Di
Golgota, di Golgota, langit semakin memancarkan mendung biru tua, yang semakin
menggelayut di udara. Perarakan telah sampai, Simon yang malang memancangkan
salib-Nya diatas bukit. Ikatan kepala menandai siksa, Inilah Dia Raja Orang Yahudi, menegaskan alasan penyaliban. Dua
penyamun, yang juga disalib, tepat di kanan dan di kiri tiang salib-Nya hampir
mati namun dengan sendu mengawasi.
“Hai,
Engkau yang ingin meruntuhkan Bait Suci, dan membangunnya kembali dalam tiga
hari! Selamatkan diri-Mu jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!”
Beberapa yang hadir disana menggelengkan kepala.
Rambut-Nya
basah dengan darah. Dahi-Nya tersaput mahkota duri, dan diliputi noktah hitam.
Darah campur debu. Tak ada yang memahami dengan jernih pengorbanan ruh dan
daging yang menyatu menjadi firman itu.
“Orang
lain diselamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan? Ia Raja
Israel? Jika Ia turun dari salib itu, kami akan percaya kepada-Nya!” Ludah
muncrat dari mulut Hakim, celaan yang panjang menyeruak. Jam duabelas, tepat
ketika pendulumnya berdentum.
Kegelapan
penyaliban tiba. Matahari lama terpejam tidak pada waktunya. Tanah hitam,
dedaunan juga hitam. Mata hati kasih sayang manusia turut menghitam. Tiga jam lamanya, kehitaman dan kegelapan
meliputi tanah, semak, dan setiap jiwa manusia. Golgota kehilangan cahaya.
Tepi-tepi langit tak terlihat, gagak juga kehilangan arah dan hinggap
sekenanya.
Tangannya
yang kering terhunjam bersama paku besar.
Kakinya terikat dengan erat, lagi-lagi bersaput darah. Rusuk-rusuk
kedagingan-Nya menyembul terbungkus kulit, dan wajah teguhnya semakin
menyerukan kegetiran. Rasa sakit semakin erat bersama dosa-dosa manusia yang
ditanggungnya. Iesyhua Hamasyhiakh.
Ia
membabtis segenap manusia dengan kematian Daging-Nya, dan juga akan dimakamkan
bersama-sama dengan-Nya oleh baptisan dalam kematian. Manusia menjadi satu
dalam kematian-Nya, dan dengan segera menjadi satu dengan kebangkitan-Nya.
Daging-daging dosa manusia sirna, hilang seutuhnya, lunglai kuasanya,berganti
tubuh kuasa yang baru.
Runduk-Nya
berganti tengadah, Dia melihat awan hitam berarak dan beberapa gagak menyeruak.
Bau bangkai penyaliban meruah. Dengan sisa-sisa daya, Dia hendak menyeru Yang
Sangat Dicintai-Nya. Dia rindu Ayahnya, rindu serindu-rindunya.
“Elia, Elia! Lama sabakhtani?” Ia
menyeru-Nya untuk kembali. Ruh-Nya meregang. Getar suaranya memenuhi
perladangan Golgota. Menggema.
Tangan-tangan surgawi tersingkap, sebuah
tangga emas mempesona udara. Dia mendaki, membuka kembali pintu rumah-Nya di
surga, pintu rumah Ayah-Nya. Daging telah melambaikan tangan kepada sukma.
Firman-Nya kembali menjadi sebentuk tubuh mati. Penebusan abadi telah
terlaksana. Kini, dosa-dosa segenap anak manusia tertebus dengan sempurna.
Tubuh
beku-Nya diturunkan dari salib, lalu dengan pilu terbungkus linen yang putih
tua. Liang pemakaman telah digali, pada sebuah bukit batu yang keras. Perlahan,
Yusuf Arimatea, salah seorang murid-Nya, membaringkan ayat-ayat-Nya. Debu-debu
beterbangan, memberikan penghormatan. Daging tanpa sukma. Sebelumnya, tentara yang
berjaga menikam lambung-Nya dengan tombak, memastikan kematian. Mengucur darah
dan air, menjadi satu warna merah.
Pilatus
memerintahkan tentara-tentara datang menjaga makam-Nya yang bertanda batu besar,
menantikan kebangkitan. Mereka takut, kebangkitan akan menyesatkan lebih banyak
penduduk. Mereka telah tahu sebelumnya, Sang Ieshua Hamasyhiakh mewartakan
kebangkitan-Nya setelah tiga hari penyaliban.
Fajar
Ahad. Setelah hari Sabat, membangkitkan matahari dengan rona yang tidak biasa.
Kedua Maria, mengenakan gaun peziarah, dengan sisa-sisa ketegaran mengunjungi
pembaringan. Mendadak, tersingkaplah sebagian langit dalam penglihatan mereka.
Tanah terguncang dan tergetar, mereka mencari perlindungan.
Tanah
terus bergetar, sangat hebat, kedua Maria terperangah. Malaikat agung, dengan
kebesarannya menuruni singgasana angkasa, membuat penjaga kubur ketakutan, dan
mematung sewarna batu tua. Keagungan dan caranya turun membuat tanah tergetar dengan
keras
“Jangan
takut, Maria. Aku tahu, engkau mencari Dia, yang disalibkan itu. Ia tak ada
lagi disini, ia telah bangkit,” Getar suaranya tidak seperti manusia. Agung,
namun lembut seperti cahaya. Getaran tanah berhenti, namun langit masih seperti
terbelah. Terkesima atas cahaya sang Malaikat.
“Mari,
lihatlah ketempat Dia berbaring,” Lanjutnya dengan arif. Ia memerintahkan
keduanya untuk mengabarkan yang lain, bahwa Dia telah bangkit, dan di Galilea,
di Galilea, mereka akan berjumpa dengan kekasih manusia itu.
Dia
menjumpai mereka sebelum di Galilea. Wajahnya agung, kehilangan nista.
Darah-Nya bersih, sepenuhnya terbasuh. “Salam bagimu,” Dengan kerinduan yang besar.
“Rabuni...!” Maria memeluknya, airmatanya
berdentangan. Wangi. Detak jantung Maria terasa oleh-Nya.
Percakapan-percakapan selanjutnya berlangsung,
seperti penggembala yang rindu ladangnya. Percakapan yang mampu menghentikan
dentangan airmata Maria, tepat pada refrain tertingginya.
“Jangan
takut, pergilah dan katakan pada saudara-saudara-Ku, agar mereka ke Galilea,
dan melihat Aku,” Kasihnya tergetar menjadi suara. Lembut dan agung, seperti
firman itu sendiri. Maria begitu gembira, ia menyaksikan Tuhan bangkit dengan
matanya sendiri. Sang Ieshua ingin menitahkan sesuatu pada muridnya di sana.
Di
Galilea, kesebelas murid yang tersisa berkumpul dalam sebuah perjamuan. Wajah
mereka sayu, menantikan kedatangan Guru dan Tuhan yang mereka kasihi.
“Damai
sejahtera bagimu,” sapa-Nya. Tenang seperti danau.
Lambung
dan tangannya disingkapkan, sebagai tanda. Luka-lukanya suci dan mengering.
“Damai sejahtera bagimu, sama seperti Ayah mengutus Aku, kini saatnya Aku
mengutus Kamu,”
“Terimalah
Roh Kudus,” Ia menghembus murid-muridnya dengan lembut. “Jika engkau mengampuni dosa seseorang,
dosanya akan diampuni. Tetapi jika kamu menyatakan dosa, dosanya akan tetap
ada,” Semuanya memejamkan mata, terasa energi putih mengaliri darah.
Di
Galilea, di Galilea, Ia berfirman terakhir kalinya. Di Galilea, di Galilea, “Pergilah
keseluruh dunia, beritakanlah injil kepada seluruh makhluk,” Rambut ikal-Nya
berkibaran tersapa angin yang ringan. Busana putih tua-Nya menghablur bersama
cahaya, menari-nari dalam sapaan angin pula.
“Siapa
yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya
akan dihukum,” Masih terbayang dimatanya, bagaimana penyaliban tiba untuk
membaptis segenap manusia, upacara agung surgawi yang membebaskan manusia dari
dosa-dosa masa lampaunya.
“Tanda-tanda
ini akan menyertai orang-orang yang percaya,” Ia berhenti sejenak. Menatap
segenap wajah murid-muridnya. Tak ada yang kuasa menunduk, semua membalas
tatapnya dengan cinta.
“Mereka
akan mengusir setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa
yang baru bagi mereka,” Angin terhenti.
“Mereka
akan memegang ular, dan sekalipun minum racun maut, mereka tidak akan
mendapatkan celaka; mereka akan meletakkan tangannya diatas orang sakit, dan
orang itu akan sembuh.” Untuk terakhir
kalinya, suaranya tergetar. Firman-Nya telah diakhiri.
Perlahan-lahan
ia mendaki menara cahaya langit bersama malaikat, dan menembus surga yang Maha
Tinggi. Ia mengambil pusara di sisi Elia, di sisi kanan-Nya.
****
Kenangan-kenangannya
mengangkasa, ini saat-saat terakhirnya. Ia menatap kesebelas muridnya yang
tersisa. Getir. Wajahnya diliputi cahaya suci dan tak urung juga muram. Ia
menuju pembaringan, Tuhan telah genap memastikan janji-Nya. Jubah putihnya
semakin terlihat tua. Kini ia bersembunyi dari kejaran tentara Romawi.
“Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan
menyelesaikan tugasmu...” Hatinya tergetar. Ia belum mendapatkan murid
seperti harapannya. Hanya sebelas orang saja. Hari itu telah tiba. Maryam, ibunya, hanya
bisa berdoa dan terus mendekatkan diri pada Allah.
Israel
teramat ingkar, entah dari batu seperti apa kepalanya diciptakan. Sang Rasul
gelisah. Tugasnya teramat berat. Berbagai mukjizat telah turun. Dengan
tangannya yang agung, dan sukmanya yang terhubung langsung dengan Yang Maha
Hidup, rupaan tanah liat merpati menjadi hidup. Berkepak jauh.
“Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa
mukjizat dari Tuhanmu, aku membuatkanmu sebentuk burung, lalu aku meniupnya,
maka ia menjadi burung (Yang hidup) dengan seizin Allah.” Masih terbayang tangannya yang lembut merupa burung dari tanah
liat.
Sukmanya
terpusat langsung kepada kehidupan. Berkepak jauh, burung itu menjadi mukjizat
yang indah. Mukjizat yang melambangkan kasih sayang yang beterbangan bersama
manusia. Merpati putih, yang kini dijadikan lambang persaudaraan dan perdamaian
manusia.
“Dan
aku menyembuhkan seorang yang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit
sopak. Dan aku juga menghidupkan orang mati dengan seizin Allah;” Seorang buta,
yang meminta padanya, juga akhirnya dapat menyelami warna-warna dunia dengan
seksama, namun belum juga membuka hati mereka.
“Dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sungguh! Yang
demikian itu adalah suatu tanda bagimu, jika kamu sungguh beriman!” Kata-kata
mulia tersabdakan dengan indah. Keteguhan tersirat dari susunan kalimatnya.
Namun tak juga menjemba hati manusia.
“Aku
datang membenarkan Taurat yang datang sebelum aku,” Setengah tengadah ia bersabda. Keringatnya berdentingan seperti
permata. Jubahnya hampir basah.
Kini
matanya terpejam semakin dalam. Pejamnya adalah pejam para nabi. Matanya
tertutup, tetapi hatinya tetap cemerlang, terbuka mengawasi peredaran dunia.
Lebih cemerlang dari matanya sendiri.
“Dan mengangkat kamu kepada-Ku...” Ia
selalu rindu kepada Allah, rindu kepada yang menciptakannya. Rambutnya yang
basah telah menyentuh sangga kepala. Firman Allah yang nuzul sebagai nubuat
akhir kerasulannya teramat menggambarkan akhir yang sulit, yang akan
menggetarkan hati manusia. Ia akan mendaki menuju Allah. Tugasnya yang pertama
telah genap.
“Sesungguhnya
Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” Angin bertiup dari surga, menawarkan keringatnya,
namun ladang penggembalaan ini lebih panas karena hati manusia. Semakin banyak
yang menentangnya.
“Karena
itu, sembahlah Dia! Inilah jalan yang lurus!” Jalan kerasulannya teramat sulit.
Kekuasaan menghidupkan, yang bahkan jarang dimiliki para rasul yang lain, tak
juga menjadi air yang menetes perlahan dan menembus rongga batuan. Ia hanya
meminta manusia menyembah Allah dengan cara yang benar dan indah.
Ia
gelisah. Sendirian. Meski Allah dan segenap rahim-Nya selalu menyertai, tetapi
seorang rasul hanya dapat disunggingkan hatinya dengan murid-murid yang setia.
“Siapakah
yang akan menjadi penolong-penolongku, untuk Allah?” Suaranya kembali tergetar
bersama angin, namun kali ini tersampaikan kepada keduabelas hawari yang setia.
“Kami!”
Jawab mereka tanpa ragu. “Kamilah penolong-penolong agama Allah!”
“Serta
membersihkan kamu dari orang-orang kafir...” Pagi hari yang sejuk, pagi
hari terakhir ia menyentuh wajah murid-muridnya dengan pandangan penuh kasih
sayang dan rindu. Embun belum lama hilang. Kelak Allahnya yang terkasih akan
membersihkan dirinya dari fitnah.
Barisan
pepohonan mulai sayu, mengiringi berakhirnya masa kerasulan seorang yang mulia.
Malaikat telah menjembanya. Siap mengantarnya menuju Yang Terkasih di Ar-Rafiq.
Ia rindu, ingin bertemu Tuhannya.
“Kemudian hanya kepada
Akulah kembalimu...” Ia seorang hamba yang tak akan
menyangsikan saat-saat kembali pada Tuhan. Ia tak akan sedikitpun mundur. Ia
telah terbaring sempurna, dan memasuki alam tidur para nabi. Alam tidur fisik
yang membiarkan hatinya tetap terbuka dan terhubung dengan Tuhan.
Hatinya
telah bulat, ini bukan saat ketika kemanusiawiannya menghalangi kehendak Tuhan.
Ia adalah rasul, pembawa risalah agung Injil. Ia menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Yang Maha Penyayang, dan bersiap menemui-Nya, beserta raga dan sukma. Dunia
ini hanya akan seperti mimpi, dan kehidupan di dunia ini, hanyalah main-main
dan seperti mimpi.
Kegetiran
Sang Rasul memuncak, manakala Allah, Kekasihnya, menubuatkan akan ada
perselisihan setelah kemoksaannya. Setelah ia naik ke sisi Kekasihnya itu.
Manusia akan berselisih dengan keras.
Kelak,
meskipun ia yang turun untuk membersihkan perselisihan itu, adalah luka yang
luar biasa bagi seorang Rasul menyaksikan umatnya saling tikam. Luka yang
teramat dalam, seperti ayah yang menyaksikan putera-puteranya saling membunuh.
Akhirnya,
Allah, dengan perantara malaikat, mengangkatnya kelangit, dan menuju sisi-Nya
dengan agung. Ruh dan raga, secara serentak. Kesebelas hawarinya berlinangan
air mata, yang berdenting selayaknya dawai-dawai yang digetarkan nada-nada
perpisahan.
Dedaunan
hening meski bergerak karena angin. Cahaya yang masuk lewat jendela berusaha
meredam tangis para hawari, namun Sang Rasul memang amat dicintai. Seorang muridnya
yang lain, tengah berjuang menghadapi penyaliban.
Ya,
Lapangan Golgota. Menghadapi tuduhan sebagai Rasul penyesat. Tetapi ia bahagia,
wajahnya kini serupa dengan wajah orang yang dicintainya. Rambutnya selalu
basah, dan harum dengan kesturi surga. Fisiknya diserupakan dengan fisik Sang
Rasul. Dari wajahnya cahaya kenabian Sang Rasul menyeruak pula, semakin
menyenangkan hatinya. Ia paham, sepaham-pahamnya, hari itu ia akan mati. Tetapi
ia mati demi orang yang dicintainya. Mahkota duri-duri tajam, tidaklah setajam
duri perjalanannya menegakkan Injil.
Paku
telah menembus kedua tangannya, lalu rasa sakit menghunjam hingga kedasar hati.
Darah menjadi hujan deras. Tali semakin erat menjerat, tetapi rasa sakit
semakin membuatnya cinta kepada Rasul dan Allah. Kematian yang ia tuju, adalah
kematian yang indah. Cambuk dan gada berulang-ulang memisahkan kulit dengan
dagingnya. Menarik-narik ruhnya dari tubuh yang hancur disiksa.
Ia
tetap akan ingat, bagaimana Sang Rasul meminta seseorang menggantikan raganya,
agar kesebelas murid yang lain selamat. Sang Rasul berjanji, ia akan datang
kembali menjelang akhir dunia, dan berkumpul bersama mereka dalam surga yang
diliputi cahaya. Janji seorang rasul adalah seperti ayat-ayat wahyu itu
sendiri.
Cahaya
mengiringi perjalanannya diatas kayu salib, seperti pagi. Rambutnya terliputi
darah yang mengering. Luka-lukanya begitu dalam. Wajahnya sudah mengeras dan
menyunggingkan senyuman seorang martir kenabian. Matahari baru saja terbit,
sinarnya sedikit meredup, tersamar dengan berakhirnya tugas kehidupan dua anak
manusia yang mulia. Merah jingga yang maha agung.
Di
saat yang sama, Sang Rasul, bangun dari mimpi duniawi menuju kenyataan ukhrawi.
Menuju cinta sejatinya. Dunia ini adalah alam mimpi, dan kematian hanyalah
seperti air yang digunakan untuk membangunkan seseorang dari lelapnya. Meski,
itu berarti meninggalkan umat yang dicintainya, beserta kesebelas hawari, dalam
perselisihan yang abadi.
Sang
Rasul mengalami mimpi yang berat dan panjang, dan kelak akan bermimpi kembali
pada tidur duniawinya menjelang kiamat. Menjadi Messiah. Nuzulnya untuk kedua
kali akan menjelaskan misteri yang turut tersalib selama ribuan tahun
setelahnya.
“...Lalu Aku memutuskan
hal-hal yang kamu selalu berselisih darinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar