Jumat, 03 Agustus 2012

Messiah


Kedua pasukan sudah memenuhi setiap pinggir kota. Daeng Aswat, pemimpin pasukan Mandar dan Bugis, menggunakan hikmah terlarang ilmu masa kuno Sulawesi. Pembangkitan Si Mati. Mayat.
Semua, yang tinggal tulang belulang, yang tinggal kafan, kecuali yang debu, yang masih memerah, yang sudah bau dan membiru, yang mati dalam peperangan-peperangan sebelumnya hidup kembali.
Dengan ilmu dan mantra yang menggemakan suaranya, ia memanggil arwah-arwah dan jin untuk kembali mengisi rongga-rongga ruhaniyah yang kosong dalam tubuh si mati itu. Ada terlihat Sultan Hassanuddin. Sultan Hamid. Ada pula Soeharto, Soekarno, dan Tan Malaka.
Soeharto dibangkitkan kembali dengan cara khusus, ia ingin membuat Soeharto mendapatkan Jiwa Aslinya, Jiwa Hakikatnya. Tetapi Jiwa Hakikat yang ia kenal semata, karena Jiwa hanya Tuhan yang tahu.  Begitu pula dengan Soekarno, Putra Sang Fajar itu, dibuatnya kembali memegang keris dan senapan, di kanan dan di kiri.
Ya, Soeharto Sang Dewa, yang mengalahkan dan memenjarakan Soekarno yang sempat mendakwa menjadi Nabi dan membuat agama yang kita peluk sekarang ini.
Ya, Soeharto Sang Pembangun, yang dari tangannya, hanya dengan tiupan, segala macam kebutuhan rakyat terbangun. Ia pernah membangkitkan sebuah kota dari dalam tanah hanya dengan isyarat.
Ia dahulu mati akibat dikhianati bangsa sendiri, ia akhirnya terbanting dari awang-awang setelah Senopati Perbawa melemparkan rantainya.
Mayat-mayat orang mandar lebih mengerikan, dengan darah yang putih, kebal racun, mereka mampu memanggil dan meredakan amarah lautan. Mereka pengendali lautan dan perairan. Dalam sekejap, bala tentara itu sampai di pelabuhan kota dan mendudukinya dengan kekuatan pengendalian perairan Mandar.
Mayat-mayat itu tak bisa bicara, hanya bergerak dan mengubah mimik muka.  Senjata mereka mengerikan, keris, panah, sumpit, dan kelewang. Gendewa. Tak kurang senapan. Tetapi buat apa pula?
Senapan hanya akan membuat pertempuran ini dipenuhi kerikil selongsong. Peluru memang terlalu mengerikan. Tetapi tak berguna dalam peperangan ini, tidak mematikan, sebab senapan tidak dibuat dengan doa atau mantra.
Dengan ilmu hitam terlarang yang dilanggar dan penyatuan dengan Jin, membuat keris mampu melontarkan bola api. Dengan cara itu pula, sumpit mampu dikendalikan dan melayang-layang mencari leher mangsanya. Ia akan menancap, lantas terbang kembali seperti capung. Mengerikan.
Pasukan sayap dayak, yang terdiri dari orang yang masih hidup dari Dayak, lebih mengerikan lagi. Setiap berhasil membunuh musuh, mereka memenggal kepalanya dan menancapkannya untuk menimbulkan kegentaran dari pasukan Jawa dan Melayu.
Ketika bagian tubuh mereka terpotong atau terluka, dengan serta merta sebelum menyentuh tanah akibat terjatuh, bagian tubuh yang terpotong itu dapat tersambung kembali hanya dengan diusap dan ditempelkan tanpa obat apapun. Betul-betul kekebalan yang mengerikan, hanya dapat dibunuh dengan cara menghempaskannya ketanah setelah dibelah tubuhnya.
Mereka menggunakan ajian Mata Matahari, yang mampu menelanjangi segala jurus musuh. Dengan mata ini, bukan hanya aura dan pancaran tenaga yang terlihat, tetapi juga celah tenaga. Dengan menyorotkan mata dan menyerap energinya, mata mereka sanggup mengurai segala macam jurus yang diarahkan pada tubuh mereka tanpa sisa, lalu membalikkannya seperti cermin. Memutar ulang jurus musuh.
Dengan mata ini juga, mereka mampu membuat segala senjata yang mereka pegang terganda dan gandaannya ini terbang menyabet leher musuh. Kekuatan sugestif dan konsentrasi tingkat tinggi, seperti matahari yang mampu melenyapkan segala anasir racun dalam tubuh manusia.
Pembangkitan mayat dan koalisi dengan Dayak inilah, yang membuat Bangsa Laut percaya diri untuk menyerang daratan Jawa. Pelabuhan utama direbut. Mereka sudah berhadap-hadapan di tengah kota dengan jurus masing-masing.
Perang ini menjadi pergulatan antara pasukan masa lalu dengan pasukan masa sekarang, yang dipicu oleh meruahnya harta di Daratan Jawa, sementara Bangsa Laut yang tinggal di kepualauan Timur kekurangan pangan. Dendam mereka, sebetulnya kepada Mahadewa Soeharto.
Tetapi, malang, banyak  mengetahui fakta bahwa Mahadewa Soeharto adalah Tuhan di Jawa.
Perang ini adalah luapan kekecewaan, luapan ketidakmampuan bertahan dibawah himpitan zaman. Perang  yang akan membuat negeri ini menjadi jelas dikuasai oleh siapa.
Orang Jawa dan Sumatra, menggunakan Arogo Suksma, jurus tertinggi yang mampu menggandakan jumlah pasukan hingga dua belas kali, dan penggandaan ini terjadi terhadap diri mereka. Semua orang memiliki dua belas kembaran, yang bila salah satunya terbunuh, mereka dapat mengetahui karena pikiran mereka terhubung, mata mereka terhubung, telinga mereka terhubung.
Tubuh aslinya, pengguna ajian ini, hanya dengan tenang mengamati dari kejauhan, dan terus mengomandoi.
Belum cukup sampai di sini, mereka menggunakan jurus berbahaya, pembangkitan raksasa Hijaya.
Makhluk besar, yang tubuhnya terdiri dari huruf-huruf arab yang berwarna emas. Ia bersuara seperti ratusan orang berbicara sekaligus, dan matanya terbuat dari huruf mim dan ta’.
Senjatanya adalah lam dan shad. Bila ia menebarkan huruf lam dari dadanya, maka segala ajian musuh akan terlempar kembali kearah mereka, dan banyak yang tewas.
Huruf Shad yang dilemparkan dengan senjata Nanggala Alif akan membuat takdir berjalan dan menukar hikayat kematian dengan masa sekarang. Menukar dimensi.
Pasukan musuh, yang terdiri dari tubuh mati, kembali menjadi hidup dan bisa dilukai dengan senjata konvensional, maupun dengan ajian yang melibatkan kontak fisik.
Agama mereka sama, Tuhan mereka sama; namun entah kenapa hari itu mereka lupa pada agamanya. Agama yang didirikan Sang Nabi yang kini juga dibangkitkan, sang Putera Fajar. Agama ini bahkan mampu menundukkan kelima agama besar dunia, tetapi entah kenapa gagal menaklukkan hawa nafsu manusia yang kini berhadapan muka, siap memangsa saudaranya.
Pertempuran memanas, kini Hijaya berhadapan dengan Soeharto, yang juga membuat Kitab Hadits dari agama mereka, yang membuat ia memiliki kekuatan untuk membuat hutan beringin dan akar penjerat. Tak ada tanaman yang mampu tumbuh dibawah pohon ini.
“Engkau sudah mati, Mahadewa. Medan perang ini bukan tanggung jawabmu!”, tegur Hijaya.
“Apa dayaku diperalat. Aku cuma mayat. Lawanlah aku, agar aku tenang kembali”
“Engkau tak terkalahkan!”
“Aku pernah mati, Hijaya”
Hijaya melebarkan kuda-kuda. Huruf-huruf di tubuhnya gemerincing saling beradu. Meskipun sebelum ini ia belum pernah bertemu, tetapi ia kagum juga dengan Mahadewa Soeharto.
“Engkau mati karena seratus ribu orang menyerangmu bersama-sama, sedangkan aku sendirian”
Soeharto yang dikendalikan, mengeluarkan aji Sang Batu Karang, untuk memanggil salah satu dewa yang bersemayam dalam dadanya. Tangannya disilangkan diatas kepala, dan dari tangannya memancar cahaya yang membutakan mata.
Mengalahkan matahari, mengalahkan matahari.
Terjadilah Kebangkitan Rasuli, sejenak arena pertempuran diliputi cahaya terang karena jurus agung ini. Cahaya putih keemasan, dan sebuah bukit petilasan muncul dan melambung keatas bagi menyambut kedatangan sang Batu Karang.
Caiphas.
Cahaya terang agung itu menurunkan bulu-bulu burung, dan akhirnya turunlah dia, Sang Petrus, sebagai kelanjutan dari jurus Sang Batu Karang.
 Serentak segala pasukan bersujud kepadanya, dan menyerukan “Rasul! Rasul!”
Rasul telah bangkit!
Rasul Petrus hidup kembali dari kematiannya, ia dahulu pernah digunakan sebagai senjata ampuh untuk membersihkan penjuru negeri dari garong dan preman, dan kini digunakan sebagai senjata perang.
Petrus yang diberkati kini menjadi senjata perang yang mengerikan, karena sebagian kekuatan Tuhan ada padanya.
Entah apa yang dilakukan Soeharto terhadap Jesus, yang kadang Tuhan kadang Manusia, Sang Legenda yang membuat perdebatan selama dua ribu tahun mau menyerahkan ajian Batu Karang ini padanya.
Petrus, adalah Rasul pertama dari kedua belas Rasul Jesus. Yang teragung, yang dianggap pendiri sebuah sistem baru. Kini menjadi wayang Mahadewa Soeharto.
Petrus hidup kembali, di tengah medan pertempuran. Ia muncul dari tangan Soeharto. Atas panggilan Soeharto. Bajunya tidak mencolok, seperti rakyat kebanyakan, bersinar terang. Ia membawa pedang yang teramat panjang dan diselimuti api, dan perisai emas.
Setiap jejaknya menyisakan api yang menjilat pasukan Jawa dan memihak kepada Daeng, sementara jubahnya jika dikibas-kibaskan, anginnya berwarna merah, dan mencekik orang-orang jawa dan sumatra.
Inilah dia, kekuatan Petrus!
Sang Hijaya kalang kabut, ia menghindar kesana-kemari tanpa sanggup membalas serangan Sang Rasul utusan Mahadewa Soeharto. Berulang-ulang cahaya merah dan putih memancar sebagai tanda terjadi ledakan.
Banyak yang tewas.
“Mahadewa! Bagaimana cara menghentikannya!”
Soeharto yang masih memiliki kesadaran menjawab pekik Hijaya, “Seranglah aku! Jangan serang dia! Dia tidak bisa disentuh karena dia hanya fatamorgana!”
“tapi dia bisa melukaiku!” bantah Hijaya.
“Serang aku! Memang itulah kemampuan Petrus!”
Belum selesai ia berbicara, Soeharto mengeluarkan lagi jurusnya yang mengerikan, Wana Wringin, yang mampu menumbuhkan beringin raksasa dan menjadi hutan dalam waktu sekejap, dan beringin itu mencekik setiap kaki yang mampu dijeratnya.
Pohon yang timbul teramat besar, menjulang seperti cendawan bom atom. Guguran daun kuningnya menimpa siapapun yang apes dan mati seketika.
Hijaya akhirnya tewas, ia terjebak dalam akar beringin dan Sang Rasul menusuknya dengan pedang api yang secara langsung juga membakar beringin itu.
Tewasnya Hijaya diiringi lontaran huruf-huruf arab dari tubuhnya seperti kembang api yang menakjubkan beberapa saat.
Medan dipenuhi bara api, seperti juga hati para pasukan Jawa dan Sumatera yang geram, sesepuhnya dijadikan senjata perang.
Kini masalahnya adalah bagaimana menghentikan Soeharto dan juga Daeng Aswat. Daeng Aswat ada di pasukan lini cadangan, ia hanya tinggal memberikan perintah sambil terus mengendalikan Soeharto.
Empatpuluh ribu, setengah dari pasukan Jawa dan Sumatra sudah tewas. Sebagian besar dihajar oleh Petrus, sebagian lagi terbakar dan terjerat ajian orang mandar. Ada pula yang mati karena berhadapan dengan Dayak. Hijaya tak banyak membantu.
Bathara Dame, akhirnya maju dari tendanya, ia gentar juga menyaksikan banyak tentaranya yang terbelah. Mati tercabik-cabik. Ia marah. Ia tak tahan. Ia tak takut darah, tapi darah baginya adalah lambang cinta, warnanya seperti hati.
Ia mengeluarkan ajian tertingginya untuk meredam kekuatan Mahadewa Soeharto, dengan mengemban tenaga dari seluruh pasukannya, ia bersemadi sesaat, dan muncullah matahari kecil diatas daratan pertempuran, matahari putih pucat dan kebiruan. Sinarnya biru agung, membuat yang memandangnya tertunduk dan menangis, menjadi merindukan kedamaian. Sinar yang membuat semuanya tersadar bahwa mereka butuh perenungan, bukan pertempuran.
Sinar kedamaian. Sinar kedamaian! Inilah yang membuat sinar Sang Rasul seolah meredup. Ada dua matahari di sana.
Matahari biru diciptakan dari doa, sebab itu ia tak bisa dikalahkan dengan peluntur ajian. Pembalikan jurus justru akan menggandakan kekuatan matahari, sebab apabila kekuatan doa dibalikkan, justru memperkuat orang-orang yang berdoa dan merindukan kedamaian.
“Apa yang membuat Bathara, muridku, maju ke medan ini! O, alangkah malangnya! Engkau yang dahulu menghormati darah, kini menjadi haus darah!” Petrus menjaga di depan Soeharto.
“Aku menghormatimu, Dewa. Aku juga menyayangimu, aku hanya ingin mengembalikan yang mati kepada fitrahnya” tutur Bathara takzim.
“Aku melihat pasukan-pasukan mayat ini menggunakan kekuatanku dahulu sebagai kekuatan mereka, bahkan lebih kuat lagi, mereka memenangkan perang ini hanya demi harta yang melimpah di pulaumu” kegelisahan Mahadewa menyeruak.
“Mereka mempelajarimu, bahkan mencoba menyelesaikan apa yang engkau tinggalkan, Mahadewa. Tetapi mereka gagal, mereka malah terkuasai jurusmu”
Ada getaran aneh yang ia rasakan. Rindu? Marah? Entah. Yang jelas ia amat menyayangi Mahadewa. Mata mereka bertemu, saling mempengaruhi.
Masa lalu  dan masa sekarang beradu mata dan pedang Petrus tak mampu menundukkan kepala Bathara sedikitpun. Ia sudah membulatkan hati untuk sepenuhnya menghadapi Mahadewa sebagai musuh, meskipun wajahnya adalah wajah gurunya. Jiwanya masih jiwa gurunya.
“Yang mati tak ingin mencampuri yang hidup” tukas Mahadewa.
“Tetapi pengaruh seseorang hanya akan terasa ketika ia sudah mati” tutur Bathara.
“Engkau sudah mati, dan hanya dapat ditenteramkan dengan kabar kedamaian dan doa-doa dari kami yang hidup!”
“Maka doakanlah aku! Jangan biarkan kami diperalat masa depan!”
“Sekarang adalah masa depanmu, engkau melihat para tentara masih mengagumimu, sehingga jiwamu ditarik kembali ketubuhmu” desis Bathara menahan sesuatu. Muram.
“Mereka memang masih hidup, tetapi mematikan. Aku sudah tidak lagi bisa mematikan” Mahadewa berkelit. Mata mereka yang beradu semakin tajam dan tajam saja.
Keduanya memiliki mendung yang sama, tetapi dari musim yang berbeda. Hujan. Akan datang hujan. Paling tidak, karena ada yang terbunuh dalam perang.
“Aku mengakhiri hidupku dengan sengsara, jangan biarkan ada yang menghidupkan aku lagi” lagi-lagi Soeharto memaksa.
“Doakanlah aku! Ooooh! Wahai Bathara yang masih hidup, kami yang mati diperalat ini, hanyalah menginginkan kedamaian dan doa-doa suci diatas tanah peperangan ini; yang dulu kami juga hidup diatasnya!”
“Aku akan mengembalikanmu!” Bathara menutup mata, menahan hujan yang akan turun. Mendung menggelayut dalam hatinya. Getir. Mahadewa adalah guru yang amat dicintainya.
Sekejap, dengan pengaruh matahari biru, serentak seluruh pasukan mengangkat tangan, dan menjatuhkan pedangnya. Ajian musuh dilunturkan seketika.
Mereka berdoa bersama, mengatur barisan, dan yang lain membuat pagar ghaib agar mayat-mayat dan Dayak tidak mengganggu tapa krama mereka.
Sejenak, medan pertempuran berubah takzim, matahari biru memudar, namun cahayanya menyelimuti mayat-mayat. Tak terkecuali Soeharto.
Petrus mengempis, dan cahayanya seperti kunang-kunang kembali masuk kedalam tangan Soeharto.
“Aku yang pernah mati, sedih melihat engkau berperang menggunakan kekuatanku!”
“Terimakasih, engkau mendoakan kami yang mati, dan memberi jaminan kedamaian negeri ini, dan bukannya menghidupkan kami lagi, dengan segala kekuatan kami”
“Damailah!”
“Semoga kelak keturunan kami memaafkan kami juga, yang akan menjadi masa lalu!”
“Amiiin!” serentak pasukan buyar dari keheningannya, menyadari kemunduran pasukan lawan. Mereka sempat tertegun ketika banyak debu dan belulang berserakan, sisa-sisa mayat hidup yang harus dikembalikan ke makamnya masing-masing.
Pakaian-pakaian lusuh para mayat berkibaran terkena angin, hari menjelang senja. Bau darah dimana-mana. Belulang dimana-mana.
Beberapa tentara Bathara melanjutkan doanya dengan pasrah, mereka cukup menerima kegetiran karena banyak yang ayah atau gurunya dihidupkan kembali dan diperalat dalam perang.
Hati Bathara semakin tergetar, melihat leluhurnya, gurunya, Pahlawan bangsanya mati hingga kedua kalinya, dan kematian yang kedua ini adalah karenanya.
Akhirnya fajar kembali datang, dan masih bau darah seperti yang sudah-sudah. Tak ada yang dapat tidur. Semuanya lelah, peperangan kemarin amat menguras tenaga, namun setidaknya Mahadewa Soeharto sudah kembali moksa.
Pasukan Daeng sudah menyambut di muka, sudah merentang gendewa dan memicu senjata. Tak ada lagi mayat hidup. Semuanya tubuh asli.
Bathara, dengan diselimuti cahaya agung, menaiki kudanya yang belum terlalu tua. Ia berharap banyak pada hari ini. Terlalu melimpah yang sudah mati. Mendung belum hilang dari matanya.
“Masih akan datang hujan, tetapi kapan?” desahnya.
Kembali diaturlah barisan mereka, lebih rapi dari sebelumnya. Dan mereka bukan mayat hidup. Yang di muka, diputar oleh Bathara ke belakang, yang belakang menjadi pasukan depan. Yang kanan dijadikan sayap kiri, dan sebaliknya. Bentuk pasukan diperpanjang, agar terlihat lebih banyak dari sebelumnya.
Bathara mengambil alih penuh kepanglimaan pasukan, karena panglima sebelumnya lumpuh terkena keris Soekarno. Yang lain tunduk saja, tak menyangka Bathara, yang masih murid Mahadewa Soeharto memiliki ajian Matahari Biru sekuat itu.
Kini tugas mereka hanya tinggal memburu Sang Daeng, dan tentu akan mudah dengan penjagaan yang berkurang. Tak ada lagi mayat hidup disana.
Entah kapan pertempuran ini berakhir dengan sempurna, yang jelas, hanya akan berakhir ketika masa lalu bukan lagi dibangkitkan, tetapi hanya tinggal didalam kenangan.
Ya, tak akan ada lagi yang menghidupkan mayat dari masa lalu di medan pertempuran ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar