Tinggal Dibaca.
Jangan diingat. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata
merah darah.
“Engkau yakin, akan melanjutkan tahap ini?”
suaranya sedikit bergetar, seperti mengingat-ingat sesuatu. Jubah putihnya
berbau obat keras, sangat menusuk. Mata merah darah.
“Engkau mungkin hanya akan kehilangan
beberapa jam, atau berbulan-bulan.” Mata merah darah.
“Aku yakin, tidak sakit kan?” Jawabku. Aku
memang bosan dengan rasa sakit, meski sedikit kebal. Mata merah darah.
“Ceritakanlah semuanya,” Mata merah darah.
“Jangan berhenti sebelum aku perintahkan” Mata
merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata
merah darah.
Aku
agak termenung, ingatan-ingatan tentang masa lalu memang terkadang sulit
diceritakan. Aku seorang biasa, keuanganku biasa saja. Cukup sehari-hari dan
kadang makan bersama rekan-rekan terdekat. Mata merah darah.
Aku mahasiswa, dan pekerjaanku adalah
meneliti segala hal tentang kebudayaan. Aku pernah meneliti masyarakat urban
kota satelit jakarta, dan menemui berbagai masalah dari orang-orang tua dan
terpinggir. Mata merah darah.
Tetapi,
mungkin karena dualisme tugas itu, aku kelelahan. Tubuhku memang sangat lemah.
Aku sedang menjalani terapi, tidak boleh tidak minum sejam pun. Kulitku akan
mengering, bibirku akan pecah. Aku memiliki kemampuan meranggas. Mataku sudah
jauh menurun, terlalu peka. Aku tak
mampu lagi melihat dalam cahaya terang. Berat badanku bahkan tinggal dua
pertiganya. Mata merah darah.
“Lanjutkan,
masih banyak tentu,” Ia terus memaksa aku bercerita. Mata merah darah.
Aku
harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
Caraku
mengajar sepertinya memang terbilang keras. Bahkan, untuk kesatuan khusus
Pramuka, kesatuan militer mata elang. Pasukan yang khusus hanya diturunkan pada
missi serius dan berbahaya. Mencari informasi. Detasemen mata-mata kepramukaan
tingkat penegak, yang memiliki kemampuan bertahan tanpa istirahat selama dua
hari berturut-turut. Mata merah darah.
Batu
dan kayu menjadi alat latih mereka. Udara panas ditengah hujan, hujan ditengah
matahari terik, bahkan bekerja tengah malam, semuanya aku ajarkan. Menyusup ketengah kerusuhan, menjadi pemimpin
sebuah organisasi yang kita susupi dengan cepat, bahkan menjadi sutradara
sebuah peristiwa, rekayasa sosial, dengan sempurna tanpa diketahui para pemain.
Mata merah darah.
Prestasi sudah banyak diraih, dari kota
hingga nasional. Mata elang sebelum kepelatihanku berada dalam kondisi hampir
bubar. Dengan kerjasama yang baik, semuanya berhasil disatukan, dan organisasi
ini menjadi pemuka dimana-mana. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata
merah darah.
Hingga
pada suatu ketika, seorang pemain lepas dari kontrol sutradara. Pemain kelas
kakap. Ia menggugat aku, ia menyatakan
ketidaksukaannya, namun tidak didepan
latar panggung. Ia bergerak di balik layar, dengan mengumpulkan para pemain
lain untuk menggulingkan aku, si sutradara. Mata merah darah.
Ditengah
kekisruhan, aku berhenti. Aku memutuskan menyelamatkan organisasi yang aku bangun
dengan susah payah, dan menyingkir dari kemungkinan terburuk. Aku ingin hilang.
Aku ingin dilupakan orang. Mata merah darah.
Mungkin
mereka belum siap menerima gaya kepelatihan yang keras, yang memang bukan gaya
Pramuka. Mata elang, sebagaimana detasemen Sandiyudha, memerlukan teknik
tingkat tinggi. Menyerupai beladiri. Mata merah darah.
Mungkin
mereka bertanya-tanya, darimana aku mendapat kemampuan seperti itu, dimana
seniorku bahkan tak pernah mengajarkannya. Kemampuan yang mampu menembus malam.
Kemampuan menembus rasa takut seseorang, dan mengubahnya menjadi kepatuhan. Mata
merah darah.
Aku
ingin hilang, terlalu banyak sisi lainku yang bertumpuk dan membingungkan.
Bahkan untuk pemilik jatidiri itu sendiri. Kemampuan-kemampuan yang aneh bagi
banyak orang, dan aku menguasainya. Dengan beberapa teknik yang bahkan hanya
dikuasai seorang militer. Kelas atas. Mata merah darah.
“Engkau
haus?” sambungnya. Mata merah darah.
“Ya,
berikan aku air,” Mata merah darah.
Aku
harus melupakan sesuatu. Harus. Mata merah darah.
Aku
mencintai seorang gadis, yang satu almamater denganku. Namanya indah sekali,
jika disebut namanya, akan terbayang hutan yang wangi, dengan semak-semak basah
muncul disela pepohonan. Mata merah darah.
Ia mengenakan jilbab, caranya khas sekali. Ia
akan melilitkan jilbab dengan satu jarum, dan melilitkan kedua sisi lainnya
kebahu, tanpa mengikatkan atau mengaitkannya dengan jarum. Ia suka warna
abu-abu dan coklat tanah, seperti matanya. Mata merah darah.
Ya, matanya coklat tanah. Seperti tanah yang
kita gunakan untuk menanam cinta setiap harinya. Tanah yang diambil dari
lahan-lahan surga dan dipadatkan menjadi matanya. Mata merah darah.
Mata itu, satu-satunya mata yang mampu
menatap kearahku dan langsung menembus kedalam hati. Menghunjam. Meredakan
amarah. Kata orang, mataku dingin, tanpa ekspresi namun tajam. Entah kenapa ia
tidak berpikir demikian. Mata merah darah.
Ia kuliah ditempat yang teramat jauh. Jauh
dari kota asalku dan asalnya. Ia terpilih kesana dan sempat bimbang, ia begitu
khawatir dengan masa depannya. Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata
merah darah.
“Apakah aku ambil kesempatan ini? Aku tak
dapat berpisah dengan orangtuaku,” Katanya, sendu. Mata merah darah.
“Ambillah, orang tuamu akan senang, kamu akan
menjadi wanita yang kuat. Mandiri, hingga kelak bisa bertahan tanpa seorangpun”
Kataku mencoba menegarkan. Mata merah darah.
Dalam asrama, memang ia nampak senang.
Teman-teman barunya menjadi sahabat karib, seperti satu tubuh. Aku menjemputnya
setiap akhir pekan, langsung ke asrama. Ia senang, meski setelahnya aku akan
sakit. Tetapi aku tak memberitahunya sama sekali. Ia pasti akan marah, dan tak
ingin kujemput lagi dengan alasan kesehatanku akan memburuk. Mata merah darah.
“Kau
tampak lelah,” Kata pembimbingku, ia melihat sesuatu dalam mataku. Mata merah
darah.
“Tidak
apa-apa, aku memang terlalu mengingatnya, cinta memang terlalu memakan banyak
ruang dalam pikiran. Harus dikosongkan,” Mata merah darah.
Aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata
merah darah.
Aku suka membuat puisi, dan puisiku banyak
yang memang tertuju padanya. Kebanyakan dikaitkan dengan hujan, mata,
kupu-kupu, atau apalah. Yang penting aku bisa menyenangkan hatinya. Mata merah
darah.
Ya, wanita memang lebih senang pengorbanan
yang terlihat di matanya daripada pengorbanan yang dilakukan di belakangnya,
tanpa sepengetahuannya. Ia akan menganggapnya kebohongan, diluar kenyataan. Mata
merah darah.
Sebagaimana aku, hidup diluar kenyataannya.
aku tak pernah memberitahukannya siapa aku, banyak pertimbangan. Entah aku
dibencinya, entah aku yang malu nanti. Mata merah darah.
Tetapi aku harus melupakan sesuatu. Harus. Mata
merah darah.
Sore itu, mendung menggelayut di langit yang
dekat, tak lama memancar juga kedalam hati. Mata merah darah.
“Aku sudah tak bisa” Kata-katanya pelan,
namun menyimpan berbagai arus yang deras. Mata merah darah.
“Kenapa? Bukankah akhir bulan ini, kita akan
pergi ke Taman Bunga?” Aku tak percaya, aku harus mengungkap sesuatu. Ia
mendadak berubah, dan aku tidak peka! Apakh terjadi sesuatu dengan hari-hari
lalunya tanpa aku tahu? Mata merah darah.
Ia tak melanjutkan kata-katanya. Masam. Hujan
yang turun menjadi masam. Matanya tiba-tiba basah, aku tak kuasa
memandangnya. Aku laki-laki, dan tak
tahu harus bagaimana. Matanya semakin
deras mengambangkan perasaanku, hanyut kesegala arah. Mata merah darah.
Aku
harus melupakan sesuatu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa
lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa
lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa
lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa
lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa
lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Masa
lalu. Secepatnya. Mata merah darah.
Harus! Mata
merah darah.
“Baiklah,” Pembimbingku sudah menyelesaikan
prosesnya. Mata merah darah.
“Nanti, jika engkau ingin tahu sesuatu,
bukalah data ini, kusimpan dalam bentuk tulisan. Silakan, nikmati hidup dengan
sepantasnya” Ia melanjutkan. Mata merah darah.
Pekerjaanku,
kekasihku, masa laluku, tetap akan ada di masa lalu. Aku sekarang dengan
leluasa bisa berpikir tanpa derau dari masa lalu itu. Banyak alasan, namun,
mengenai masa lalu: Mata merah darah.
Aku harus lupa sepenuhnya. Sebelum terjadi
sesuatu di masa depan. Harus. Secepatnya. Mata merah darah.
Semerah-merahnya. Sedarah-darahnya. Dilupakan
dengan melupakan diri sendiri. Mata merah darah mengawasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar