Sabtu, 04 Agustus 2012

Riset: Kepulauan Seribu dalam Folklore


Ombak-ombak berkejaran di sela akar-akar bakau yang tumbuh memanjang. Kepiting dan ikan kecil berenang dengan mesra. Musim angin selatan sesaat lagi tiba, ombak lebih besar dari biasanya. Bakau yang baru berukuran 50 cm itu nampak rapi,  dan siap menerima terjangan musim angin selatan.
Ratusan tahun lalu, di tengah lautan yang sama, sebuah kapal terombang-ambing dan awaknya berjatuhan kelaut satu demi satu. Kapal itu semakin goyah dan terjadi kebocoran dimana-mana. Pemilik kapal, yang merupakan orang Mandar, berseru untuk mengencangkan tiang  dan tali layar.
Apa daya, sebuah ombak besar keburu menghantam sisi kapal, dan kapal itu hancur. Awaknya bergelimpangan di tengah lautan, bersembulan dan kehilangan nyawa. Hari menjelang pagi, hanya satu orang  yang selamat, dan itu hanya si pemilik kapal.
Bertahun-tahun ia mengapung di tengah lautan luas tanpa mengalami kematian. Kaki dan tangannya telah ditumbuhi teritip dan ganggang. Kulitnya sudah rusak. Akhirnya terdamparlah ia di sebuah pulau, dan ia telentang diatas pesisirnya. Nafasnya tinggal satu-satu, kesaktiannya hilang begitu menyentuh pasir.
Penduduk pulau yang ada di sana kebingungan, sebab ada orang yang kulitnya sudah rusak dan ditumbuhi teritip namun masih hidup. Ketika ia ditolong, ia nampak sudah mendekati ajalnya. Ia berkata, “Aku sesaat lagi mati. Bila kamu ingin mandikan dan kuburkan aku, jangan kamu bersihkan kulitku”.
Ia akhirnya mati, dan sebelum mati ia meninggalkan sebuah amanat, “bila kamu ingin kuburkan aku, maka kapalku galangkanlah dulu”. Penduduk pulau tidak bertanya, sebab mereka yakin, si Mandar ini bukan orang biasa. Setelah kapalnya yang karam digalangkan, maka diadakan upacara penguburan. Ketika upacara ini, mengalirlah darah berwarna putih dari sela kulit Mandar. Oleh sebab itu, ia dipanggil dengan Darah Putih.
Ketika upacara penguburan diadakan, terjadi sesuatu di tengah lautan. Ombak bergulung-gulung dengan besarnya, sementara angin menghembus dahan-dahan kelapa menjadi terhuyung. Petir menggelegar. Para penduduk pulau panik, pemakaman baru saja dilaksanakan, belum lagi ada yang sampai ke rumahnya.
Dengan panik, para penduduk berkumpul kembali di dekat makam Darah Putih dan membuat sebuah mantra, “Hai Makam Darah Putih! Tolong lautan ini kau teduhkanlah!” Tak berapa lama, lautan menjadi teduh, angin berhenti, dan suasana kembali tenang. Makam itu kini bisa dilihat di Pulau Karya, sebelah Pulau Panggang.
Penduduk mulai ramai. Mulai banyak anak-anak dan penduduk Mandar, bugis, banten, dan jawa banyak yang menetap disana. Banyak juga yang wafat, dan dikuburkan. Perumahan mulai padat, dan pulau semakin menyempit karena padat. Banyak juga reklamasi untuk membangun rumah baru.
Hari beranjak malam, semua sudah mematikan pelita. Angin berhembus tenang, membawa suara-suara dari tengah lautan. Udara dingin, membuat semuanya menarik selimut lebih erat. Tak berapa lama, telinga dikejutkan dengan suara langkah kaki kuda. Menapak-napak penjuru pulau. Di pulau itu tidak pernah dijumpai kuda sebelumnya.
Seorang mengintip, alangkah terkejutnya ia melihat sesosok penunggang kuda putih. Lentera dibawanya disisi kiri, sementara sisi kanannya memegang tali kekang yang juga putih terang warnanya. Ia mengenakan surban, yang tampak bersinar di kegelapan malam. Kainnya menjulur seperti panji, sementara ia mengenakan jubah putih.
Janggutnya lebat, tetapi tak ada yang dapat melihat mukanya. Seorang yang mengintip itu nampak ketakutan, dan ia segera menutup jendela. Ini berlangsung sepanjang malam itu, dan paginya beberapa penduduk mengalami hal yang sama.
Cerita tentang penunggang kuda ini tersebar dari mulut kemulut. Ketika itu, malam jum’at, sekelompok juru ronda berjaga di tepi dermaga. Ada yang mengobrol tentang pulau, ada pula yang terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, sang penunggang kuda kembali menampakkan wujudnya di kejauhan. Hal ini terus berulang setiap malam jumat.
Hingga pada akhirnya, di pulau-pulau terluar terjadi bencana. Beberapa penyihir dari Kalimantan dan daratan Jawa membuat suatu kutukan mengerikan. Entah apa alasannya, yang jelas setiap anak yang tidur di siang hari, maka ia akan hilang pada sore harinya. Tanpa jejak, dengan pintu kamar yang terkunci.
Keesokan harinya, anak-anak itu ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan utama pulau. Telentang. Tanpa luka sedikitpun. Penduduk pulau geger, dan langsung diketahui bahwa ini adalah sihir. Tetapi siapa yang mengirimnya? Untuk apa? Kenapa pula menyasar anak-anak pulau ini?
Pada malamnya, seorang penduduk, yang kehilangan anaknya karena peristiwa itu mengalami mimpi. Sang penunggang kuda putih datang kepadanya, dan memberikan sebuah pertanda mengenai bencana yang menimpa pulaunya.
Keesokan paginya, si penduduk yang mengalami mimpi itupun memberitahukan kepada yang lain, dan segera dilakukan pencarian terhadap sumber sihir. Entah kenapa juga, di pulau Pramuka, Panggang, dan Karya, yang menjadi asal dari Sang Penunggang Kuda Putih itu tidak sama sekali terkena dampak dari sihir.
Ratusan tahun kemudian, berdirilah pemukiman modern diatas kepulauan itu. Pulau Panggang menjadi pusat Kelurahan, sementara Pulau Pramuka menjadi pusat kabupaten. Sudah ribuan orang yang menetap di sana.
Folklore yang ditemukan diatas, hanyalah sekelumit ceritera rakyat yang hilang dan membentuk kearifan setempat. Folklore, adalah salah satu unsur pembentuk kebudayaan dalam sebuah sistem masyarakat.  Kepulauan ini adalah contoh terbaik bagaimana folklore membentuk kearifannya.
Bahnawi, 54, adalah seorang pelaut, sedangkan Haji Ahmad, 70, adalah pembangun dan saksi hidup berkembangnya pulau ini. Mereka mengajarkan satu prinsip filsafatis yang amat dalam, sedalam lautan yang menjadi penghubung kepulauan, rumah-rumah mereka.
Pada dasarnya, lautan, memiliki hati. Samudera raya ini memiliki perasaan yang dapat membaca hati setiap manusia yang berlayar dan tinggal di atas pulau-pulaunya. Kita, manusia, apabila memiliki niat baik,  lautan akan mendukung kita, secara kasat mata. Entah itu berupa tenangnya lautan, keluarnya rizki yang melimpah dari dasarnya, atau dijaganya pulau dari kedatangan lanun dengan membesarnya ombak.
Apabila kita memiliki niatan jahat ketika datang ke lautan tersebut, atau memiliki etika kurang sopan, maka lautan dan kepulauan tersebut akan meluapkan kemarahannya, dari sekedar menegur, hingga meminta korban jiwa.
Ketika pembangunan dermaga, ada seorang pekerja yang dengan angkuh bermain-main di sekitar pantai dan dalam istilah Ibu Denta, seorang ketua RT, kurang permisi. Akibatnya, ia tenggelam dan secara ajaib, jasadnya hilang di dasar lautan. Ketika itu, ia tenggelam di bawah batuan proyek dermaga utama Pulau Pramuka.
Masyarakat setempat dan rekan kerjanya berusaha mencari tetapi tidak ditemukan juga. Akhirnya, warga meminta petunjuk dan “pembersihan” dengan doa seorang alim ulama, ustad pulau tersebut, dan ditunjukkanlah dimana mayatnya. Sang pekerja ditemukan dalam kondisi bersedekap, terduduk, bersandar di tiang jembatan dermaga. Di sana penyelam sudah mencari berulang kali, namun baru kali ini terlihat.
Filsafat yang dalam ini timbul akibat ikatan yang kuat antara pelaut, pulau, dan samudera. Kearifan mereka, yang menjaga pulau ini, sebetulnya memiliki arti utama bukan menghormati atau merawat lautan itu sendiri.
Sang Penunggang Kuda Putih, Sang Darah Putih dari Mandar, hanyalah simbol sebuah kearifan betapa lekat kehidupan masyarakat kepulauan ini dengan lautan. Berbeda dengan apa yang kita kenal sebagai wisata, mereka lahir, tumbuh, dan dimakamkan di kepulauan ini. Laut adalah rumah.
Dengan khusus, Sang Penunggang Kuda Putih, adalah simbol seorang syaikh. Haji Ahmad menekankan bahwa kepulauan ini adalah kepulauan yang religius. Bukan kepulauan yang lugu, yang primitif. Apabila masyarakat daratan memandang mereka sebagi masyarakat yang kampungan, salah besar.
Sang Penunggang Kuda Putih yang digambarkan menjadi syaikh penolak sihir mengerikan, menyimbolkan bahwa Umarolah yang mampu melindungi rakyatnya dari malapetaka. Bukan sosok putri, raja, pangeran, atau panglima. Syaikh adalah seorang yang mendalam pengetahuan agamanya dan mampu menjadi pemimpin bagi rakyat.
Sang Darah Putih, adalah simbol kegagahan seorang pelaut. Suku Mandar, dari Sulawesi Selatan, adalah suku yang dikenal amat sakti. Mereka mampu mengendalikan mayat, menyihir jarak jauh, dan menaklukkan lautan. Darahnya memang terkenal putih sebagai efek samping aji mandraguna.
Masyarakat Kepulauan Seribu terdiri dari mayoritas orang Mandar. Mereka inilah pewaris-pewaris kegagahan masa lalu, yang kini mulai ditinggalkan dengan kebijakan pemerintah yang hanya terfokus kepada pembangunan daratan dan kota besar. Jarang ada pembangunan yang memfokuskan pemeliharaan dan eksploitasi lautan secara optimal.
Makam Darah Putih, dipercaya sebagai makam keramat. Keramat disini diartikan seperti seorang pemilik terhadap rumah sewaan. Apabila kita ingin pergi dan kembali, tentu kita harus minta izin terlebih dulu. Demikian pula masyarakat sana.
Minta izin bukan diartikan pemujaan, tetapi, segala hal yang dilakukan, segala hal yang dibangun, diruntuhkan, diciptakan, dipindahkan, harus memperhatikan kearifan dan sejarah masa lalu. Jangan sampai segala pembangunan yang ada meruntuhkan peninggalan kebudayaan masa lalu, dan berganti menjadi kebudayaan industri yang terbukti gagal mempertahankan kearifan budaya asli Indonesia.
Mantra Darah Putih, yang dituturkan Haji Ahmad, sesungguhnya bukan bentuk  kemusyrikan, tetapi secara kebahasaan menunjukkan kesadaran bahwa rakyatnya bekerja di lautan. Hidupnya amat tergantung dengan lautan. Apabila terjadi sesuatu dengan lautan, habislah penghidupan.
Ketika Sang Darah Putih ini wafat, barulah segala aspek kehidupannya kembali ke daratan. Kapalnya dinaikkan ke darat. Manusia, tercipta dari tanah, dan tanah ini secara umum disimbolkan dengan daratan. Ketika ia mati, ia akan serta merta kembali menjadi tanah. Betapapun jauhnya pelayaran, betapapun saktinya ia. Tanah, itulah hakikat hidup seorang manusia.
Bangsa pelaut kepulauan ini memang mencari makan di lautan, tetapi mereka akan pulang kepada asalnya. Mereka tercipta dari tanah, dan akan kembali tanah lagi. Ini menunjukkan sisi kesadaran masyarakat yang amat tinggi kepada asal kejadiannya, agar tidak sombong. Secara kebetulan pula, setiap orang yang ditanyai mengenai sejarah kebudayaan kepulauan, akan mengawalinya dengan ucapan “Maaf, jika saya salah, manusia memang banyak salahnya”.
Sekali lagi, folklore yang dipandang sebagai fosil kebudayaan zaman dulu, jangan sampai hilang. Apabila itu terjadi maka dengan sendirinya akar kebudayaan akan hilang, dan arah kebudayaan yang sedang berkembang itu menjadi tak jelas. Hancur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar