Jumat, 03 Agustus 2012

Ieshua Hamasyiakh


Di Golgota, di Golgota, langit semakin memancarkan mendung biru tua, yang semakin menggelayut di udara. Perarakan telah sampai, Simon yang malang memancangkan salib-Nya diatas bukit. Ikatan kepala menandai siksa, Inilah Dia Raja Orang Yahudi, menegaskan alasan penyaliban. Dua penyamun, yang juga disalib, tepat di kanan dan di kiri tiang salib-Nya hampir mati namun dengan sendu mengawasi.
“Hai, Engkau yang ingin meruntuhkan Bait Suci, dan membangunnya kembali dalam tiga hari! Selamatkan diri-Mu jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Beberapa yang hadir disana menggelengkan kepala.
Rambut-Nya basah dengan darah. Dahi-Nya tersaput mahkota duri, dan diliputi noktah hitam. Darah campur debu. Tak ada yang memahami dengan jernih pengorbanan ruh dan daging yang menyatu menjadi firman itu.
“Orang lain diselamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan? Ia Raja Israel? Jika Ia turun dari salib itu, kami akan percaya kepada-Nya!” Ludah muncrat dari mulut Hakim, celaan yang panjang menyeruak. Jam duabelas, tepat ketika pendulumnya berdentum.
Kegelapan penyaliban tiba. Matahari lama terpejam tidak pada waktunya. Tanah hitam, dedaunan juga hitam. Mata hati kasih sayang manusia turut menghitam.  Tiga jam lamanya, kehitaman dan kegelapan meliputi tanah, semak, dan setiap jiwa manusia. Golgota kehilangan cahaya. Tepi-tepi langit tak terlihat, gagak juga kehilangan arah dan hinggap sekenanya.
Tangannya yang kering terhunjam bersama paku besar.  Kakinya terikat dengan erat, lagi-lagi bersaput darah. Rusuk-rusuk kedagingan-Nya menyembul terbungkus kulit, dan wajah teguhnya semakin menyerukan kegetiran. Rasa sakit semakin erat bersama dosa-dosa manusia yang ditanggungnya. Iesyhua Hamasyhiakh.
Ia membabtis segenap manusia dengan kematian Daging-Nya, dan juga akan dimakamkan bersama-sama dengan-Nya oleh baptisan dalam kematian. Manusia menjadi satu dalam kematian-Nya, dan dengan segera menjadi satu dengan kebangkitan-Nya. Daging-daging dosa manusia sirna, hilang seutuhnya, lunglai kuasanya,berganti tubuh kuasa yang baru.
Runduk-Nya berganti tengadah, Dia melihat awan hitam berarak dan beberapa gagak menyeruak. Bau bangkai penyaliban meruah. Dengan sisa-sisa daya, Dia hendak menyeru Yang Sangat Dicintai-Nya. Dia rindu Ayahnya, rindu serindu-rindunya.
Elia, Elia! Lama sabakhtani?” Ia menyeru-Nya untuk kembali. Ruh-Nya meregang. Getar suaranya memenuhi perladangan Golgota. Menggema.
 Tangan-tangan surgawi tersingkap, sebuah tangga emas mempesona udara. Dia mendaki, membuka kembali pintu rumah-Nya di surga, pintu rumah Ayah-Nya. Daging telah melambaikan tangan kepada sukma. Firman-Nya kembali menjadi sebentuk tubuh mati. Penebusan abadi telah terlaksana. Kini, dosa-dosa segenap anak manusia tertebus dengan sempurna.
Tubuh beku-Nya diturunkan dari salib, lalu dengan pilu terbungkus linen yang putih tua. Liang pemakaman telah digali, pada sebuah bukit batu yang keras. Perlahan, Yusuf Arimatea, salah seorang murid-Nya, membaringkan ayat-ayat-Nya. Debu-debu beterbangan, memberikan penghormatan. Daging tanpa sukma. Sebelumnya, tentara yang berjaga menikam lambung-Nya dengan tombak, memastikan kematian. Mengucur darah dan air, menjadi satu warna merah.
Pilatus memerintahkan tentara-tentara datang menjaga makam-Nya yang bertanda batu besar, menantikan kebangkitan. Mereka takut, kebangkitan akan menyesatkan lebih banyak penduduk. Mereka telah tahu sebelumnya, Sang Ieshua Hamasyhiakh mewartakan kebangkitan-Nya setelah tiga hari penyaliban.
Fajar Ahad. Setelah hari Sabat, membangkitkan matahari dengan rona yang tidak biasa. Kedua Maria, mengenakan gaun peziarah, dengan sisa-sisa ketegaran mengunjungi pembaringan. Mendadak, tersingkaplah sebagian langit dalam penglihatan mereka. Tanah terguncang dan tergetar, mereka mencari perlindungan.
Tanah terus bergetar, sangat hebat, kedua Maria terperangah. Malaikat agung, dengan kebesarannya menuruni singgasana angkasa, membuat penjaga kubur ketakutan, dan mematung sewarna batu tua. Keagungan dan caranya turun membuat tanah tergetar dengan keras
“Jangan takut, Maria. Aku tahu, engkau mencari Dia, yang disalibkan itu. Ia tak ada lagi disini, ia telah bangkit,” Getar suaranya tidak seperti manusia. Agung, namun lembut seperti cahaya. Getaran tanah berhenti, namun langit masih seperti terbelah. Terkesima atas cahaya sang Malaikat.
“Mari, lihatlah ketempat Dia berbaring,” Lanjutnya dengan arif. Ia memerintahkan keduanya untuk mengabarkan yang lain, bahwa Dia telah bangkit, dan di Galilea, di Galilea, mereka akan berjumpa dengan kekasih manusia itu.
Dia menjumpai mereka sebelum di Galilea. Wajahnya agung, kehilangan nista. Darah-Nya bersih, sepenuhnya terbasuh. “Salam bagimu,”  Dengan kerinduan yang besar.
Rabuni...!” Maria memeluknya, airmatanya berdentangan. Wangi. Detak jantung Maria terasa oleh-Nya.
 Percakapan-percakapan selanjutnya berlangsung, seperti penggembala yang rindu ladangnya. Percakapan yang mampu menghentikan dentangan airmata Maria, tepat pada refrain tertingginya.  
“Jangan takut, pergilah dan katakan pada saudara-saudara-Ku, agar mereka ke Galilea, dan melihat Aku,” Kasihnya tergetar menjadi suara. Lembut dan agung, seperti firman itu sendiri. Maria begitu gembira, ia menyaksikan Tuhan bangkit dengan matanya sendiri. Sang Ieshua ingin menitahkan sesuatu pada muridnya di sana.
Di Galilea, kesebelas murid yang tersisa berkumpul dalam sebuah perjamuan. Wajah mereka sayu, menantikan kedatangan Guru dan Tuhan yang mereka kasihi.
“Damai sejahtera bagimu,” sapa-Nya. Tenang seperti danau.
Lambung dan tangannya disingkapkan, sebagai tanda. Luka-lukanya suci dan mengering. “Damai sejahtera bagimu, sama seperti Ayah mengutus Aku, kini saatnya Aku mengutus Kamu,”
“Terimalah Roh Kudus,” Ia menghembus murid-muridnya dengan lembut.  “Jika engkau mengampuni dosa seseorang, dosanya akan diampuni. Tetapi jika kamu menyatakan dosa, dosanya akan tetap ada,” Semuanya memejamkan mata, terasa energi putih mengaliri darah.
Di Galilea, di Galilea, Ia berfirman terakhir kalinya. Di Galilea, di Galilea, “Pergilah keseluruh dunia, beritakanlah injil kepada seluruh makhluk,” Rambut ikal-Nya berkibaran tersapa angin yang ringan. Busana putih tua-Nya menghablur bersama cahaya, menari-nari dalam sapaan angin pula.
“Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum,” Masih terbayang dimatanya, bagaimana penyaliban tiba untuk membaptis segenap manusia, upacara agung surgawi yang membebaskan manusia dari dosa-dosa masa lampaunya.
“Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya,” Ia berhenti sejenak. Menatap segenap wajah murid-muridnya. Tak ada yang kuasa menunduk, semua membalas tatapnya dengan cinta.
“Mereka akan mengusir setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka,” Angin terhenti.
“Mereka akan memegang ular, dan sekalipun minum racun maut, mereka tidak akan mendapatkan celaka; mereka akan meletakkan tangannya diatas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.”  Untuk terakhir kalinya, suaranya tergetar. Firman-Nya telah diakhiri.
Perlahan-lahan ia mendaki menara cahaya langit bersama malaikat, dan menembus surga yang Maha Tinggi. Ia mengambil pusara di sisi Elia, di sisi kanan-Nya.
****
Kenangan-kenangannya mengangkasa, ini saat-saat terakhirnya. Ia menatap kesebelas muridnya yang tersisa. Getir. Wajahnya diliputi cahaya suci dan tak urung juga muram. Ia menuju pembaringan, Tuhan telah genap memastikan janji-Nya. Jubah putihnya semakin terlihat tua. Kini ia bersembunyi dari kejaran tentara Romawi.
Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan menyelesaikan tugasmu...” Hatinya tergetar. Ia belum mendapatkan murid seperti harapannya. Hanya sebelas orang saja.  Hari itu telah tiba. Maryam, ibunya, hanya bisa berdoa dan terus mendekatkan diri pada Allah.
Israel teramat ingkar, entah dari batu seperti apa kepalanya diciptakan. Sang Rasul gelisah. Tugasnya teramat berat. Berbagai mukjizat telah turun. Dengan tangannya yang agung, dan sukmanya yang terhubung langsung dengan Yang Maha Hidup, rupaan tanah liat merpati menjadi hidup. Berkepak jauh.
 “Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa mukjizat dari Tuhanmu, aku membuatkanmu sebentuk burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi burung (Yang hidup) dengan seizin Allah.Masih terbayang tangannya yang lembut merupa burung dari tanah liat. 
Sukmanya terpusat langsung kepada kehidupan. Berkepak jauh, burung itu menjadi mukjizat yang indah. Mukjizat yang melambangkan kasih sayang yang beterbangan bersama manusia. Merpati putih, yang kini dijadikan lambang persaudaraan dan perdamaian manusia.
“Dan aku menyembuhkan seorang yang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak. Dan aku juga menghidupkan orang mati dengan seizin Allah;” Seorang buta, yang meminta padanya, juga akhirnya dapat menyelami warna-warna dunia dengan seksama, namun belum juga membuka hati mereka.
 “Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sungguh! Yang demikian itu adalah suatu tanda bagimu, jika kamu sungguh beriman!” Kata-kata mulia tersabdakan dengan indah. Keteguhan tersirat dari susunan kalimatnya. Namun tak juga menjemba hati manusia.
“Aku datang membenarkan Taurat yang datang sebelum aku,” Setengah tengadah ia bersabda. Keringatnya berdentingan seperti permata. Jubahnya hampir basah.
Kini matanya terpejam semakin dalam. Pejamnya adalah pejam para nabi. Matanya tertutup, tetapi hatinya tetap cemerlang, terbuka mengawasi peredaran dunia. Lebih cemerlang dari matanya sendiri.
Dan mengangkat kamu kepada-Ku...” Ia selalu rindu kepada Allah, rindu kepada yang menciptakannya. Rambutnya yang basah telah menyentuh sangga kepala. Firman Allah yang nuzul sebagai nubuat akhir kerasulannya teramat menggambarkan akhir yang sulit, yang akan menggetarkan hati manusia. Ia akan mendaki menuju Allah. Tugasnya yang pertama telah genap.
“Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” Angin bertiup dari surga, menawarkan keringatnya, namun ladang penggembalaan ini lebih panas karena hati manusia. Semakin banyak yang menentangnya.
“Karena itu, sembahlah Dia! Inilah jalan yang lurus!” Jalan kerasulannya teramat sulit. Kekuasaan menghidupkan, yang bahkan jarang dimiliki para rasul yang lain, tak juga menjadi air yang menetes perlahan dan menembus rongga batuan. Ia hanya meminta manusia menyembah Allah dengan cara yang benar dan indah.
Ia gelisah. Sendirian. Meski Allah dan segenap rahim-Nya selalu menyertai, tetapi seorang rasul hanya dapat disunggingkan hatinya dengan murid-murid yang setia.
“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku, untuk Allah?” Suaranya kembali tergetar bersama angin, namun kali ini tersampaikan kepada keduabelas hawari yang setia.
“Kami!” Jawab mereka tanpa ragu. “Kamilah penolong-penolong agama Allah!”
 “Serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir...” Pagi hari yang sejuk, pagi hari terakhir ia menyentuh wajah murid-muridnya dengan pandangan penuh kasih sayang dan rindu. Embun belum lama hilang. Kelak Allahnya yang terkasih akan membersihkan dirinya dari fitnah.
Barisan pepohonan mulai sayu, mengiringi berakhirnya masa kerasulan seorang yang mulia. Malaikat telah menjembanya. Siap mengantarnya menuju Yang Terkasih di Ar-Rafiq. Ia rindu, ingin bertemu Tuhannya.
“Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu...” Ia seorang hamba yang tak akan menyangsikan saat-saat kembali pada Tuhan. Ia tak akan sedikitpun mundur. Ia telah terbaring sempurna, dan memasuki alam tidur para nabi. Alam tidur fisik yang membiarkan hatinya tetap terbuka dan terhubung dengan Tuhan.
Hatinya telah bulat, ini bukan saat ketika kemanusiawiannya menghalangi kehendak Tuhan. Ia adalah rasul, pembawa risalah agung Injil. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Penyayang, dan bersiap menemui-Nya, beserta raga dan sukma. Dunia ini hanya akan seperti mimpi, dan kehidupan di dunia ini, hanyalah main-main dan seperti mimpi.
Kegetiran Sang Rasul memuncak, manakala Allah, Kekasihnya, menubuatkan akan ada perselisihan setelah kemoksaannya. Setelah ia naik ke sisi Kekasihnya itu. Manusia akan berselisih dengan keras.
Kelak, meskipun ia yang turun untuk membersihkan perselisihan itu, adalah luka yang luar biasa bagi seorang Rasul menyaksikan umatnya saling tikam. Luka yang teramat dalam, seperti ayah yang menyaksikan putera-puteranya saling membunuh.
Akhirnya, Allah, dengan perantara malaikat, mengangkatnya kelangit, dan menuju sisi-Nya dengan agung. Ruh dan raga, secara serentak. Kesebelas hawarinya berlinangan air mata, yang berdenting selayaknya dawai-dawai yang digetarkan nada-nada perpisahan.  
Dedaunan hening meski bergerak karena angin. Cahaya yang masuk lewat jendela berusaha meredam tangis para hawari, namun Sang Rasul memang amat dicintai. Seorang muridnya yang lain, tengah berjuang menghadapi penyaliban.
Ya, Lapangan Golgota. Menghadapi tuduhan sebagai Rasul penyesat. Tetapi ia bahagia, wajahnya kini serupa dengan wajah orang yang dicintainya. Rambutnya selalu basah, dan harum dengan kesturi surga. Fisiknya diserupakan dengan fisik Sang Rasul. Dari wajahnya cahaya kenabian Sang Rasul menyeruak pula, semakin menyenangkan hatinya. Ia paham, sepaham-pahamnya, hari itu ia akan mati. Tetapi ia mati demi orang yang dicintainya. Mahkota duri-duri tajam, tidaklah setajam duri perjalanannya menegakkan Injil.
Paku telah menembus kedua tangannya, lalu rasa sakit menghunjam hingga kedasar hati. Darah menjadi hujan deras. Tali semakin erat menjerat, tetapi rasa sakit semakin membuatnya cinta kepada Rasul dan Allah. Kematian yang ia tuju, adalah kematian yang indah. Cambuk dan gada berulang-ulang memisahkan kulit dengan dagingnya. Menarik-narik ruhnya dari tubuh yang hancur disiksa.
Ia tetap akan ingat, bagaimana Sang Rasul meminta seseorang menggantikan raganya, agar kesebelas murid yang lain selamat. Sang Rasul berjanji, ia akan datang kembali menjelang akhir dunia, dan berkumpul bersama mereka dalam surga yang diliputi cahaya. Janji seorang rasul adalah seperti ayat-ayat wahyu itu sendiri.
Cahaya mengiringi perjalanannya diatas kayu salib, seperti pagi. Rambutnya terliputi darah yang mengering. Luka-lukanya begitu dalam. Wajahnya sudah mengeras dan menyunggingkan senyuman seorang martir kenabian. Matahari baru saja terbit, sinarnya sedikit meredup, tersamar dengan berakhirnya tugas kehidupan dua anak manusia yang mulia. Merah jingga yang maha agung.
Di saat yang sama, Sang Rasul, bangun dari mimpi duniawi menuju kenyataan ukhrawi. Menuju cinta sejatinya. Dunia ini adalah alam mimpi, dan kematian hanyalah seperti air yang digunakan untuk membangunkan seseorang dari lelapnya. Meski, itu berarti meninggalkan umat yang dicintainya, beserta kesebelas hawari, dalam perselisihan yang abadi.
Sang Rasul mengalami mimpi yang berat dan panjang, dan kelak akan bermimpi kembali pada tidur duniawinya menjelang kiamat. Menjadi Messiah. Nuzulnya untuk kedua kali akan menjelaskan misteri yang turut tersalib selama ribuan tahun setelahnya.
“...Lalu Aku memutuskan hal-hal yang kamu selalu berselisih darinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar