Jumat, 03 Agustus 2012

Dari Atas Jembatan Layang


Dari Atas Jembatan Layang
Jam sepuluh malam. Kertasku masih kosong dari aksara yang bisa kaubaca, aku harus menyampaikan sesuatu kepadamu. Waktu kita singkat, bukan? Bukan dibatasi jam, atau cahaya matahari dan bulan. Tetapi hatimu, hatimu hanya sebentar dapat memaafkan aku.
Ya, hanya sebentar. Dan sepertinya akan cepat juga berganti.
Maafkan aku, aku jarang mengetuk pintumu. Aku jarang pulang. Ada sesuatu dalam rumah yang membuatku memilih menyingkir darimu. Aku mencintaimu, sebab itu aku tak ingin menambah muatan pikiranmu.
Maukah kamu?
“Sampai kapan kamu terus berjalan, Sayang?” Tanyamu dengan sederhana. Wajahmu nampak rindu.
“Sampai aku menemukan jalan pulang,” Jawabku.
“Aku tidak mengerti,” Aku memang tidak ingin kamu mengerti maksudku. Sulit.
Aku terus berjalan, dan kamu senantiasa mengulangi pertanyaan itu, pertanyaan yang memaksa aku memegang tanganmu untuk sejenak, mengaitkan jari-jarimu pada jari-jariku.
Aku mengerti. Kamu selalu menyiapkan apa yang aku butuhkan, setiap hari, agar ketika aku pulang, aku tidak kelelahan. Ya, jika aku pulang.
Maafkan aku, meninggalkan kamu bersama sepi. Malam-malammu pasti dingin. Kamu pasti menikmati segelas teh hangat bersama semut-semut dalam ruang makan, dan makan sendirian. Menonton televisi sendirian, dan tak dapat tertawa sendirian. Maafkan aku. Aku mencintaimu. Aku terus mencari jalan pulang, sungguh.
Aku terus mencari jalan pulang.
Jam sebelas malam. Kertasku masih kosong dari aksara yang bisa kaubaca. Aku harus menyampaikan sesuatu padamu, ya, harus. Tetapi kamu pasti tak ingin sedikitpun membukakan pintu buat aku. Membaca pesanku. Sungguh, aku juga kedinginan. Malam menjelang ramadhan adalah malam terdingin, dan menuntut kehangatan kita berdua.
Aku harus pulang. Bagaimanapun caranya.
Ketika kamu memilih aku, kamu pasti mengharapkan seseorang yang turun dari surga, dan senantiasa membelai wajahmu yang manis, yang manis.
Yang selalu bersandar pada pipimu, dan pipinya menghapus airmata hujanmu. Ketika malam tiba, ia akan menghabiskan teh hangat bersamamu, sementara makanan ringan yang terhidang di meja dibaginya dua. Setengah untuknya, setengahnya untukmu.
Maafkan aku, setahumu, aku masih yang dulu. Aku bahkan ragu kamu masih mengenali aku. Caraku berpakaian, warna kulitku, potongan rambutku. Suaraku. Rabaan tanganku.
Apakah kamu yakin aku masih aku yang dulu?
Jam duabelas malam. Kertasku masih kosong dari aksara yang bisa kaubaca. Aku ingin pulang, dengan sebelumnya menitipkan pesan kepadamu, yang mengabarkan perubahanku. Penuaanku. Yang menceritakan perubahan sikapku.
“Apa kabar?” Sapamu lewat pesan yang dibawa angin lalu.
“Sedang apa kamu?” Suaramu sempat terberkas dan dibawa angin kepadaku.
“Aku menulis pesan untukmu,” Aku menjawab ragu.
“Buat apa?” Sambungmu. “Kudengar kamu tidak sehat belakangan ini,”
“Kenapa?” Kamu menyela percakapan.
“Aku berubah,”
“Menjadi bukan aku yang dulu.”
Kudengar dari irama anginnya, kamu ingin menangis. Tapi tak sempat kupastikan. Angin keburu reda. Entah kenapa.
Benar-benar reda. Dedaunan yang bergesekan terhenti, begitu juga air yang turun dari gerimis terhenti. Waktu terhenti. Tertahan pada jarum duabelas malam.
Juga, entah kenapa.
Aku takut, jika aku terus memaksa menulis, kamu akan habis jadi sajak dan aksara. Menjadi serpihan kata-kata.
Kakimu akan menjadi susunan aksara yang menggambarkan angin karena kehalusannya, dan jemari tanganmu akan tersusun dalam sajak alang-alang kering. Tubuhmu yang semampai akan menjelma sinar matahari pagi yang hangat, dan melancarkan peredaran darahku.
Aku takut, jika aku memaksa menulis, aku akan sulit tidur. kedua bilah bibirmu akan menjadi sayap yang berkepak dalam lintasan kata-kata. hidungmu yang indah akan pula terurai menjadi huruf-huruf penuh sinar yang hangat dan memancarkan aroma kebisuan kita. Keheningan taman kita.
Pipimu yang murni akan juga meluruh menjadi tumpukan bata merah kata-kata. dan matamu, ya. Matamu,
Tetapi entah kenapa jika aku mengurai matamu maka akan terurai juga airmata.perlahan-lahan, dan mengelukan tanganku. Menjadi hujan yang berbahaya. Hujan yang meluluhkan kulit.
Matamu, ya, matamu.
Waktu kembali berdenting. Aku membebaskan diri dari paksaan untuk menulis tentang kamu. Aku hanya ingin menulis permintaan maafku padamu, karena aku ingin pulang.
Ya, aku hanya ingin pulang.
Jam sebelas malam. Kertasku masih kosong. Masih murni dari kata-kata. aku ingin membebaskanmu dari kata-kata, mengembalikanmu pada wujud yang tak bisa dilambangkan kata-kata. pada sesuatu yang tak mampu dicapai bahasa dan susunannya.
Aku mencintaimu. Tetapi tak dapat pulang sepenuhnya, terjebak untuk menguraimu menjadi kata-kata. malam semakin larut, dan aku kehilangan selera tidur. aku hanya ingin menuliskan permohonan maafku yang tulus hanya kepadamu.
Ya, tunggulah. Biarkan aku menemukan cara untuk pulang. Secepatnya.    
****
Sementara itu, rumahnya berubah dengan cepat. Benar-benar berubah. Langitnya biru tersaput asap kehitaman. Gedung-gedung tinggi mengoyak taman dalam ingatan. Jalan raya yang besar digelar dimana-mana, dibalut aspal dan leleran beton bertulang.
Taman-taman kota dibangun, tetapi kehilangan rumpun alang-alang kering. Pers dan media terus menerus melinangkan airmata, meruahkannya menjadi banjir musiman yang mengundang penyakit masyarakat.
Kesendirian membuatnya menjadi lebih kuat, tegar, dan mandiri, ya, menjadi kota yang tak mengenal siapapun lagi. Membutuhkan siapapun lagi. Penduduk rumahnya menjadi keras, kehilangan kata-kata yang menggambarkan keriangan.
Laki-laki itu terlalu lama mencari jalan pulang. Penanggalan telah berganti. Tahun juga telah tua. Alang-alang kering tidak ada, yang ada rumput kota. Diterkam sepatu dan jalan raya. Kertasnya masih kosong seperti sedia kala, namun kali ini lebih karena mendengar kabar bahwa rumahnya tak menanyakan kabarnya lagi dengan perantara angin lalu.
Jejaknya mungkin masih ada, jejak ketika ia pergi untuk pertama kali, tetapi penduduk kota yang tersisa setelah penanggalan terganti berselisih tentang arahnya. Ada yang mengatakan dia ke utara, ada yang mengatakan ke selatan. Padahal ia berjalan lurus kedepan, untuk mencari jalan pulang.
Bumi itu bulat, ya, ia tahu, paling tidak ia akan memutari bumi dan kembali pada sisi lain kota. Tetapi entah kenapa ia kehilangan arah. Pemahaman terhadap jalan pulang dan jalan pergi. Karena bumi itu bulat, maka tak juga dapat dijelaskan mana jalan pulang mana jalan pergi.
Ia terus mencari jalan pulang. Ia sungguh-sungguh, ingin mencari jalan pulang. Mencari rumahnya yang sudah tidak menanyakan kabarnya lagi. Sibuk memilih kepala rumahtangganya yang baru.  Melupakan pria yang pergi mencari jalan pulang.
Jembatan layang banyak dibangun, melayangkan ingatan masa kecil orang yang tinggal dibawahnya, tentang rumah yang indah, yang dihuni kata-kata. yang tersusun pula dalam susunan sajak alang-alang kering.
Jembatan layang banyak dibangun bersilangan, dan menghalangi sembarang kendaraan dan sepatu melangkahinya. Anjing besar penjaga rumah akan menyalak sesukanya.
Kertasnya masih kosong, entah kenapa. Kertasnya mungkin akan tetap dibiarkan kosong, dan kita akan kehilangan ingatan, tentang siapa yang harus memaafkan dan harus dimaafkan, dan terlebih lagi, cara meminta maaf. Kertasnya, masih kosong dari apa yang bisa terbaca pada masa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar