku dan yang
lain lelah untuk tersenyum. Kami tak sempat saling sapa, menanyakan kabar, dan
tertawa.
Banyak teman di
dunia maya, namun aku tak dapat melihat senyum yang tulus. Tertutup layar. Tersaput
debu. Terbatasi kata-kata. “Senyum” terlalu panjang dituliskan, terlalu lama
didengarkan.
Satu
ketika, disebuah kelompok pertemanan
jejaring, aku ditegur seorang teman,
“Kamu pasti
Hizbut Tahrir! Fotomu Palestina terus!” Ia mengaitkan HT dengan aktifis lokal
pro-Palestina.
“Kenapa engkau
berpendapat seperti itu, saudaraku?” Kataku dalam ketikan, menahan sesuatu.
“Saya kenal
betul HT! Tujuh tahun saya bertetangga dengan orang HT, yang dibicarakan hanya
Palestina, antidemokrasi, dan khilafah!” Aku tak tahu perubahan wajahnya.
Tulisan tak pernah menggambarkan kehalusan tangan yang menulisnya dengan
sempurna.
“Apakah dengan
demikian saya bukan saudaramu?” Aku menawarkan suasana. Belum ada komentar dari
yang lain, yang aku anggap saudara. Aku bukan HT, namun aku tak menolak
organisasi itu.
Pada sebuah
status, yang secara spontan diluar grup itu, aku menyindirnya. Dia memang belum
berteman dengan aku, tetapi aku sudah menganggapnya saudara. Setiap mukmin itu
bersaudara!
“Saudara
tersayang, bukankah syahadat kita sama?” Aku biasa memanggil “Sayang” atau
“Saudara” pada teman dekat soal keislaman.
Percakapan terus
berlanjut kering, panas. Menggambarkan keriuhan dan ketidaksukaan. Embun yang senantiasa
terselip dalam susunan kalimat antar saudara satu agama, satu guru, mengering
tersengat panas matahari yang tersisip tanpa sengaja dalam hati.
“Sudahlah!
Jangan mengelak! Dari foto profilmu aku tahu engkau HT! Kafir bughat, yang
menentang pemerintah!”
Aku mengikuti
perkembangan Palestina setiap hari. Sungguh! Bukan karena aku benci Yahudi.
Bukankah Tuhan kami sama? Aku tak memiliki kemampuan menyiksa. Tuhan yang
berhak. Aku hanya dapat memperkirakan surga atau neraka, tetapi tetap Tuhan
yang menentukan.
Aku tidak benci
Yahudi, tetapi aku cinta Palestina. Itupun
karena, aku mengenal salah seorang dari mereka. Esraa Saqer. Gadis cantik,
berkulit gelap, mancung. Alisnya tebal, namun matanya sayu dan lebar. Garis
pelangi matanya menyiratkan perang yang tak henti.
Kami pernah
mengobrol dalam bahasa inggris, dan ia minta didoakan agar anak muridnya sehat.
Dia seorang guru bagi pengungsi di perbatasan Jordania dan Tepi Barat,
kerajinan tangan dan bahasa Inggris.
“Kamu tidak
minta kemerdekaan negerimu?” Tegurku, suatu saat.
“Kami sudah
merdeka!”
Oleh karena dia,
aku berteman dengan wartawan italia yang bekerja di Palestina, Vittoria. Ia
memberi kabar langsung dan foto-foto ekslusif yang tidak dipajang di media
massa.
Hari “perayaan”
kemerdekaan palestina tiba, dan ia mengabarkan festival besar, ribuan orang
yang tersisa. Anak-anak yang tersisa, gadis dan pemuda yang tersisa, turun ke
lapangan di Gaza dan Jerussalem. Membawa bendera, putih. Hijau. Hitam. Merah.
Yang mengesankan,
semuanya tertawa dan tersenyum, tak ada yang menangis. Dalam foto yang ia
berikan kepadaku, tergambar seorang anak yang digendong ayahnya, dan tertawa,
sambil di sebelahnya ada yang mengibarkan tinggi-tinggi bendera baru dan masih
baik.
Ini kujadikan
foto pengenal Facebook, dan banyak yang menyangka aku aktifis, pengamat, bahkan
ada juga yang menyangka aku anak rohis yang didoktrin mentornya.
Aku mencintai
Palestina karena ada manusia di sana. Bukan karena benderanya. Bukan juga
karena Jerussalem. Tuhan tidak pernah menyuruh kita mencintai Makkah, bukan?
Tetapi mencintai penduduk Makkah dan mereka yang shalat di Haram bersama-sama.
Aku mencintai prinsip
Esraa, karena dia berjuang dengan mengajar anak-anak pengungsi di Jordania,
padahal dia seusia aku. Sangat belia. Orang tuanya tetap berjaga di Ramallah,
kedua kakaknya entah dimana, namun terakhir terdengar di Jerussalem.
“Tentara Israel
tidak mencarimu?” Aku penasaran.
“Kenapa harus
mencariku?” Kata-katanya menyiratkan ketenangan. Dalam.
“Bukankah kamu
orang Palestina?” Desakku.
“Israel tidak
mencari kami, tetapi mencari tanah kami. Tanah yang tejanji buat mereka. Mereka
tidak haus darah kami, tetapi mencari tanah buat rumah” Aku terpana, aku salah
sangka kepada Israel selama ini.
Orang yang menuduh
HT tadi tetap berkeras, aku meninggalkan percakapan.
“Saudaraku,
kenapa syahadatmu tertuju kepadaku? Bukankah syahadat kita sama?” Aku mencoba
membuka pemahamannya, namun gagal.
“Saudara....” Kata-kataku
menguap bersama udara panas yang senantiasa mengelilingi kami.
****
Api unggun
semakin besar, menghangatkan malam yang indah dan panjang. Ada halo, lingkaran
pelangi yang mengelilingi bulan karena embun membiaskan cahaya halusnya. Sejuk.
Tidak akan tercipta kemarahan. Pemandu acara juga dengan ceria menanyakan kabar
kami satu persatu.
Rafian, yang
diangkat sebagai wakil pemimpin organisasi bidang keuangan, terpergok baru
pulang bersama gadis berjaket merah, salah seorang panitia. Wah! Kami semua
tergelak dan tertawa, dengan muka merah ia menjelaskan, tetapi kami tetap
tertawa.
Pikiranku
melayang kepada alamat jejaring bernama
Fahmi, juga seperti Rafian, sempat pergi
namun kembali membawa kejutan.
Di grup
pertemanan lain, akun-akun lintas agama membuat misi untuk berdamai. Namun, dengan
disusupi akun yang menghendaki permusuhan atau perpindahan agama dengan
kerusuhan, alamat itu berubah menjadi promosi agama.
Agama yang
dijual seperti obat batuk, berkhasiat macam-macam, dan saling menjelekkan. Yang
ini tidak menyebabkan kantuk, yang lain menyebabkan kantuk menahun. Yang ini
rasa jeruk, yang lain rasa obat. Nah!
“Aku tidak
percaya Tuhan lagi, jadi maaf, mau kamu tawarkan agama macam-macam, agama saya
sekarang itu ya “Tanpa Agama”, jadi jangan paksa” dia tadinya debater, dan
banyak orang Hindu serta Katolik yang ia ajak berdialog, bahkan berdebat.
“Anak ini kenapa
sih?” Joseph, seorang katolik berkomentar di kirimannya. Memang, kami memiliki
mengelompokkan sebutan berdasarkan umur. Jadi, seperti keluarga besar.
“Ampun, baru
kemarin dia berjuang buat agamanya!” Paradev, menyela dan berkomentar
keheranan.
Rupanya, ia
terkena masalah, ada sesuatu dengan keluarga nyatanya. Seperti lilin-lilin
kecil yang mati, kami semua-lintas agama-tersulut hangat pagi. Menyala
kecil-kecil, namun jadi satu, menerangi kedalaman malam hingga mampu melihat
sekeliling.
Justru, kami
semua mengarahkan pemahamannya kepada keberadaan Tuhan. Dan yang mengherankan,
baik hindu, kristen, budha, islam, semuanya satu pendapat: Kita mau tidak mau
dibawah kepemilikan Tuhan. Mungkin, Tuhan yang dikenal Fahmi sebelumnya salah,
Tuhan yang hanya bisa menyiksa.
Ia tidak kenal
Tuhan yang penyayang. Padahal Tuhan itu penyayang, mungkin ia hanya diberi
gambaran neraka, tanpa diberi gambaran surga.
Ia akhirnya
mengerti. Kami senang, dan esoknya kembali diskusi dan debat seperti biasa.
Inilah saudara, dan kami sama-sama manusia. Saudara, yang menyatu lintas agama,
hingga kami lupa, kami tak pernah melihat satu sama lain, namun seperti
keluarga yang sama-sama mencari Tuhan.
“Keluarga....”
Semoga kami menemukan Tuhan yang sempurna.
****
Sebelum api
unggun diadakan, kami berkunjung ke Pusat oleh-oleh Bengkulu. Macam-macam
dijual. Yang banyak aku beli gantungan kunci dari kulit kayu, namun disusun
menyerupai bunga Raflesia, lambang kota Bengkulu. Kata salah satu panitia,
harusnyakami ke hutan wisata bunga ini, namun sedang tidak musim.
Aku memang
sedang kurang enak badan, rapat berlangsung dengan sangat lama. Debat. Membuat
dehidrasi. Aku membeli tiga botol teh dan memegangnya, tanpa pembungkus, karena
tak disediakan plastik.
Mendadak,
seorang gadis cantik, berjilbab hijau muda, duduk di sebelahku karena bangku
lain memang sudah penuh. Mungkin karena aku menjadi salah satu pimpinan dalam
jajak pendapat, ia tak lagi segan. Seperti sudah kenal, padahal aku tidak kenal
dia. Aku hanya tahu dia delegasi Semarang.
“Boleh minta air
tidak? Aku sangat haus” Kata-katanya tersusun lembut, ia tampak lesu dan agak
pucat memang.
Kami melanjutkan
perbincangan, yang awalnya untuk membunuh waktu, tetapi malah ia mengalihkan
pada yang tak kusangka.
“Kamu kok bisa
menyanggah pendapat dengan kuat, ya? Suka baca buku ya?” Aku terkejut.
“Iya, memang,
tetapi aku tak seberapa dibanding mereka,” Mukaku mungkin merah, tetapi ia
tersenyum halus.
“Suka buku apa?”
“Jujur, mungkin
kamu tak tahu. Aku suka buku karangan Mutahhari, Manusia dan Agama. Juga
Sayyid, Milestone” Aku benar-benar mengira dia gadis yang pintar, namun tak
suka baca buku yang itu.
“Lho, Mutahhari?
Wah, kamu mau tahu sesuatu?”
“Memang kenapa?”
Aku heran, wajah cantiknya seakan menyimpan sesuatu dari balik tirai.
“Aku keponakan
Kang Jalal” Mataku hampir minta liburan keluar, dan jantungku sudah menulis
surat cuti. Jalaluddin Rahmat?
“Ulama besar
Syi’ah asal Indonesia? Wah....”
****
Malam ini hari
terakhir kami berkumpul, sebab setelah malam keakraban aku pulang dengan
pesawat. Dia juga, pulang ke Semarang.
Sesi bersalaman,
sesi terakhir yang dilakukan sebelum bubar, membuat barisan melingkar dan aku
akhirnya sampai ke barisannya. “Syafa, malam ini aku pulang” kataku menahan
haru. Dia menyisipkan matanya kedalam mataku lekat-lekat.
“Iya, sayang sekali,
kita belum bicara banyak,” Ia menjawab juga dengan haru, namun masih sempat
tersenyum indah.
Tanpa sengaja,
aku mengangkat tangannya, yang tanpa sadar masih aku jemba sedari tadi hingga
barisan terhenti dan semua penglihatan pasti menuju kami. Waktu berhenti. Tak
lagi terdengar dentang.
“Kita harus
bertemu lagi, meskipun entah kapan, ya?” Ia berkata lambat, barisan-entah
kenapa-tidak protes dan justru semakin mendekatkan diri pada kami.
Aku meletakkan
tangannya yang halus di dada kiriku, ia dapat merasakan detak jantungku, dan
aku dapat merasakan tangannya makin erat. Hangat.
Hei! Ia Keponakan
Jalal! Ulama yang dikecam sesat oleh banyak orang, dan membuat geger kalangan
ulama. Lantas bagaimana?
“Kita memang
harus bertemu lagi...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar