Sabtu, 04 Agustus 2012

Ini Pulau Milik Kami!


Fahmi (14) tampak riang bermain di pinggir dermaga kecil Pulau Pramuka. Ia seorang siswa kelas 2 SMP. Ia tidak lagi tahu bagaimana sejarah adat pulau ini. Ketika ditanya, ia hanya menjawab bahwa orang tuanya berasal dari suku Bugis, tidak lebih. Sehari-hari ia membantu wisatawan menjadi diver. Yang jelas, ia bercita-cita menjadi pelaut juga, seperti ayahnya.
Denta (39), adalah seorang ketua RT di pulau ini dan membantu penghidupan dapur dengan berdagang makanan ringan. Ia asli kelahiran Pramuka. Wajahnya yang tampak legam menandakan ia sering berkegiatan di tepi pantai yang kini dipenuhi bakau di sela-sela pagar beton dan pemecah ombak.
Denta sendiri adalah gelar bangsawan dari Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Kakek neneknya merupakan kelahiran Bone dan masih memiliki hubungan darah dengan bangsawan Kerajaan Bone.
Disinggung tentang adat istiadat dan folklore, Denta memberi sedikit perhatian. Meskipun pulau ini dikenal sebagai tempat berwisata, sebetulnya ada adat yang harus dipatuhi.
Denta, Ketika ditemui dalam acara riset matakuliah Menulis Populer kelas A, B, dan E Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 19 hingga 20 Mei 2012, ia sedang menata barang-barang dagangannya. Kesan keramahan ada di wajahnya.
Ini berkaitan erat dengan sejarah adanya penduduk di pulau Pramuka. Dulunya, pulau ini tidak dihuni. Yang dihuni adalah pulau yang berjarak 0.5 mil laut dari sini, Pulau Panggang. Zaman sebelum kemerdekaan dulu, pelaut Banten, Bugis, Jawa, dan Sunda adakalanya singgah kesini untuk beristirahat dan mencari ikan kecil. Ikan zaman itu masih melimpah.
Lama kelamaan, pelaut Bugis, membangun rumah peristirahatan semi permanen di pulau ini, dan sebagian memutuskan menetap dan beranak-pinak di pulau ini. Hal ini juga yang diikuti oleh pelaut dari suku lainnya. Akhirnya, penduduk pulau Panggang menjadi padat.
Pulau ini baru dinamai panggang setelah zaman kolonial. Kala itu, perompak laut yang tertangkap oleh nelayan setempat dibunuh lalu dipanggang diatas batu karang. Beberapa karang itu kini masih bisa kita lihat, tenggelam karena abrasi. Pemanggang, itu nama asli pulau ini, dan mengalami penyingkatan menjadi Panggang.
Pada era orde lama, pulau Pramuka bernama Pulau Elang. Bahnawi, tokoh masyarakat asli kelahiran pulau Panggang 50 tahun lalu, mengatakan bahwa hingga tahun 1980-an masih dapat kita temukan elang bondol, yang sekarang kita kenal sebagai lambang DKI Jakarta.
Elang-elang itu hilang seiring pembersihan pulau untuk dijadikan perkampungan. Sejarahnya, sebelum ada Bumi Perkemahan Ragunan dan Cibubur di Jakarta daratan (istilah masyarakat setempat bagi orang yang tinggal di Pulau Jawa) pihak Kepramukaan mengirim anggotanya untuk berlatih di pulau ini. Terjadi pada sekitar tahun 50-an hingga 60-an.
Bahnawi sendiri termasuk penduduk pertama, tepatnya satu dari enam keluarga pertama yang tinggal disini. Ia melanjutkan, bahwa anggota Pramuka tersebut turut membangun dan melatih masyarakat setempat. Sisa masa itu masih kita lihat di Bumi Perkemahan Pulau Pramuka.
Karena komposisi demografi pulau ini didominasi oleh suku Mandar dan Bugis, adat setempat pun didominasi oleh adat suku-suku tersebut.
Pada perayaan sunatan misalnya, dikisahkan ada hari tertentu yang tidak boleh dilanggar, dan juga si anak tersebut harus melakukan adat tertentu setelah sunat. Pada perarakan sunatan, harus dilakukan silat mandar sebagai tolak bala. Bila tidak dilakukan, maka darah dari luka sunat itu akan terus mengucur, dan si anak, malangnya, akan terus mati kehabisan darah.
Dalam membangun rumah, suku mandar di pulau ini percaya harus menghadap ke daerah tertentu. Namun baik Bahnawi maupun Denta, sudah tak lagi menganut aturan ini. Juga, mereka sudah lupa dengan adat mandar tersebut.
Suku Jawa, memiliki ceritera sendiri. Setiap beberapa tahun, diadakan ruwatan laut dan kepulauan. Dengan menanggap wayang dari darat, masyarakat jawa percaya, akan terhindar bali bala dan bencana lautan. Wayang dan ruwatan, hanya sebuah simbol penghormatan terhadap alam semesta dan Tuhan, bukan berarti pemujaan terhadap alam itu sendiri.
Suku Mandar dan Bugis, membangun adat yang cukup unik dalam folklore setempat. Dari informasi yang masih tersisa, dapat kita ketahui ceritera rakyat pulau ini.
Dikisahkan, zaman dahulu kala, ada pelaut Mandar yang berlayar menuju kepulauan ini. Di tengah lautan, terjadi badai dan kapalnya pecah.
Hanya dia seorang yang selamat, dari seluruh awak kapal. Ia terombang-ambing selama bertahun-tahun hingga tubuhnya dipenuhi teritip, sejenis hama lautan yang berwarna merah muda, sering tumbuh di dasar perahu.
Alkisah, ia terdampar di Pulau Panggang, dan ditemukan oleh masyarakat. Dengan kondisi lemah menjelang sekarat, si pelaut meminta agar tubuhnya jangan dibersihkan dan kapalnya dinaikkan “jangan kau bersihkan tubuhku, dan kalau kau ingin makamkan aku, galangkanlah dulu kapalku”, ujarnya. Masyarakat tidak banyak bertanya dan meluluskan permintaannya.
Setelah meninggal, ia dimandikan dan tidak sengaja kulitnya terkelupas, mengalirlah darah yang warnanya putih, karena itu ia dinamai Darah Putih. Ketika ia dimakamkan, entah kenapa terjadi badai dan gelombang besar di lautan dan kepulauan tersebut, sebab itu, masyarakat lalu berseru, “hai Darah Putih! Kumohon teduhkanlah laut ini!”, dan mantera inilah yang kemudian menjadi keyakinan nelayan setempat selama beberapa waktu.
Denta juga menambahkan, di kepulauan ini, ada sosok penjaga yang berkuda putih, masyarakat menyebutnya dengan Penunggang Kuda Putih. Sosoknya seperti seorang syaikh, membawa lentera, dan hanya muncul setiap malam jum’at. Ia akan lebih sering muncul ketika ada bala atau sihir.
Dahulu, di pulau ini sering sekali ada penyihir yang mengeluarkan kutukan. Masyarakat jawa menyebutnya santet. Kisahnya, apabila seorang anak tidur pada siang hari, maka sore harinya akan hilang, dan tidak ditemukan.
Pada pagi harinya, anak tersebut akan ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan di pulau itu, tanpa luka, tetapi sudah tidak bernyawa. Akan tetapi, disebabkan oleh Penunggang Kuda Putih ini, sihir tersebut dipercaya mental dan tidak dapat menembus dinding ghaib pulau Panggang dan Pramuka.
Juga Denta menambahkan, ketika penyerbuan tentara Belanda ke wilayah ini, ingin mengadakan sapu bersih, secara ajaib Pulau Panggang dan Pramuka menghilang tertutup kabut tebal, dan juga dari penglihatan radar. Ini dipercaya ulah penunggu pulau itu.
Haji Ahmad, yang berusia 70 tahun, warga asli pulau Panggang yang kini tinggal di Tangerang, menuturkan ketika ia menjadi polisi yang bertugas di pulau tersebut,  sosok penjaga  Pulau Panggang memang betul-betul ada. Ia bahkan mengaku pernah melihatnya secara langsung.
Sosoknya, berjanggut lebat, memegang tali kekang putih, berkuda putih, dan serbannya terjulur hingga punggung karena panjangnya. Apabila malam, ia sering juga mendengar tapak kaki kudanya.
Kisahnya, awal tahun 70-an, karena kecilnya gaji polisi, ia bekerja sebagai buruh lepas pembangun lapangan terbang Pulau Panjang, tak jauh dari Pulau Panggang.
Siang-malam ia bersama 10 rekannya, menebang batang kelapa. Syahdan, ketika hampir selesai, pada malam hari mereka sedang terjaga, muncullah sosok Penunggang kuda ini, dan bergerak mengelilingi proyek tanpa menghampiri pekerja. Ia tampak marah, dan kudanya meringkik seperti tergesa.
Haji Ahmad dan rekannya hanya dapat terpaku sambil mengucapkan doa-doa perlindungan, tetapi sang Penunggang tidak melakukan hal yang lebih. Ada diantara rekan Haji Ahmad ini, seorang sunda dari Cianjur. Rekan ini memiliki kepercayaan dari daerah asalnya, bahwa di sebuah makam keramat harus diadakan nyekaran atau nyekar, agar mendapatkan keamanan dari si penunggu makam ini. Akhirnya, esok hari mereka melakukan nyekar.
Meskipun telah dilakukan nyekar, ketika 7 batang kelapa terakhir di tebangnya, terjadi peristiwa menakjubkan. Secara tiba-tiba, batang-batang pohon kelapa itu bergerak sendirinya dan menjepit gergaji mesin yang ia gunakan. Ia dan rekan-rekannya lari terbirit-birit melihat kelapa yang  kini seperti manusia, terpersonifikasikan oleh energi pulau itu.
 batang kelapa itu, yang memang ada di sekitar makam, akhirnya mau tak mau mati seiring selesainya proyek bandar udara Pulau Panggang selesai.
Hal lain yang cukup aneh terjadi ketika penerbangan pertama dilakukan. Haji Ahmad termasuk penumpangnya. Sebelum meninggalkan landasan, mendadak mesin pesawat mengalami gangguan, dan kembali berhenti. Rombongan Haji Ahmad akhirnya memutuskan kembali nyekar, di makam Sang Darah Putih, dan akhirnya lancarlah penerbangan itu.
Masyarakat setempat mempercayai, bahwa makam Darah Putih dan Sang Penunggang Kuda Putih inilah yang melindungi pulau mereka. Tidak berarti mereka memuja, namun hanya sebatas menghormati.
Pulau Karya dan Pulau Panjang sendiri memiliki sejarah rumit. Pulau Karya, dahulunya bernama pulau Cina, karena banyak didiami oleh saudagar cina yang merantau kemari. Lama kelamaan, penduduk tidak hanya orang keturunan cina, tetapi juga Mandar dan Bugis.
Era orde baru, pulau ini berganti berganti nama seiring banyaknya pekerja yang datang untuk membuka pulau. Pekerja ini, dulu disebut juga dengan karyawan, sebelum secara semantis kata “karyawan” mengalami peyorasi menjadi berarti buruh pabrik.
Akhirnya, dengan naiknya Bapak Darmo sebagai lurah Panggang, digantilah nama pulau Cina dengan Pulau Karya. Lagi pula, secara tata nama, Karya memiliki nilai rasa lebih baik apabila ditilik dari situasi politik zaman itu. Adapun Pulau Panjang, memang karena bentuknya memanjang seperti ekor ikan pari. Pulau Karya, sekarang ini hanya diisi dengan pemakaman.
Secara administratif, ketika zaman Lurah Darmo, terjadi perombakan struktur kebijakan dari kebijakan dasar menuju kebijakan modern. Ini terjadi sekitar tahun 1980. Penyebabnya adalah, sudah padatnya penduduk Pulau Panggang. Mau tak mau, terjadilah pemindahan kantor-kantor pemerintahan agar masyarakat mau mengikuti pemimpinnya.
Mulanya, kantor Kelurahan Pulau Panggang dipindahkan ke Pulau Pramuka, dengan harapan, masyarakat mau mengikuti perpindahan ini. Ternyata, itu tak terjadi. Masyarakat justru menuntut pengembalian pusat pemerintahan kelurahan kembali ke pulau mereka. Padahal mereka sudah dijanjikan dengan sebidang tanah.
Haji Ahmad dengan berapi-api menceritakan bagaimana sejarah terbentuknya struktur adat masyarakat yang sekarang ada, ditinjau dari segi administratif. Ia melanjutkan, bahwa akhirnya pusat kelurahan kembali dipindahkan ke Pulau Panggang, dan Kantor Kabupaten Kepulauan Seribu yang ditempatkan di Pulau Pramuka.
Dengan ramainya Pulau Panggang dan Pramuka, ini menuntut kebutuhan lahan pemakaman yang tinggi. Akhirnya pemakaman dialihkan ke Pulau Panjang, dan makam yang sudah ada lebih dulu turut dipindahkan kesana.
Menurut Bahnawi, ini terjadi berangsur selama beberapa tahun di era 2000-an ini. Hingga sekarang, orang-orang pulau yang wafat dikuburkan di Pulau Panjang meskipun harus menyeberang lautan.
 mengenai adat setempat dan kaitannya dengan agama masyarakat, Haji Ahmad dan Bahnawi memiliki satu suara. Mereka menegaskan, masyarakat dan budayanya, adalah masyarakat dan budaya islam. Ada banyak nilai-nilai islam yang memberi warna positif terhadap tindak-tanduk masyarakat.
Keduanya menyatakan, islam di kepulauan ini ada secara sekonyong-konyong, sebab para penduduk yang berasal dari Mandar, Bugis, Banten, dan Jawa, sudah beragama islam. Tidak lagi dibawa atau disebarkan oleh tokoh ulama dan pengajar.
Haji Ahmad sendiri mengatakan, ketika penduduk mulai ramai, barulah terasa kebutuhan terhadap ulama. Ia menunjukkan dua makam Habaib yang pernah menjadi guru bagi masyarakat. Nama keduanya adalah Habib Ali Bin Hussein Al-Attas dan
Ada cerita khusus mengenai dua makam ini. Keduanya, terletak bersebarang di masing-masing ujung timur dan barat Pulau Panggang. Masyarakat meyakini, kepulauan mereka jarang terkena bencana sebab makam keduanya menjadi semacam “paku bumi” Kepulauan Panggang.
Bahkan, ketika satu demi satu mereka dimakamkan, terjadi angin ribut yang segera reda setelah prosesi pemakaman selesai. Jenazah Habib Ali, mengalami sedikit karamah. Karamah, adalah keajaiban yang hanya turun kepada orang shalih dalam agama islam.
Ketika ia wafat, jenazahnya akan dimakamkan di tempat asalnya, Jakarta Daratan. Ketika ia akan dibawa melewati lautan, hari sedang cerah, dan matahari bersinar seperti biasa. Perjalanan belum jauh dari pulau, terjadi badai di tengah lautan yang betul-betul besar. Ini membuat kapal tak bisa melanjutkan pelayaran dan rombongan memutuskan kembali.
Anehnya, begitu sampai di pulau asal, badai menjadi reda. Rombongan pelayat melanjutkan untuk membawa jenazah Sang Habib menuju daratan. Siapa sangka, kembali terjadi badai, dan terulanglah peristiwa pertama. Ini terjadi hingga tiga kali, dan akhirnya diputuskan bahwa Habib Ali tetap akan dimakamkan di Pulau panggang.
Kedua makam Habaib tersebut dikeramatkan, dalam arti masyarakat tidak menyembahnya, namun sebatas meyakini bahwa keduanya adalah wali Allah. Dalam ajaran islam, seorang yang digelari wali berarti mencapai derajat Kekasih Allah.
Akulturasi masyarakat Kepulauan di Kelurahan Pulau Panggang paling tidak, menyebabkan beberapa hal secara kebudayaan dan kesusastraan. Menurut Dr. Agus Trianto, dalam essai yang disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Bengkulu, berjudul Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Budaya, kebudayaan turut membentuk perilaku kebahasaan masyarakatnya, yang berhubungan seperti hutan.
Dalam konsep ini, bahwa Budaya adalah tanah tempat tumbuhnya bahasa, sementara bahasa itu berkembang membesar, ada pula daun-daun dan ranting mati yang berguguran membentuk kesuburan baru bagi tanah, budaya itu sendiri.
Inilah yang menyebabkan seolah dengan berbaurnya masyarakat Bugis, Mandar, Banten, Jawa, dan Sunda, maka bahasa mereka lebur dan menjadi sebuah bahasa Indonesia yang berdialek khas orang pulau.
Khas mereka, adalah membunyikan fonem /e/ teleng yang terletak di akhir morfem, menjadi /é/ pepet, seperti pada kata “Banten” yang dilafalkan menjadi /Bantén/ oleh masyarakat.
Namun hal ini tidak menjadi mutlak, karena seiring zaman, masyarakat sudah terbiasa menggunakan bahasa nasional sesuai kaidah pengucapan fonemis yang benar.
Secara kejiwaan, masyarakat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap mempertahankan agama islam tanpa kehilangan nilai budaya setempat. Agama islam yang berkembang di Pulau Jawa dan Sulawesi, tentu memiliki sedikit corak yang berbeda.
Oleh karena sifat dasar masyarakat yang menyatu, merasa sepenanggungan, satu pulau, satu lautan, mereka menghilangkan keegoan rasial diantara mereka, dan membentuk komunitas islam yang damai. Ada kemungkinan, kedatangan dua Habaib turut menyatukan keberagamaan di pulau tersebut hingga tidak terjadi perbenturan yang serius.
Ketika lebaran tiba, seperti biasa diadakan tradisi bersalaman dan saling memaafkan antar warga, hingga mereka saling mengenal satu dengan lainnya. Ada pula tradisi memberi hadiah berupa uang kepada anak-anak, tanpa memandang perbedaan suku.
Sehubungan dengan itu, Haji Ahmad, ketika ditanya aliran apa yang dominan di pulau itu, ia menjawab, “saya tidak suka sebetulnya, masyarakat ini dikandangkan dalam aliran tertentu. Orang-orang pulau ini satu, semuanya islam. Tidak ada Muhammadiyah, tidak ada NU, tidak ada Syiah, atau sejenisnya. Kami semua satu, kami beragama islam, dan yang terpenting adalah, syahadat kami satu, shalat kami satu, zakat, puasa, dan haji kamipun satu, tak ada lainnya”.
Demikian arifnya masyarakat pulau ini, hingga akulturasi menjalar kepada tradisi gotong royong yang amat terjaga. Satu ketika, ada terjadi seorang wisatawan kehilangan kamera dan sejumlah uang, telepon genggam, dan penyimpan data.
Dengan menakjubkan, hampir semua warga, segera mengetahui kabar tersebut dan tanpa dikomando melakukan pencarian terhadap si maling. Akhirnya, tertangkaplah maling itu, lalu habis dihajar warga.
Gotong royong ini, menurut Haji Ahmad dan Bahnawi, memiliki dasar filsafatis yang cukup menarik. Menurut mereka, gotong royong di suatu lingkungan masyarakat, hanya dapat dilaksanakan apabila terjadi kondisi dimana semua warga saling mengenal, dan memiliki satu tujuan untuk bersama-sama menjaga, membangun, dan perasaan memiliki pulau itu. Perasaan memiliki dan ingin menjaga pulau inilah, yang menyebabkan ikatan warga amat erat disini. Pada mata rantai selanjutnya, ini membentuk adat gotong royong yang kuat diantara mereka.
Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa perasaan menjaga dan memiliki ini bersumber dari asas yang disimpulkan, baik Bahnawi maupun Haji Ahmad, “Kami jelas tinggal sepenanggungan di pulau ini. Kami tinggal di pulau, namun hidup di lautan. Maksudnya adalah, kami membangun rumah, hingga berkewajiban menjaga pulau ini, namun mencari nafkah di lautan, hingga berkewajiban pula menjaga lautan, setidaknya dari sampah dan kerusakan”.
“Beberapa bulan lalu, ada puting beliung di Pulau Kelapa, apa ada kamu tahu? Tentu tidak. Padahal kamu orang kota daratan membaca koran mudah, melihat televisi tidak dibatasi pemadaman bergilir, tetapi kami tak melihat ada orang yang bergerak memberikan bantuan. Hanya kami, orang pulau yang ramai-ramai berpatungan dan kesana untuk perbaikan Pulau Kelapa, juga menghibur saudara-saudara kami. Mana kamu? Payah kali orang kota ini”, sindir Denta kepada warga kota Jakarta yang kehilangan nilai gotong royongnya.
Sikap kebersamaan ini yang diterapkan Lurah Darmo ketika membangun perkampungan Pulau Pramuka, yang kala itu berantakan. Pada tahun 80-an, segala pagar yang menonjol, pohon yang melintang di jalanan, haruslah diratakan dan dirapikan. Jadilah sekarang ini Pulau Pramuka yang rapi dan tertib, berkat sikap gotong-royong warga untuk merawat pulaunya.
Masyarakat setempat memiliki suatu sandi untuk membedakan warga pulau dengan pendatang yang membawa pengaruh buruk. Diakui, dengan adanya kebijakan pemerintah DKI Jakarta untuk menjadikan Kepulauan Seribu sebagai daerah wisata, kewaspadaan masyarakat terhadap budaya luar meninggi.
Untuk membedakannya, cukup diketahui dari cara pendatang berbicara. Apabila ada orang berbicara yang nada suaranya lebih tinggi dan keras dari warga pulau itu, maka orang tersebut akan dicap buruk dan dijauhi. Istilahnya, menjaga kesopanan terhadap tuan rumah dan memberi kesan kedatangan yang positif.
Juga, apabila seseorang membawa aliran tertentu, dan berciri-ciri fisik keagamaan berbeda, seperti berjenggot panjang, memakai celana pendek, namun mendakwahi sesuatu yang dianggap asing oleh warga, maka kewaspadaan akan meninggi.
Bahnawi adalah seorang pelaut, sedangkan Haji Ahmad adalah pembangun dan saksi hidup berkembangnya pulau ini. Mereka mengajarkan satu prinsip filsafatis yang amat dalam, sedalam lautan yang menjadi penghubung kepulauan, rumah-rumah mereka.
Pada dasarnya, lautan, memiliki hati. Samudera raya ini memiliki perasaan yang dapat membaca hati setiap manusia yang berlayar dan tinggal di atas pulau-pulaunya. Kita, manusia, apabila memiliki niat baik, maka lautan akan mendukung kita, secara kasat mata. Entah itu berupa tenangnya lautan, keluarnya rizki yang melimpah dari dasarnya, atau dijaganya pulau dari kedatangan lanun dengan membesarnya ombak.
Apabila kita memiliki niatan jahat ketika datang ke lautan tersebut, atau memiliki etika kurang sopan, maka lautan dan kepulauan tersebut akan meluapkan kemarahannya, dari sekedar menegur, hingga meminta korban jiwa.
Ketika pembangunan dermaga, ada seorang pekerja yang dengan angkuh bermain-main di sekitar pantai dan dalam istilah Ibu Denta, kurang permisi. Akibatnya, ia tenggelam dan secara ajaib, jasadnya hilang di dasar lautan. Ketika itu, ia tenggelam di bawah batuan proyek dermaga utama Pulau Pramuka.
Masyarakat setempat dan rekan kerjanya berusaha mencari tetapi tidak ditemukan juga. Akhirnya, warga meminta petunjuk dan “pembersihan” dengan doa seorang alim ulama, ustad pulau tersebut, dan ditunjukkanlah dimana mayatnya. Sang pekerja ditemukan dalam kondisi bersedekap, terduduk, bersandar di tiang jembatan dermaga. Di sana penyelam sudah mencari berulang kali, namun baru kali ini terlihat.
Filsafat yang dalam in itimbul akibat ikatan yang kuat antara pelaut, pulau, dan samudera. Kearifan mereka, yang menjaga pulau ini, sebetulnya memiliki arti utama bukan menghormati atau merawat lautan itu sendiri.
Kembali pada persoalan keimanan. Lautan, pulau, bumi, dan juga orang-orang di atasnya, adalah ciptaan Allah juga. Haji Ahmad menegaskan, kita turun sebagai khalifah di muka bumi, menyitir surah Al-Baqarah ayat ke-30. Khalifah, berarti wakil, pengganti, dalam artian, kita adalah wakil Allah (tanpa meninggalkan sifat Maha Kuasa dari Sang Khaliq) untuk memakmurkan bumi.
Kewajiban memakmurkan bumi ini, dalam ajaran islam, ditawarkan kepada Gunung, namun ditolak. Begitu juga oleh makhluk-makhluk lain. Namun dengan sewenang-wenang, manusia mengambil kewajiban ini. “Alangkah manusia ini bodohnya!” seru Haji Ahmad.
“Kita ini ditugaskan untuk menjaga lautan, maka menjadi amanlah kita. Bukan berarti lautan ini yang menjaga kita, tetapi, segala lautan dan daratan, adalah milik Allah. Apabila kita menjaga milik Allah, maka Allah jua yang menjaga kita. Kita menjaga, Dia melihat. Kita merusak, Dia juga melihat”, serunya.
Di gerbang dermaga utama Pulau Pramuka, memang terpampang kutipan ayat suci Al-Qur’an, surah Ar-Rum, ayat 41 yang berbunyi: “Telah terjadi kerusakan di daratan dan di laut, disebabkan oleh ulah tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)”, diatas papan berwarna kuning dan berbingkai biru.
Ini seolah menggambarkan betapa tunduknya mereka dengan Sang Pencipta, Tuhan daratan dan Tuhan lautan. Berbeda dengan keyakinan pamali atau takhyul yang mengatakan bahwa lautan memiliki kuasa sendiri, itu jelas dibantah oleh Haji Ahmad, Bahnawi, dan Denta.
“Kami ini ingin, apabila ada orang datang, entah untuk meneliti, wisata, atau apa, tidak usahg membayar penginapan atau tiket. Tetapi cukuplah rombongan itu berpatungan, bangunkan atau perbaiki mushala di sini, atau sumbangkan pada sekolah itu yang tak memiliki lapangan berplester. Atau, buatkan kamar mandi umum saja. Itu sudah cukup, jangan kami dianggap seperti Pulau Bidadari atau Pulau Putri, hanya untuk berwisata semata”, kata Haji Ahmad.
Sikap rendah diri dan arif masyarakat setempat juga tampak dari cara mereka bertutur kata yang bagai sastrawan. Ada satu persamaan, yang tetap saja mengesankan. Mereka selalu mengucapkan kata kunci yang sama apabila ditanyai tentang sejarah kebudayaan pulau ini.
“Maaf-maaf saja, apabila kami salah memberikan kabar. Kalau benar, syukur alhamdulillah, kalau salah, ya maklum, kami ini tidak begitu tahu”. Padahal, informasi yang mereka berikan amatlah banyak dan berharga.
 Kramanisasi ini, atau berbasa-basi, sebetulnya menjadi semacam penanda perilaku kebahasaan yang mencerminkan betapa halusnya kebudayaan mereka, berbeda dengan yang digambarkan di media massa selama ini, bahwa masyarakat pulu adalah primitif dan kampung, nelayan yang tak tahu adat.
Akulturasi di kepulauan ini menunjukkan sebuah prototip kebudayaan Indonesia yang betul-betul damai, lebur menjadi satu tanpa meninggalkan warna masing-masing daerah. Seperti cahaya putih cerlang, yang berasal dari tujuh warna. Inilah kebudayaan asli kita, gotong-royong dan kearifan lautan dan daratan, serta keyakinan akidah terhadap Sang Pencipta yang amat agung dan mendalam di setiap hati masyarakatnya.
-kecemasan warga setempat bukannya tak ada. Mereka umumnya khawatir dengan pencanangan daerah ini sebagai objek wisata oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Diakui baik oleh Denta, Bahnawi, maupun Haji Ahmad, generasi muda mereka mulai meninggalkan adat dan kearifan lokal daerah ini.
Setidaknya, ada lima penyebab lunturnya tradisi dan adat kepulauan ini. Pertama, adalah sikap bapakisme yang masih kental ada. Sikap bapakisme ini, secara sosial adalah pendambaan dan pengagunganmasyarakat terhadap orang atau tokoh yang dianggap ideal, dan memegang kekuasaan. Ini membuat masyarakat menurut saja, apapun kata pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang ada, terkesan memodernkan kepulauan ini. Namun tanpa sadar, mereka membunuh nelayan. Naiknya harga bensin, dibangunnya hotel-hotel dan penginapan, turut menghancurkan lautan, dan akhirnya mata pencaharian nelayan. Mau tak mau, mereka beralih profesi. Ada yang menjadi instruktur penyelaman, penanam bakau, ataupun pejabat pemerintah.
Ini perlahan mengikis adat lautan menjadi adat perkotaan. Lautan, yang menjadi basis kebudayaan mereka, dipaksa digantikan oleh adat perkotaan oleh orang yang menjabat di provinsi, yang bukan orang yang kenal dengan Kepulauan Seribu.
Kedua, diangkatnya pejabat-pejabat yang bukan asli Kepulauan Seribu, membuat masyarakat kehilangan sosok pemimpin ideal dan teladan. Haji Ahmad, yang seorang purnawirawan polisi di sana, mengeluarkan kemarahan yang seperti tertunda. Ia geram, jarangnya bupati maupun lurah tinggal dan berkantor di sini. “Mereka semua orang daratan, main ke pulau hanya untuk berlibur”, serbu Haji Ahmad.
“Kau tengok lah itu wisma di utara pulau, itu milik bupati, yang kami taksir harganya limaratus juta! Uang dari mana dia? Saya tahu benar gaji seorang PNS, tidak sampai segitu, dia tak sampai setahun sudah membuat penginapan, sedang dia sendiri jarang ke pulau ini untuk menemui kami”, Haji Ahmad menambahkan.
Ketiga, kebijakan pariwisata juga turut mengikis adat setempat. Bagi Bahnawi, Denta, maupun Haji Ahmad, mereka menyatakan tegas bahwa pulau ini  bukan pulau wisata. “Ini bukan untuk wisata, kami bukan tontonan. Kami ini masyarakat, hidup di sini”, tutur Bahnawi agak keras.
“Kami tak suka, khawatir dengan datangnya wisatawan kesini. Utamanya, mereka tak bisa menjaga kata-kata dan tutur tingkah mereka. Mereka membawa pengaruh jelek kepada generasi anak kami, yang dewasa sih sudah paham, tetapi yang kecil-kecil ini bagaimana? Kita ini orang berbudaya, tak boleh menampakkan aurat di depan umum”, tutur Nalim, sesepuh Pulau Panggang.
“Sebetulnya, kami bukan tempat wisata. Kalau kamu ingin wisata, sanalah pergi ke Pulau Putri, Onrust, atau Edam. Di sini tempatnya masyarakat. Kami tak suka ada perempuan wisata kemari, mentang-mentang berenang, maka pakailah ia celana segini (sambol memperagakan bentuk celana renang wanita two piece dengan tangannya) bisa rusak kami!”, Haji Ahmad meringkas.
Adat mereka memang ketat soal berbusana. Bahkan, kaum perempuan dewasanya semacam ditabukan bercelana pendek yang ketat keluar rumah. “Kami takut yang terjadi di Aceh, terulang di sini. Lihat Aceh, masjidnya besar-besar tapi ternyata sedikit isinya. Ternyata juga dia penghasil ganja terbesar, ternyata juga dia sering konflik antar warga dan GAM. Jadilah tsunami, sebagai Azab Allah pada mereka”, Bahnawi melanjutkan.
“Bukan tak mungkin, kami terkena sedemikian itu juga, karena tingkah anak muda kami. Lihat saja, orang laki jalan dua-dua dengan perempuan bukan muhrim dengan pegang tangannya, celana ketat. Aceh saja yang memiliki gunung dan daratan yang luas, tak bisa kabur dari ombak, apalagi kami yang ibarat hanya seujung kuku pulaunya. Matilah semua kami!”, tutupnya.
Keempat, budaya dan adat setempat juga hilang dengan wafatnya para tetua tanpa sempat menceritakan apa sejarah pulau ini. Terus terang, penulis agak sulit menguak informasi dari mereka. Padahal, penulis mengambil sampel dari segala rentang usia dan profesi.
Semua narasumber mengatakan, para tetua pulau ini sudah sedikit yang awas bila ditanya seputar sejarah pulau. Nalim, yang berusia 70-an tahun, sudah mengaku lupa dengan sejarah pulau ini dan jejak rekam masalalunya di sini. Denta sendiri mengaku tidak diceritakan apapun oleh orang tuanya.
Mereka resah, generasi muda yang banyak merantau untuk belajar dan bekerja di darat, pasti akan lupa dengan masa lalu, kearifan, dan adat istiadat yang membentuk sistem kebudayaan masyarakat Kepulauan Seribu.
“Sayang betul, orang tua kami tak sempat cerita banyak tentang pulau. Apalagi, jarang ada peneliti yang datang untuk menguak sejarah kenapa kami ada di sini, dan kenapa kami menjadi seperti ini, kebanyakan mereka hanya meneliti hewan dan tumbuhan. Bakau, penyu, dan isi laut, tetapi tidak meneliti lautnya”, Denta agak menyesal.
“Kami tidak banyak diceritakan sejarah di sini, hanya setahu saya, banyak tentara kita dan juga pejuang Banten yang dimakamkan di Pulau Karya dan Pulau Panggang, tapi saya sendiri tak mendapatkan cerita tentang siapa pahlawan, panglimanya, pertempuran apa, dan kapan. Itu sudah tak lagi diceritakan oleh sesepuh”, tambah Bahnawi.
“Ada banyak nak, Veteran di kepulauan ini. Sayang, mereka tak menceritakan secara detil. Hingga kini, mereka sudah pelupa, sudah tak awas diajak bicara. Sudah uzur, maka kami hanya mendapatkan sejarah yang terpotong. Sejarah pulau ini ada putus, kami tak tahu kenapa kami ada di sini, kami tak tahu apa-apa. Pokoknya semua cerita yang ada muncul ketika sudah ada masyarakat yang menetap di pulau ini”, sesal Haji Ahmad.
Terakhir, masuknya media televisi dan telepon genggam, internet, serta kebebasan informasi malahan membuat generasi anak mereka tidak berminat  lagi untuk mengaji sejarah pulau dan tradisi adat setempat.
“Dulu, setiap habis maghrib, anak-anak kami dan saya sendiri ketika kecil, waktu azan maghrib terdengar semuanya menuju masjid. Hingga isya, mereka mengaji kitab. Setelah pulang, mereka tadarus atau baca kitab lagi sampai malam, baru tidur. Mana sekarang, yang ada lihat televisi, buka hape saling berkirim pesan pendek, atau mangkir”, keluh Nalim.
Diakuinya, perhatian generasi muda setempat teralih oleh munculnya teknologi yang memberi informasi aneh dan negatif. Televisi, memberikan berita perkembangan, tetapi juga memberikan berita kemunduran dari kebudayaan lain, yang kemunduran kebudayaan itu dianggap baik oleh generasi muda.
Pada akhirnya, masyarakat, diwakili oleh Haji Ahmad, meminta kami untuk tetap meneliti pulau ini. Mereka tak mau kehilangan identitas. Bagaimanapun, sebuah budaya terbentuk menjadi identitas masyarakatnya.
“Kamu nanti setelah selesai studi, mengajarlah di pulau ini. Kami kekurangan guru yang baik, yang mau menjaga kearifan budaya di sini”, tutur Haji Ahmad dengan pelan.
Ombak-ombak berkejaran, seakan memberi isyarat tergerusnya budaya bersama pasir-pasir pantai dan karang yang terhempas. Hari semakin malam, semoga keadaan akan menjadi lebih baik.

1 komentar: