Kita
Dengan
dalam, ia menghirup aroma hembusan angin taman surga. Mawar dan melati, yang
harumnya tak hingga dan semerbak di angkasa. Dedaunan hijau dan lebar,
melambaikan tangan kepadanya. Dari kejauhan, nampak istana emas yang menjulang ingin memeluk udara. Bebatuan adalah permata,
zabarjan, yaqut, zafir, dan opas bergantian memuji-muji Allah dengan irama yang
surgawi pula.
Adalah
Adam namanya, manusia pertama. Allah yang Maha Sayang menanamkan ilmu kepada
hatinya. Pengenalan terhadap alam semesta. Malaikat diperintahkan
menghormatinya. Setelah upacara pemberkatan dan pengenalan, ia diperkenankan
tinggal dalam surga yang maha indah. Sesukanya, ia merebahkan diri direrumputan
hijau tua, atau minum dari madu dan susu yang beraroma.
Kembang-kembang
yang bersembulan tak kenal layu, lebih indah dari apa yang dapat dituliskan
pujangga pada masa kita. Tak ada rasa penat, karena surga entah kenapa menyerap
segala keletihan dan keremangan jiwa. Ia mampu menahan kekalutan pikiran.
Adam
cinta secinta-cintanya pada Allah. Ia bahkan tidak mengenal dosa. Ia belum
pernah sedikitpun mengenal bunuh-membunuh, kepangkatan, uang, ia seperti bayi
yang baru dilahirkan. Tidak pernah mengenal api memangsa kayu. Tidak pernah
mengenal pengorbanan awan kepada hujan.
Tetapi,
ia kesepian. Entah kenapa, Tuhan yang Maha Suci tidak juga memuaskan hatinya.
Ada yang kurang. Ada yang selalu saja mengejar pikirannya. Surga seperti
kehilangan kemampuan menghisap energi kekalutan. Ia memang diajari langsung
oleh Allah tentang benda-benda dan hakikatnya, tetapi cinta bukan benda.
Hari-hari
lalu berganti, entah kenapa Adam menjadi menyadari pergantian ini. Ia lalu
memiliki kemampuan merenung, yang sebelumnya juga tak ia sadari. Segala hal ia
renungkan, untuk memuaskan batinnya. Untuk mengusir kesepiannya.
“Lihatlah,
manusia pertama jatuh cinta pada rasa sepi,” Tutur Api kepada kayu, yang kelak
cinta mereka menerangi kita.
“Kesepian
adalah kesendirian, tetapi begitulah manusia, bukankah Allah senantiasa
bersamanya, bersama Adam, bahkan saat-saat ia lupa,” Sahut Kayu, yang menerima
apa adanya terhadap Api.
Kelak,
ketika Kayu dicintai Api, ia tidak membuat Api kecewa dengan Arang. Arang akan
menjadi hara, dan menumbuhkan lebih banyak Kayu bagi Api yang haus cinta.
Bunga-bunga
menjadi ramai memperbincangkan Adam. Helai-helainya dengan lembut mengilhamkan
kepada kumbang, untuk menyampaikan kerinduannya, lalu terjadilah buah yang
manis dan jelita.
Ada
pula yang menitipkan cinta kepada udara, lalu diterbangkan angin menuju yang
tercinta agar buah kelak termakan manusia. Kupu-kupu yang bersayap sayu namun
dikelilingi sebagian kasih sayang Allah juga memperantarai kasih sayang bunga.
Merah dan biru menyatu jadi ungu. Sulur-sulur bersembulan menandai penyerbukan.
Adam
mungkin tertegun menyaksikan kemesraan awan dan hujan, yang jika hujan turun,
awan berangsur kehilangan muatan dan menjadi tiada. Terkadang menjadi gerimis
saja, sebab hujan ingin berbincang lebih lama dari sekedar cinta. Lebih dari
apa yang direguk manusia sebagai kasih sayang hujan kepada mata air, yang
mengalir menjadi sungai, lalu bergemuruh dalam samudera, lalu mengempaskan
karang bersama-sama dalam barisan ombak yang teguh seperti malaikat.
Allah,
dengan kasih sayangnya, menyusun takdir Adam sebagai orang-orang yang cinta.
Bukankah surga adalah taman orang-orang yang jatuh cinta? Surga, adalah taman
orang-orang yang mempertahankan cintanya kepada Allah, kepada kekasih, kepada
anak-anak. Surga, adalah suci dari segala anasir kebencian dan kita menjadi
mabuk cinta karenanya.
Allah,
adalah Dzat yang membanjiri kita dengan cinta, hingga kita tenggelam di
dalamnya. Cinta, yang sebesar zarah saja melayangkan sukma kita memeluk-Nya
lebih dalam.
Dalam
Bayyati, Adam mengumandangkan nama cinta. Dalam Nahawand, juga Adam merenungkan
hatinya yang kesepian, hingga meriakkan danau surgawi yang tenang laksana kaca.
Jiharkah, Shaba, Rast, Hijaz, Sikah, semuanya berpadu dalam tarian suara yang
memanggil-manggil nama cinta jauh dalam samudera taman surga.
Oh
cinta! Betapa harumnya, tetapi Adam kesepian. Allah menidurkannya, dengan
kalimat yang sempurna. Alam tidur para kekasih Allah, dimana ia adalah kekasih
yang pertama. Diambil-Nya shulbi Adam, tanpa ia sadari. Sedang Adam mengawang
dan jatuh pada mimpi yang semakin menenggelamkannya pada samudra.
Pada
masa kita yang jauh dari cinta, shulbi hanyalah pertanda. Setiap kita yang
kesepian memiliki shulbi yang tergenggam dengan aman pada Tangan Allah.
Kesepian, pada hakikatnya adalah kerinduan kepada shulbi. Kerinduan pada bagian
raga dan sukma. Kerinduan, yang berbeda dengan kerinduan pada yang Maha Cinta.
Allah,
memang cukup menenangkan hati kita, bahkan sekedar mengingatnya. Tetapi, cinta
tidaklah sederhana. Hati Adam jauh lebih rumit daripada sekedar menghamba
kepada Allah. Cinta adalah hak, atas penghambaan kita kepada Yang Maha Cinta. Yang
Maha Cinta memang menciptakannya memiliki rasa cinta terhadap jenisnya,
sebagaimana diciptakan bunga-bunga saling berpasangan. Sebagaimana diciptakan
jantan dan betina dalam taman hujan.
Dan
pada masa kita, kesepian menjadi lebih berarti. Tak sekerjap pun kita memandang
Yang Maha Cinta. Entah kenapa, kerinduan memiliki wilayah waktunya sendiri.
Menjadi jauh lebih lama dan menjemukan.
Sebagaimana
Adam, kita mungkin saling merindukan. Aku rusuk dan Kamu shulbi. Menanti
sebagaimana perputaran bumi menantikan siang kepada malam.
Ketika
Siang menemui Malam, maka cinta mereka seperti mata air yang meriap dari balik
taman di tepi perbukitan, merayapi tanah, dan berkumpul menjadi sungai yang
deras dan jernih, di dalamnya mengalir juga kasih sayang Allah. Sungai terus
berlari menjadi gemuruh, terkadang menemui air terjun yang menjadikannya percaya
kepada bumi yang menerima hunjaman sepenuh cinta. Menjadi pemandangan indah.
Sesampainya
di muara, sungai melepaskan gemuruhnya untuk menjadi ombak, yang mampu
mengempas karang, dan karang dengan cintanya memeluk ombak yang mengikisnya
menjadi pasir, namun pasir dengan sisa-sisa cinta dari sang karang memenuhi
pesisir yang indah, dan kita bermain diatasnya.
Lalu
dari pesisir, ya, dari pesisir, disanalah tempat terbaik kita menyaksikan Siang
mencintai Malam dan bersama-sama menjadi senja yang merah dan jingga, dan saat
senja tiba mereka berbagi matahari, , tanpa menyelisihi satu sama lainnya.
Pergilirannya menjadikan laut terkagum jadi emas, dan nelayan yang kembali
kepada daratan menjadi hiasan.
Allah,
Ketuhanannya dilambangkan dengan nama Kasih sayang dan cinta. Sebab itu, ia
membangunkan Adam dengan cara yang tak biasa. Tangan yang lembut, yang belum
pernah menyentuh pipi Adam sedikitpun, tiba-tiba hadir dan melekat lembut
padanya.
Mata
yang dalam menembus kedalam hati, membuat Adam terpana. Keteduhannya berbeda
dengan matanya, yang biasa ia saksikan dalam cermin permata. Siapakah ia?
Desir-desir
datang seperti ingin yang memburu bunga-bunga. Detak-detak sukma semakin
meriap, kulitnya yang halus juga mengalahkan permadani yang dihadiahkan Allah
kepadanya. Tetapi, wajahnya yang indah, benar-benar mirip dengan wajah yang ia
temui dalam cermin.
Siapakah
ia? Harumnya seperti bunga, tetapi ini seperti bunga kepada kumbang. Adam
berdiri, terlepas dari keterpanaan. Menjabat tangannya, dan meletakkannya lekat
pada dadanya yang bidang. Tak sanggup berkata-kata.
Ia
kehilangan bahasa, itulah sebabnya kini cinta tak mengenal juga bahasa. Ia
hanya kenal mata dan hati. Dari tangan mereka berdua, kehangatan saling
bertukar tempat. Saling mengaliri darah keduanya.
Siapakah
ia? Mampu menghentikan waktu tempat Adam bersemayam. Tetapi angin tetap ingin berhembus,
menghembuskan rambut yang ada di hadapannya. Bunga-bunga yang diburu angin
tetap memeluk kaki keduanya. Itulah sebabnya, cinta kini menjadikan kita dapat berpindah
zona waktu, meski tidak berpindah tempat sedikitpun dari asalnya.
Semakin
lekat menatap, semakin dekat kaki mereka. Siapakah ia? Adam tak pernah
mengenalnya sebagai shulbi, dan tak akan pernah menyangka. Itu sebabnya pada
masa kita, siapa yang menjadi cinta tak pernah akan terduga. Shulbi tertutupi
daging, maka ia menjadi tersembunyi.
Tetapi,
siapakah ia, yang datang seperti mimpi kepada Adam?
Ya,
Siapakah
Kamu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar