Entah
kenapa aku tak lagi menikmati main hujan semenjak aku bertengkar dengan kamu.
Beratus-ratus hujan kita selami bersama, hingga basah dan bajumu terawang. Aku
senyum saja melihatnya. Jika kuingatkan, kamu pasti marah. Ya, kan, Sayang?
Hujan
yang turun tidak pernah sama ketika kamu masih kamu yang sama. Selalu ada bulir
yang berbeda di dalamnya. Susul menyusul. Tetapi selalu turun bersama-sama,
sebab tidak disebut hujan jika tidak bersama-sama.
Suatu
ketika, aku keluar bersamamu, ada mendung dan pelangi menari di ambang angkasa.
Pertanda akan hujan. Hangat, deras, dan
membasahi hingga lapisan kulit terdalam.
Yang
turun, adalah kupu-kupu, hujan kesukaanku dan kesukaanmu. Kupu-kupu biru,
lembut dan mempesona. Di sayapnya ada mata, mirip sekali dengan matamu. Sendu,
perlahan-lahan akan memasuki pula retina mataku. Retina mata milik kita.
Ya,
dari kupu-kupu aku tahu kita memiliki mata yang sama. Kamu juga begitu, kan,
Sayang? Tersenyumlah, matamu akan semakin indah. Beterbangan bersama kupu-kupu.
Setiap hujan kupu-kupu, aku menjadi seperti anak kecil, menunjuk-nunjuk dan
berseru: itu matamu!
Kupu-kupunya
hangat, aku pernah dihinggapinya. Kucoba menangkap satu, dan kuberikannya
untukmu, dan kamu terima dengan tangan terbuka, halus, dan kupu-kupu itu
menyatu dengan tanganmu.
Ingat
kan, Sayang? Waktu aku berkata, tanganmu itu sayap kupu-kupu, itu benar-benar
sayap kupu-kupu yang menyatu dengan tanganmu. Kamu pernah mengajak aku
melayang-layang di udara dengan kepakan tanganmu.
Kita
melihat bersama kota kita, di malam hari yang indah. Lampu-lampu jalan dan
kendaraan menjadi kunang-kunang dan turut melayang bersama kita. Kita menari di
udara, membuat bentuk-bentuk indah bersama kunang-kunang jalan raya.
Ikan.
Kupu-kupu.
Kepiting.
Kupu-kupu.
Hati.
Terus
menari.
Dan
kupu-kupu lagi, karena di sayapnya ada matamu.
“Kamu
mau melayang lagi, Sayang?” Kataku menawarkan.
“Aku
lelah, kita pulang saja” Kamu menolak.
Hujan
bulan Desember teramat indah, karena bersamanya, kembang api dan aroma tahun
baru turun dari langit. Ya, seperti turunnya cahaya penyelamat dunia di akhir
zaman.
Cahaya.
Tiba-tiba
aku ingin termenung.
Cahaya.
Hilang
dari matamu yang seperti api lilin. Hangat. Pada hujan ini, aku mengajakmu
bermain hingga basah dan terawang, tetapi kamu-entah kenapa-menolak dan
berbalik badan menuju teduhan.
Kamu
berjalan satu-satu seperti ragu-ragu. Hujanpun melambat. Tahun baru juga
melambat. Kembang api merah dan biru menyatu jadi ungu, dan tepat berpendar di
hadapan kita. Kamu tetap tak peduli.
Baiklah,
mungkin kamu sakit, dan sudah saatnya kita beristirahat. Kamu memang sangat
rawan, mudah lelah dan menangis. Hujan menurunkan kesehatan kita bersama.
Kelopak
matamu biru, itu tidak baik. Istirahatlah, biar kubelai pipimu yang indah, dan
kujemba tanganmu yang seperti kupu-kupu. Aku takut tanganmu meliuk-liuk dan tidak
kembali.
Entah
kenapa, kamu tetap menolak.
Kamu
masih melangkah satu-satu dan ragu-ragu. Tertunduk. Sepasang sayap kupu-kupu
jemarimu meliuk pada wajah, yang kamu tutupi begitu rahasia. Mendung datang,
sebentar lagi hujan yang menjadi kesukaan kita, Sayang. Ada apa?
Kamu
mempercepat langkah, mataku tak sanggup lagi mengejarnya. Aku memang tak mampu
melihat dalam kegelapan. Kesehatanku jauh menurun. Nafasku telah basah, kadang
darah turut menyela percakapan diantara kita. Kenapa pula denganmu?
Kerudungmu
masih aku temukan berkibaran seperti kupu-kupu pada sudut jalan, sebelum kamu
berbelok, pulang. Masuk kedalam rumah. Bibirmu yang selalu menerbangkan senyum
menguncup, dan daun kering satu-satu berguguran di sana. Di halaman rumah yang
masih dapat aku lihat.
Pada
percakapan-percakapan pembuka selanjutnya, kamu menjadi penuh rahasia. Menahan
hujan yang pernah kita nikmati bersama. Entah kenapa.
Kupu-kupu
masih di tanganmu, tetapi aku ragu akan kamu bagikan kepadaku, sebab mata di
sayapnya sudah menutup dan menahan sesuatu. Bulu mata yang lentik, telah hampir
basah dan birunya memudar, seperti terkena sisa hujan pada jendela.
Kita-untuk
pertama kalinya-tidak mengakhiri percakapan, dan menutupnya begitu saja. Segera
menghilang, menuju taman kupu-kupu milik sendiri, dan merenung tentang kamu,
juga kamu merenung tentang aku.
Ada
yang tak sempat kita perbincangkan, tetapi masih juga tentang hujan, memang.
Ya, hujan yang tak sempat kita nikmati bersama.
“Kamu
berubah” Kataku lirih. Gerimis mulai turun. Jendela berdenting terkena
tetesnya.
“Kenapa,
kamu mengatakan seperti itu?” Jawabmu lambat, merenungkan apa yang terjadi.
“Kamu
dulu suka hujan, sampai kedinginan” Aku menjawab hati-hati.
“Ya,
aku sadar. Entahlah, mungkin terlalu banyak yang harus aku kerjakan sendirian”
Katamu, lalu tak berapa lama melepaskan tanganku.
Kita
tetap berdiri berhadapan mata, tetapi tak lama kamu menunduk.
“Berceritalah,
tak apa,” Kataku, menerka-nerka.
“Tidak,
tidak ada yang terjadi”
“Bagaimana
jika hujan tadi sore-yang masih tergenang di kakimu-menceritakan padaku tentang
kamu dan isi hatimu?”
“Kamu
bercanda, tidak mungkin genangan sisa hujan dapat bercerita” Kamu lupa?
Bukankah yang memberitahukan kepadamu aku mencintaimu adalah hujan?
Aku
menghela nafas panjang sejenak “Kamu tidak percaya? Tapi jika aku
mengatakannya, bagaimana?”
Kamu
semakin tertunduk, satu-satu kupu-kupu memisahkan diri dari tanganmu.
“Tahukah
kamu, mengenai hujan kita bersama? Sayang, aku tak suka main hujan. Sungguh”
Kata-katamu akhirnya mengalir dalam darahku, dan segera menjadi bisa penyiksa
yang memperlambat waktu.
“Kenapa?”
Aku tercekat.
“Kamu
sakit, dan aku tahu-kamu-tak boleh lelah. Kamu pernah bercerita, Sayang, jika
nafasmu terbasahi hujan, dan aku sungguh benci memperbasah nafasmu” Kamu
menutupi matamu dengan setengah sayap kupu-kupu.
“Aku
lelah bermain bersamamu, membohongimu. Aku benci hujan, karena itu menghabiskan
kesehatanmu. Jadi, biarkan aku berjalan sendirian dan mencari teduhan”
“Aku
lelah mengkhawatirkanmu” Kamu memejamkan sayap. Nafasmu terdengar dalam.
“Kamu
tidak apa-apa, kan, Sayang?”
Aku
terdiam. Aku menangis. Sungguh, aku telah menangis sejak setengah jam yang
lalu, dengan cara yang tak akan pernah dapat dimengerti wanita yang
menyayangiku.
Hujan
kupu-kupu kembali turun, tetapi kini membasahi. Kupu-kupu sudah kembali menjadi
air. Hujan kembali memiliki kecepatan biasanya. Dingin. Gemeletuk di jendela.
“Kamu
tahu, Sayang?” Aku mulai larut dalam hujan. Tanganku menetes-netes, seperti
lilin yang akan mati.
“Aku
juga benci hujan. Aku tidak pernah tulus bermain di dalamnya. Sungguh”
Kamu
membuka sayap di matamu, dan memandangku dengan terbuka. Sayapmu sembab, tetapi
tersamarkan hujan. Ya, kita kali ini berada dalam hujan bukan untuk
bermain-main-untuk pertama kalinya-dan kita terbasahi.
“Kenapa?”
Bibirmu mengepakkan sayap kupu-kupu. Getir.
“Karena
selalu terjadi di matamu”
Seluruh
kupu-kupu telah terbang sempurna meninggalkan tubuhmu, dan matamu hanya tinggal
diliputi satu sayap. Aku larut sempurna dalam genangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar