Kedua pasukan sudah
memenuhi setiap pinggir kota. Daeng Aswat, pemimpin pasukan Mandar dan Bugis,
menggunakan hikmah terlarang ilmu masa kuno Sulawesi. Pembangkitan Si Mati.
Mayat.
Semua, yang tinggal
tulang belulang, yang tinggal kafan, kecuali yang debu, yang masih memerah,
yang sudah bau dan membiru, yang mati dalam peperangan-peperangan sebelumnya
hidup kembali.
Dengan ilmu dan
mantra yang menggemakan suaranya, ia memanggil arwah-arwah dan jin untuk
kembali mengisi rongga-rongga ruhaniyah yang kosong dalam tubuh si mati itu.
Ada terlihat Sultan Hassanuddin. Sultan Hamid. Ada pula Soeharto, Soekarno, dan
Tan Malaka.
Soeharto
dibangkitkan kembali dengan cara khusus, ia ingin membuat Soeharto mendapatkan
Jiwa Aslinya, Jiwa Hakikatnya. Tetapi Jiwa Hakikat yang ia kenal semata, karena
Jiwa hanya Tuhan yang tahu. Begitu pula
dengan Soekarno, Putra Sang Fajar itu, dibuatnya kembali memegang keris dan
senapan, di kanan dan di kiri.
Ya, Soeharto Sang
Dewa, yang mengalahkan dan memenjarakan Soekarno yang sempat mendakwa menjadi
Nabi dan membuat agama yang kita peluk sekarang ini.
Ya, Soeharto Sang
Pembangun, yang dari tangannya, hanya dengan tiupan, segala macam kebutuhan
rakyat terbangun. Ia pernah membangkitkan sebuah kota dari dalam tanah hanya
dengan isyarat.
Ia dahulu mati
akibat dikhianati bangsa sendiri, ia akhirnya terbanting dari awang-awang
setelah Senopati Perbawa melemparkan rantainya.
Mayat-mayat orang
mandar lebih mengerikan, dengan darah yang putih, kebal racun, mereka mampu
memanggil dan meredakan amarah lautan. Mereka pengendali lautan dan perairan.
Dalam sekejap, bala tentara itu sampai di pelabuhan kota dan mendudukinya
dengan kekuatan pengendalian perairan Mandar.
Mayat-mayat itu tak
bisa bicara, hanya bergerak dan mengubah mimik muka. Senjata mereka mengerikan, keris, panah,
sumpit, dan kelewang. Gendewa. Tak kurang senapan. Tetapi buat apa pula?
Senapan hanya akan
membuat pertempuran ini dipenuhi kerikil selongsong. Peluru memang terlalu
mengerikan. Tetapi tak berguna dalam peperangan ini, tidak mematikan, sebab
senapan tidak dibuat dengan doa atau mantra.
Dengan ilmu hitam
terlarang yang dilanggar dan penyatuan dengan Jin, membuat keris mampu
melontarkan bola api. Dengan cara itu pula, sumpit mampu dikendalikan dan
melayang-layang mencari leher mangsanya. Ia akan menancap, lantas terbang
kembali seperti capung. Mengerikan.
Pasukan sayap
dayak, yang terdiri dari orang yang masih hidup dari Dayak, lebih mengerikan
lagi. Setiap berhasil membunuh musuh, mereka memenggal kepalanya dan
menancapkannya untuk menimbulkan kegentaran dari pasukan Jawa dan Melayu.
Ketika bagian tubuh
mereka terpotong atau terluka, dengan serta merta sebelum menyentuh tanah
akibat terjatuh, bagian tubuh yang terpotong itu dapat tersambung kembali hanya
dengan diusap dan ditempelkan tanpa obat apapun. Betul-betul kekebalan yang
mengerikan, hanya dapat dibunuh dengan cara menghempaskannya ketanah setelah
dibelah tubuhnya.
Mereka menggunakan
ajian Mata Matahari, yang mampu menelanjangi segala jurus musuh. Dengan mata
ini, bukan hanya aura dan pancaran tenaga yang terlihat, tetapi juga celah
tenaga. Dengan menyorotkan mata dan menyerap energinya, mata mereka sanggup
mengurai segala macam jurus yang diarahkan pada tubuh mereka tanpa sisa, lalu
membalikkannya seperti cermin. Memutar ulang jurus musuh.
Dengan mata ini
juga, mereka mampu membuat segala senjata yang mereka pegang terganda dan
gandaannya ini terbang menyabet leher musuh. Kekuatan sugestif dan konsentrasi tingkat
tinggi, seperti matahari yang mampu melenyapkan segala anasir racun dalam tubuh
manusia.
Pembangkitan mayat
dan koalisi dengan Dayak inilah, yang membuat Bangsa Laut percaya diri untuk
menyerang daratan Jawa. Pelabuhan utama direbut. Mereka sudah berhadap-hadapan
di tengah kota dengan jurus masing-masing.
Perang ini menjadi
pergulatan antara pasukan masa lalu dengan pasukan masa sekarang, yang dipicu
oleh meruahnya harta di Daratan Jawa, sementara Bangsa Laut yang tinggal di
kepualauan Timur kekurangan pangan. Dendam mereka, sebetulnya kepada Mahadewa
Soeharto.
Tetapi, malang,
banyak mengetahui fakta bahwa Mahadewa
Soeharto adalah Tuhan di Jawa.
Perang ini adalah
luapan kekecewaan, luapan ketidakmampuan bertahan dibawah himpitan zaman.
Perang yang akan membuat negeri ini
menjadi jelas dikuasai oleh siapa.
Orang Jawa dan
Sumatra, menggunakan Arogo Suksma, jurus tertinggi yang mampu menggandakan
jumlah pasukan hingga dua belas kali, dan penggandaan ini terjadi terhadap diri
mereka. Semua orang memiliki dua belas kembaran, yang bila salah satunya
terbunuh, mereka dapat mengetahui karena pikiran mereka terhubung, mata mereka
terhubung, telinga mereka terhubung.
Tubuh aslinya,
pengguna ajian ini, hanya dengan tenang mengamati dari kejauhan, dan terus
mengomandoi.
Belum cukup sampai
di sini, mereka menggunakan jurus berbahaya, pembangkitan raksasa Hijaya.
Makhluk besar, yang
tubuhnya terdiri dari huruf-huruf arab yang berwarna emas. Ia bersuara seperti
ratusan orang berbicara sekaligus, dan matanya terbuat dari huruf mim dan ta’.
Senjatanya adalah
lam dan shad. Bila ia menebarkan huruf lam dari dadanya, maka segala ajian
musuh akan terlempar kembali kearah mereka, dan banyak yang tewas.
Huruf Shad yang
dilemparkan dengan senjata Nanggala Alif akan membuat takdir berjalan dan
menukar hikayat kematian dengan masa sekarang. Menukar dimensi.
Pasukan musuh, yang
terdiri dari tubuh mati, kembali menjadi hidup dan bisa dilukai dengan senjata
konvensional, maupun dengan ajian yang melibatkan kontak fisik.
Agama mereka sama,
Tuhan mereka sama; namun entah kenapa hari itu mereka lupa pada agamanya. Agama
yang didirikan Sang Nabi yang kini juga dibangkitkan, sang Putera Fajar. Agama
ini bahkan mampu menundukkan kelima agama besar dunia, tetapi entah kenapa gagal
menaklukkan hawa nafsu manusia yang kini berhadapan muka, siap memangsa
saudaranya.
Pertempuran
memanas, kini Hijaya berhadapan dengan Soeharto, yang juga membuat Kitab Hadits
dari agama mereka, yang membuat ia memiliki kekuatan untuk membuat hutan beringin
dan akar penjerat. Tak ada tanaman yang mampu tumbuh dibawah pohon ini.
“Engkau sudah mati,
Mahadewa. Medan perang ini bukan tanggung jawabmu!”, tegur Hijaya.
“Apa dayaku diperalat.
Aku cuma mayat. Lawanlah aku, agar aku tenang kembali”
“Engkau tak
terkalahkan!”
“Aku pernah mati,
Hijaya”
Hijaya melebarkan
kuda-kuda. Huruf-huruf di tubuhnya gemerincing saling beradu. Meskipun sebelum
ini ia belum pernah bertemu, tetapi ia kagum juga dengan Mahadewa Soeharto.
“Engkau mati karena
seratus ribu orang menyerangmu bersama-sama, sedangkan aku sendirian”
Soeharto yang
dikendalikan, mengeluarkan aji Sang Batu Karang, untuk memanggil salah satu
dewa yang bersemayam dalam dadanya. Tangannya disilangkan diatas kepala, dan
dari tangannya memancar cahaya yang membutakan mata.
Mengalahkan
matahari, mengalahkan matahari.
Terjadilah
Kebangkitan Rasuli, sejenak arena pertempuran diliputi cahaya terang karena
jurus agung ini. Cahaya putih keemasan, dan sebuah bukit petilasan muncul dan
melambung keatas bagi menyambut kedatangan sang Batu Karang.
Caiphas.
Cahaya terang agung
itu menurunkan bulu-bulu burung, dan akhirnya turunlah dia, Sang Petrus,
sebagai kelanjutan dari jurus Sang Batu Karang.
Serentak segala pasukan bersujud kepadanya,
dan menyerukan “Rasul! Rasul!”
Rasul telah
bangkit!
Rasul Petrus hidup
kembali dari kematiannya, ia dahulu pernah digunakan sebagai senjata ampuh
untuk membersihkan penjuru negeri dari garong dan preman, dan kini digunakan
sebagai senjata perang.
Petrus yang
diberkati kini menjadi senjata perang yang mengerikan, karena sebagian kekuatan
Tuhan ada padanya.
Entah apa yang
dilakukan Soeharto terhadap Jesus, yang kadang Tuhan kadang Manusia, Sang
Legenda yang membuat perdebatan selama dua ribu tahun mau menyerahkan ajian
Batu Karang ini padanya.
Petrus, adalah
Rasul pertama dari kedua belas Rasul Jesus. Yang teragung, yang dianggap
pendiri sebuah sistem baru. Kini menjadi wayang Mahadewa Soeharto.
Petrus hidup
kembali, di tengah medan pertempuran. Ia muncul dari tangan Soeharto. Atas
panggilan Soeharto. Bajunya tidak mencolok, seperti rakyat kebanyakan, bersinar
terang. Ia membawa pedang yang teramat panjang dan diselimuti api, dan perisai
emas.
Setiap jejaknya
menyisakan api yang menjilat pasukan Jawa dan memihak kepada Daeng, sementara jubahnya
jika dikibas-kibaskan, anginnya berwarna merah, dan mencekik orang-orang jawa
dan sumatra.
Inilah dia,
kekuatan Petrus!
Sang Hijaya kalang
kabut, ia menghindar kesana-kemari tanpa sanggup membalas serangan Sang Rasul
utusan Mahadewa Soeharto. Berulang-ulang cahaya merah dan putih memancar
sebagai tanda terjadi ledakan.
Banyak yang tewas.
“Mahadewa!
Bagaimana cara menghentikannya!”
Soeharto yang masih
memiliki kesadaran menjawab pekik Hijaya, “Seranglah aku! Jangan serang dia!
Dia tidak bisa disentuh karena dia hanya fatamorgana!”
“tapi dia bisa
melukaiku!” bantah Hijaya.
“Serang aku! Memang
itulah kemampuan Petrus!”
Belum selesai ia
berbicara, Soeharto mengeluarkan lagi jurusnya yang mengerikan, Wana Wringin,
yang mampu menumbuhkan beringin raksasa dan menjadi hutan dalam waktu sekejap,
dan beringin itu mencekik setiap kaki yang mampu dijeratnya.
Pohon yang timbul
teramat besar, menjulang seperti cendawan bom atom. Guguran daun kuningnya
menimpa siapapun yang apes dan mati seketika.
Hijaya akhirnya
tewas, ia terjebak dalam akar beringin dan Sang Rasul menusuknya dengan pedang
api yang secara langsung juga membakar beringin itu.
Tewasnya Hijaya
diiringi lontaran huruf-huruf arab dari tubuhnya seperti kembang api yang
menakjubkan beberapa saat.
Medan dipenuhi bara
api, seperti juga hati para pasukan Jawa dan Sumatera yang geram, sesepuhnya
dijadikan senjata perang.
Kini masalahnya
adalah bagaimana menghentikan Soeharto dan juga Daeng Aswat. Daeng Aswat ada di
pasukan lini cadangan, ia hanya tinggal memberikan perintah sambil terus
mengendalikan Soeharto.
Empatpuluh ribu,
setengah dari pasukan Jawa dan Sumatra sudah tewas. Sebagian besar dihajar oleh
Petrus, sebagian lagi terbakar dan terjerat ajian orang mandar. Ada pula yang
mati karena berhadapan dengan Dayak. Hijaya tak banyak membantu.
Bathara Dame,
akhirnya maju dari tendanya, ia gentar juga menyaksikan banyak tentaranya yang
terbelah. Mati tercabik-cabik. Ia marah. Ia tak tahan. Ia tak takut darah, tapi
darah baginya adalah lambang cinta, warnanya seperti hati.
Ia mengeluarkan
ajian tertingginya untuk meredam kekuatan Mahadewa Soeharto, dengan mengemban
tenaga dari seluruh pasukannya, ia bersemadi sesaat, dan muncullah matahari
kecil diatas daratan pertempuran, matahari putih pucat dan kebiruan. Sinarnya
biru agung, membuat yang memandangnya tertunduk dan menangis, menjadi
merindukan kedamaian. Sinar yang membuat semuanya tersadar bahwa mereka butuh
perenungan, bukan pertempuran.
Sinar kedamaian.
Sinar kedamaian! Inilah yang membuat sinar Sang Rasul seolah meredup. Ada dua
matahari di sana.
Matahari biru
diciptakan dari doa, sebab itu ia tak bisa dikalahkan dengan peluntur ajian.
Pembalikan jurus justru akan menggandakan kekuatan matahari, sebab apabila
kekuatan doa dibalikkan, justru memperkuat orang-orang yang berdoa dan
merindukan kedamaian.
“Apa yang membuat
Bathara, muridku, maju ke medan ini! O, alangkah malangnya! Engkau yang dahulu
menghormati darah, kini menjadi haus darah!” Petrus menjaga di depan Soeharto.
“Aku menghormatimu,
Dewa. Aku juga menyayangimu, aku hanya ingin mengembalikan yang mati kepada
fitrahnya” tutur Bathara takzim.
“Aku melihat
pasukan-pasukan mayat ini menggunakan kekuatanku dahulu sebagai kekuatan
mereka, bahkan lebih kuat lagi, mereka memenangkan perang ini hanya demi harta
yang melimpah di pulaumu” kegelisahan Mahadewa menyeruak.
“Mereka
mempelajarimu, bahkan mencoba menyelesaikan apa yang engkau tinggalkan,
Mahadewa. Tetapi mereka gagal, mereka malah terkuasai jurusmu”
Ada getaran aneh
yang ia rasakan. Rindu? Marah? Entah. Yang jelas ia amat menyayangi Mahadewa.
Mata mereka bertemu, saling mempengaruhi.
Masa lalu dan masa sekarang beradu mata dan pedang Petrus
tak mampu menundukkan kepala Bathara sedikitpun. Ia sudah membulatkan hati
untuk sepenuhnya menghadapi Mahadewa sebagai musuh, meskipun wajahnya adalah
wajah gurunya. Jiwanya masih jiwa gurunya.
“Yang mati tak
ingin mencampuri yang hidup” tukas Mahadewa.
“Tetapi pengaruh
seseorang hanya akan terasa ketika ia sudah mati” tutur Bathara.
“Engkau sudah mati,
dan hanya dapat ditenteramkan dengan kabar kedamaian dan doa-doa dari kami yang
hidup!”
“Maka doakanlah
aku! Jangan biarkan kami diperalat masa depan!”
“Sekarang adalah
masa depanmu, engkau melihat para tentara masih mengagumimu, sehingga jiwamu
ditarik kembali ketubuhmu” desis Bathara menahan sesuatu. Muram.
“Mereka memang
masih hidup, tetapi mematikan. Aku sudah tidak lagi bisa mematikan” Mahadewa
berkelit. Mata mereka yang beradu semakin tajam dan tajam saja.
Keduanya memiliki
mendung yang sama, tetapi dari musim yang berbeda. Hujan. Akan datang hujan.
Paling tidak, karena ada yang terbunuh dalam perang.
“Aku mengakhiri
hidupku dengan sengsara, jangan biarkan ada yang menghidupkan aku lagi”
lagi-lagi Soeharto memaksa.
“Doakanlah aku!
Ooooh! Wahai Bathara yang masih hidup, kami yang mati diperalat ini, hanyalah
menginginkan kedamaian dan doa-doa suci diatas tanah peperangan ini; yang dulu
kami juga hidup diatasnya!”
“Aku akan
mengembalikanmu!” Bathara menutup mata, menahan hujan yang akan turun. Mendung
menggelayut dalam hatinya. Getir. Mahadewa adalah guru yang amat dicintainya.
Sekejap, dengan
pengaruh matahari biru, serentak seluruh pasukan mengangkat tangan, dan
menjatuhkan pedangnya. Ajian musuh dilunturkan seketika.
Mereka berdoa
bersama, mengatur barisan, dan yang lain membuat pagar ghaib agar mayat-mayat
dan Dayak tidak mengganggu tapa krama mereka.
Sejenak, medan
pertempuran berubah takzim, matahari biru memudar, namun cahayanya menyelimuti
mayat-mayat. Tak terkecuali Soeharto.
Petrus mengempis,
dan cahayanya seperti kunang-kunang kembali masuk kedalam tangan Soeharto.
“Aku yang pernah
mati, sedih melihat engkau berperang menggunakan kekuatanku!”
“Terimakasih,
engkau mendoakan kami yang mati, dan memberi jaminan kedamaian negeri ini, dan
bukannya menghidupkan kami lagi, dengan segala kekuatan kami”
“Damailah!”
“Semoga kelak
keturunan kami memaafkan kami juga, yang akan menjadi masa lalu!”
“Amiiin!” serentak
pasukan buyar dari keheningannya, menyadari kemunduran pasukan lawan. Mereka
sempat tertegun ketika banyak debu dan belulang berserakan, sisa-sisa mayat
hidup yang harus dikembalikan ke makamnya masing-masing.
Pakaian-pakaian
lusuh para mayat berkibaran terkena angin, hari menjelang senja. Bau darah
dimana-mana. Belulang dimana-mana.
Beberapa tentara
Bathara melanjutkan doanya dengan pasrah, mereka cukup menerima kegetiran
karena banyak yang ayah atau gurunya dihidupkan kembali dan diperalat dalam
perang.
Hati Bathara
semakin tergetar, melihat leluhurnya, gurunya, Pahlawan bangsanya mati hingga
kedua kalinya, dan kematian yang kedua ini adalah karenanya.
Akhirnya fajar
kembali datang, dan masih bau darah seperti yang sudah-sudah. Tak ada yang
dapat tidur. Semuanya lelah, peperangan kemarin amat menguras tenaga, namun
setidaknya Mahadewa Soeharto sudah kembali moksa.
Pasukan Daeng sudah
menyambut di muka, sudah merentang gendewa dan memicu senjata. Tak ada lagi
mayat hidup. Semuanya tubuh asli.
Bathara, dengan
diselimuti cahaya agung, menaiki kudanya yang belum terlalu tua. Ia berharap
banyak pada hari ini. Terlalu melimpah yang sudah mati. Mendung belum hilang
dari matanya.
“Masih akan datang
hujan, tetapi kapan?” desahnya.
Kembali diaturlah
barisan mereka, lebih rapi dari sebelumnya. Dan mereka bukan mayat hidup. Yang
di muka, diputar oleh Bathara ke belakang, yang belakang menjadi pasukan depan.
Yang kanan dijadikan sayap kiri, dan sebaliknya. Bentuk pasukan diperpanjang,
agar terlihat lebih banyak dari sebelumnya.
Bathara mengambil
alih penuh kepanglimaan pasukan, karena panglima sebelumnya lumpuh terkena
keris Soekarno. Yang lain tunduk saja, tak menyangka Bathara, yang masih murid
Mahadewa Soeharto memiliki ajian Matahari Biru sekuat itu.
Kini tugas mereka
hanya tinggal memburu Sang Daeng, dan tentu akan mudah dengan penjagaan yang
berkurang. Tak ada lagi mayat hidup disana.
Entah kapan
pertempuran ini berakhir dengan sempurna, yang jelas, hanya akan berakhir
ketika masa lalu bukan lagi dibangkitkan, tetapi hanya tinggal didalam
kenangan.
Ya, tak akan ada
lagi yang menghidupkan mayat dari masa lalu di medan pertempuran ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar