Ombak-ombak
berkejaran di sela akar-akar bakau yang tumbuh memanjang. Kepiting dan ikan
kecil berenang dengan mesra. Musim angin selatan sesaat lagi tiba, ombak lebih
besar dari biasanya. Bakau yang baru berukuran 50 cm itu nampak rapi, dan siap menerima terjangan musim angin
selatan.
Ratusan
tahun lalu, di tengah lautan yang sama, sebuah kapal terombang-ambing dan
awaknya berjatuhan kelaut satu demi satu. Kapal itu semakin goyah dan terjadi
kebocoran dimana-mana. Pemilik kapal, yang merupakan orang Mandar, berseru
untuk mengencangkan tiang dan tali
layar.
Apa
daya, sebuah ombak besar keburu menghantam sisi kapal, dan kapal itu hancur.
Awaknya bergelimpangan di tengah lautan, bersembulan dan kehilangan nyawa. Hari
menjelang pagi, hanya satu orang yang
selamat, dan itu hanya si pemilik kapal.
Bertahun-tahun
ia mengapung di tengah lautan luas tanpa mengalami kematian. Kaki dan tangannya
telah ditumbuhi teritip dan ganggang. Kulitnya sudah rusak. Akhirnya
terdamparlah ia di sebuah pulau, dan ia telentang diatas pesisirnya. Nafasnya
tinggal satu-satu, kesaktiannya hilang begitu menyentuh pasir.
Penduduk
pulau yang ada di sana kebingungan, sebab ada orang yang kulitnya sudah rusak
dan ditumbuhi teritip namun masih hidup. Ketika ia ditolong, ia nampak sudah mendekati
ajalnya. Ia berkata, “Aku sesaat lagi mati. Bila kamu ingin mandikan dan
kuburkan aku, jangan kamu bersihkan kulitku”.
Ia
akhirnya mati, dan sebelum mati ia meninggalkan sebuah amanat, “bila kamu ingin
kuburkan aku, maka kapalku galangkanlah dulu”. Penduduk pulau tidak bertanya,
sebab mereka yakin, si Mandar ini bukan orang biasa. Setelah kapalnya yang
karam digalangkan, maka diadakan upacara penguburan. Ketika upacara ini,
mengalirlah darah berwarna putih dari sela kulit Mandar. Oleh sebab itu, ia
dipanggil dengan Darah Putih.
Ketika
upacara penguburan diadakan, terjadi sesuatu di tengah lautan. Ombak
bergulung-gulung dengan besarnya, sementara angin menghembus dahan-dahan kelapa
menjadi terhuyung. Petir menggelegar. Para penduduk pulau panik, pemakaman baru
saja dilaksanakan, belum lagi ada yang sampai ke rumahnya.
Dengan
panik, para penduduk berkumpul kembali di dekat makam Darah Putih dan membuat
sebuah mantra, “Hai Makam Darah Putih! Tolong lautan ini kau teduhkanlah!” Tak
berapa lama, lautan menjadi teduh, angin berhenti, dan suasana kembali tenang.
Makam itu kini bisa dilihat di Pulau Karya, sebelah Pulau Panggang.
Penduduk
mulai ramai. Mulai banyak anak-anak dan penduduk Mandar, bugis, banten, dan
jawa banyak yang menetap disana. Banyak juga yang wafat, dan dikuburkan.
Perumahan mulai padat, dan pulau semakin menyempit karena padat. Banyak juga
reklamasi untuk membangun rumah baru.
Hari
beranjak malam, semua sudah mematikan pelita. Angin berhembus tenang, membawa
suara-suara dari tengah lautan. Udara dingin, membuat semuanya menarik selimut
lebih erat. Tak berapa lama, telinga dikejutkan dengan suara langkah kaki kuda.
Menapak-napak penjuru pulau. Di pulau itu tidak pernah dijumpai kuda
sebelumnya.
Seorang
mengintip, alangkah terkejutnya ia melihat sesosok penunggang kuda putih.
Lentera dibawanya disisi kiri, sementara sisi kanannya memegang tali kekang
yang juga putih terang warnanya. Ia mengenakan surban, yang tampak bersinar di
kegelapan malam. Kainnya menjulur seperti panji, sementara ia mengenakan jubah
putih.
Janggutnya
lebat, tetapi tak ada yang dapat melihat mukanya. Seorang yang mengintip itu
nampak ketakutan, dan ia segera menutup jendela. Ini berlangsung sepanjang
malam itu, dan paginya beberapa penduduk mengalami hal yang sama.
Cerita
tentang penunggang kuda ini tersebar dari mulut kemulut. Ketika itu, malam
jum’at, sekelompok juru ronda berjaga di tepi dermaga. Ada yang mengobrol
tentang pulau, ada pula yang terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, sang penunggang kuda
kembali menampakkan wujudnya di kejauhan. Hal ini terus berulang setiap malam
jumat.
Hingga
pada akhirnya, di pulau-pulau terluar terjadi bencana. Beberapa penyihir dari
Kalimantan dan daratan Jawa membuat suatu kutukan mengerikan. Entah apa alasannya,
yang jelas setiap anak yang tidur di siang hari, maka ia akan hilang pada sore
harinya. Tanpa jejak, dengan pintu kamar yang terkunci.
Keesokan
harinya, anak-anak itu ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan utama pulau.
Telentang. Tanpa luka sedikitpun. Penduduk pulau geger, dan langsung diketahui
bahwa ini adalah sihir. Tetapi siapa yang mengirimnya? Untuk apa? Kenapa pula
menyasar anak-anak pulau ini?
Pada
malamnya, seorang penduduk, yang kehilangan anaknya karena peristiwa itu
mengalami mimpi. Sang penunggang kuda putih datang kepadanya, dan memberikan
sebuah pertanda mengenai bencana yang menimpa pulaunya.
Keesokan
paginya, si penduduk yang mengalami mimpi itupun memberitahukan kepada yang
lain, dan segera dilakukan pencarian terhadap sumber sihir. Entah kenapa juga,
di pulau Pramuka, Panggang, dan Karya, yang menjadi asal dari Sang Penunggang
Kuda Putih itu tidak sama sekali terkena dampak dari sihir.
Ratusan
tahun kemudian, berdirilah pemukiman modern diatas kepulauan itu. Pulau
Panggang menjadi pusat Kelurahan, sementara Pulau Pramuka menjadi pusat
kabupaten. Sudah ribuan orang yang menetap di sana.
Folklore
yang ditemukan diatas, hanyalah sekelumit ceritera rakyat yang hilang dan
membentuk kearifan setempat. Folklore,
adalah salah satu unsur pembentuk kebudayaan dalam sebuah sistem
masyarakat. Kepulauan ini adalah contoh
terbaik bagaimana folklore membentuk
kearifannya.
Bahnawi,
54, adalah seorang pelaut, sedangkan Haji Ahmad, 70, adalah pembangun dan saksi
hidup berkembangnya pulau ini. Mereka mengajarkan satu prinsip filsafatis yang
amat dalam, sedalam lautan yang menjadi penghubung kepulauan, rumah-rumah
mereka.
Pada
dasarnya, lautan, memiliki hati. Samudera raya ini memiliki perasaan yang dapat
membaca hati setiap manusia yang berlayar dan tinggal di atas pulau-pulaunya.
Kita, manusia, apabila memiliki niat baik, lautan akan mendukung kita, secara kasat mata.
Entah itu berupa tenangnya lautan, keluarnya rizki yang melimpah dari dasarnya,
atau dijaganya pulau dari kedatangan lanun dengan membesarnya ombak.
Apabila
kita memiliki niatan jahat ketika datang ke lautan tersebut, atau memiliki
etika kurang sopan, maka lautan dan kepulauan tersebut akan meluapkan
kemarahannya, dari sekedar menegur, hingga meminta korban jiwa.
Ketika
pembangunan dermaga, ada seorang pekerja yang dengan angkuh bermain-main di
sekitar pantai dan dalam istilah Ibu Denta, seorang ketua RT, kurang permisi.
Akibatnya, ia tenggelam dan secara ajaib, jasadnya hilang di dasar lautan.
Ketika itu, ia tenggelam di bawah batuan proyek dermaga utama Pulau Pramuka.
Masyarakat
setempat dan rekan kerjanya berusaha mencari tetapi tidak ditemukan juga.
Akhirnya, warga meminta petunjuk dan “pembersihan” dengan doa seorang alim
ulama, ustad pulau tersebut, dan ditunjukkanlah dimana mayatnya. Sang pekerja
ditemukan dalam kondisi bersedekap, terduduk, bersandar di tiang jembatan
dermaga. Di sana penyelam sudah mencari berulang kali, namun baru kali ini
terlihat.
Filsafat
yang dalam ini timbul akibat ikatan yang kuat antara pelaut, pulau, dan
samudera. Kearifan mereka, yang menjaga pulau ini, sebetulnya memiliki arti
utama bukan menghormati atau merawat lautan itu sendiri.
Sang
Penunggang Kuda Putih, Sang Darah Putih dari Mandar, hanyalah simbol sebuah
kearifan betapa lekat kehidupan masyarakat kepulauan ini dengan lautan. Berbeda
dengan apa yang kita kenal sebagai wisata, mereka lahir, tumbuh, dan dimakamkan
di kepulauan ini. Laut adalah rumah.
Dengan
khusus, Sang Penunggang Kuda Putih, adalah simbol seorang syaikh. Haji Ahmad
menekankan bahwa kepulauan ini adalah kepulauan yang religius. Bukan kepulauan
yang lugu, yang primitif. Apabila masyarakat daratan memandang mereka sebagi
masyarakat yang kampungan, salah besar.
Sang
Penunggang Kuda Putih yang digambarkan menjadi syaikh penolak sihir mengerikan,
menyimbolkan bahwa Umarolah yang mampu melindungi rakyatnya dari malapetaka.
Bukan sosok putri, raja, pangeran, atau panglima. Syaikh adalah seorang yang
mendalam pengetahuan agamanya dan mampu menjadi pemimpin bagi rakyat.
Sang
Darah Putih, adalah simbol kegagahan seorang pelaut. Suku Mandar, dari Sulawesi
Selatan, adalah suku yang dikenal amat sakti. Mereka mampu mengendalikan mayat,
menyihir jarak jauh, dan menaklukkan lautan. Darahnya memang terkenal putih
sebagai efek samping aji mandraguna.
Masyarakat
Kepulauan Seribu terdiri dari mayoritas orang Mandar. Mereka inilah
pewaris-pewaris kegagahan masa lalu, yang kini mulai ditinggalkan dengan kebijakan
pemerintah yang hanya terfokus kepada pembangunan daratan dan kota besar.
Jarang ada pembangunan yang memfokuskan pemeliharaan dan eksploitasi lautan
secara optimal.
Makam
Darah Putih, dipercaya sebagai makam keramat. Keramat disini diartikan seperti
seorang pemilik terhadap rumah sewaan. Apabila kita ingin pergi dan kembali,
tentu kita harus minta izin terlebih dulu. Demikian pula masyarakat sana.
Minta
izin bukan diartikan pemujaan, tetapi, segala hal yang dilakukan, segala hal
yang dibangun, diruntuhkan, diciptakan, dipindahkan, harus memperhatikan kearifan
dan sejarah masa lalu. Jangan sampai segala pembangunan yang ada meruntuhkan
peninggalan kebudayaan masa lalu, dan berganti menjadi kebudayaan industri yang
terbukti gagal mempertahankan kearifan budaya asli Indonesia.
Mantra
Darah Putih, yang dituturkan Haji Ahmad, sesungguhnya bukan bentuk kemusyrikan, tetapi secara kebahasaan
menunjukkan kesadaran bahwa rakyatnya bekerja di lautan. Hidupnya amat
tergantung dengan lautan. Apabila terjadi sesuatu dengan lautan, habislah
penghidupan.
Ketika
Sang Darah Putih ini wafat, barulah segala aspek kehidupannya kembali ke
daratan. Kapalnya dinaikkan ke darat. Manusia, tercipta dari tanah, dan tanah
ini secara umum disimbolkan dengan daratan. Ketika ia mati, ia akan serta merta
kembali menjadi tanah. Betapapun jauhnya pelayaran, betapapun saktinya ia.
Tanah, itulah hakikat hidup seorang manusia.
Bangsa
pelaut kepulauan ini memang mencari makan di lautan, tetapi mereka akan pulang
kepada asalnya. Mereka tercipta dari tanah, dan akan kembali tanah lagi. Ini
menunjukkan sisi kesadaran masyarakat yang amat tinggi kepada asal kejadiannya,
agar tidak sombong. Secara kebetulan pula, setiap orang yang ditanyai mengenai
sejarah kebudayaan kepulauan, akan mengawalinya dengan ucapan “Maaf, jika saya
salah, manusia memang banyak salahnya”.
Sekali
lagi, folklore yang dipandang sebagai fosil kebudayaan zaman dulu, jangan
sampai hilang. Apabila itu terjadi maka dengan sendirinya akar kebudayaan akan
hilang, dan arah kebudayaan yang sedang berkembang itu menjadi tak jelas.
Hancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar