Dari
Atas Jembatan Layang
Jam
sepuluh malam. Kertasku masih kosong dari aksara yang bisa kaubaca, aku harus
menyampaikan sesuatu kepadamu. Waktu kita singkat, bukan? Bukan dibatasi jam,
atau cahaya matahari dan bulan. Tetapi hatimu, hatimu hanya sebentar dapat
memaafkan aku.
Ya,
hanya sebentar. Dan sepertinya akan cepat juga berganti.
Maafkan
aku, aku jarang mengetuk pintumu. Aku jarang pulang. Ada sesuatu dalam rumah
yang membuatku memilih menyingkir darimu. Aku mencintaimu, sebab itu aku tak
ingin menambah muatan pikiranmu.
Maukah
kamu?
“Sampai
kapan kamu terus berjalan, Sayang?” Tanyamu dengan sederhana. Wajahmu nampak
rindu.
“Sampai
aku menemukan jalan pulang,” Jawabku.
“Aku
tidak mengerti,” Aku memang tidak ingin kamu mengerti maksudku. Sulit.
Aku
terus berjalan, dan kamu senantiasa mengulangi pertanyaan itu, pertanyaan yang
memaksa aku memegang tanganmu untuk sejenak, mengaitkan jari-jarimu pada
jari-jariku.
Aku
mengerti. Kamu selalu menyiapkan apa yang aku butuhkan, setiap hari, agar
ketika aku pulang, aku tidak kelelahan. Ya, jika aku pulang.
Maafkan
aku, meninggalkan kamu bersama sepi. Malam-malammu pasti dingin. Kamu pasti
menikmati segelas teh hangat bersama semut-semut dalam ruang makan, dan makan
sendirian. Menonton televisi sendirian, dan tak dapat tertawa sendirian.
Maafkan aku. Aku mencintaimu. Aku terus mencari jalan pulang, sungguh.
Aku
terus mencari jalan pulang.
Jam
sebelas malam. Kertasku masih kosong dari aksara yang bisa kaubaca. Aku harus
menyampaikan sesuatu padamu, ya, harus. Tetapi kamu pasti tak ingin sedikitpun
membukakan pintu buat aku. Membaca pesanku. Sungguh, aku juga kedinginan. Malam
menjelang ramadhan adalah malam terdingin, dan menuntut kehangatan kita berdua.
Aku
harus pulang. Bagaimanapun caranya.
Ketika
kamu memilih aku, kamu pasti mengharapkan seseorang yang turun dari surga, dan
senantiasa membelai wajahmu yang manis, yang manis.
Yang
selalu bersandar pada pipimu, dan pipinya menghapus airmata hujanmu. Ketika
malam tiba, ia akan menghabiskan teh hangat bersamamu, sementara makanan ringan
yang terhidang di meja dibaginya dua. Setengah untuknya, setengahnya untukmu.
Maafkan
aku, setahumu, aku masih yang dulu. Aku bahkan ragu kamu masih mengenali aku.
Caraku berpakaian, warna kulitku, potongan rambutku. Suaraku. Rabaan tanganku.
Apakah
kamu yakin aku masih aku yang dulu?
Jam
duabelas malam. Kertasku masih kosong dari aksara yang bisa kaubaca. Aku ingin
pulang, dengan sebelumnya menitipkan pesan kepadamu, yang mengabarkan
perubahanku. Penuaanku. Yang menceritakan perubahan sikapku.
“Apa
kabar?” Sapamu lewat pesan yang dibawa angin lalu.
“Sedang
apa kamu?” Suaramu sempat terberkas dan dibawa angin kepadaku.
“Aku
menulis pesan untukmu,” Aku menjawab ragu.
“Buat
apa?” Sambungmu. “Kudengar kamu tidak sehat belakangan ini,”
“Kenapa?”
Kamu menyela percakapan.
“Aku
berubah,”
“Menjadi
bukan aku yang dulu.”
Kudengar
dari irama anginnya, kamu ingin menangis. Tapi tak sempat kupastikan. Angin
keburu reda. Entah kenapa.
Benar-benar
reda. Dedaunan yang bergesekan terhenti, begitu juga air yang turun dari
gerimis terhenti. Waktu terhenti. Tertahan pada jarum duabelas malam.
Juga,
entah kenapa.
Aku
takut, jika aku terus memaksa menulis, kamu akan habis jadi sajak dan aksara.
Menjadi serpihan kata-kata.
Kakimu
akan menjadi susunan aksara yang menggambarkan angin karena kehalusannya, dan
jemari tanganmu akan tersusun dalam sajak alang-alang kering. Tubuhmu yang
semampai akan menjelma sinar matahari pagi yang hangat, dan melancarkan
peredaran darahku.
Aku
takut, jika aku memaksa menulis, aku akan sulit tidur. kedua bilah bibirmu akan
menjadi sayap yang berkepak dalam lintasan kata-kata. hidungmu yang indah akan
pula terurai menjadi huruf-huruf penuh sinar yang hangat dan memancarkan aroma
kebisuan kita. Keheningan taman kita.
Pipimu
yang murni akan juga meluruh menjadi tumpukan bata merah kata-kata. dan matamu,
ya. Matamu,
Tetapi
entah kenapa jika aku mengurai matamu maka akan terurai juga
airmata.perlahan-lahan, dan mengelukan tanganku. Menjadi hujan yang berbahaya. Hujan
yang meluluhkan kulit.
Matamu,
ya, matamu.
Waktu
kembali berdenting. Aku membebaskan diri dari paksaan untuk menulis tentang
kamu. Aku hanya ingin menulis permintaan maafku padamu, karena aku ingin
pulang.
Ya,
aku hanya ingin pulang.
Jam
sebelas malam. Kertasku masih kosong. Masih murni dari kata-kata. aku ingin
membebaskanmu dari kata-kata, mengembalikanmu pada wujud yang tak bisa
dilambangkan kata-kata. pada sesuatu yang tak mampu dicapai bahasa dan
susunannya.
Aku
mencintaimu. Tetapi tak dapat pulang sepenuhnya, terjebak untuk menguraimu
menjadi kata-kata. malam semakin larut, dan aku kehilangan selera tidur. aku
hanya ingin menuliskan permohonan maafku yang tulus hanya kepadamu.
Ya,
tunggulah. Biarkan aku menemukan cara untuk pulang. Secepatnya.
****
Sementara
itu, rumahnya berubah dengan cepat. Benar-benar berubah. Langitnya biru
tersaput asap kehitaman. Gedung-gedung tinggi mengoyak taman dalam ingatan.
Jalan raya yang besar digelar dimana-mana, dibalut aspal dan leleran beton
bertulang.
Taman-taman
kota dibangun, tetapi kehilangan rumpun alang-alang kering. Pers dan media
terus menerus melinangkan airmata, meruahkannya menjadi banjir musiman yang
mengundang penyakit masyarakat.
Kesendirian
membuatnya menjadi lebih kuat, tegar, dan mandiri, ya, menjadi kota yang tak
mengenal siapapun lagi. Membutuhkan siapapun lagi. Penduduk rumahnya menjadi
keras, kehilangan kata-kata yang menggambarkan keriangan.
Laki-laki
itu terlalu lama mencari jalan pulang. Penanggalan telah berganti. Tahun juga
telah tua. Alang-alang kering tidak ada, yang ada rumput kota. Diterkam sepatu
dan jalan raya. Kertasnya masih kosong seperti sedia kala, namun kali ini lebih
karena mendengar kabar bahwa rumahnya tak menanyakan kabarnya lagi dengan
perantara angin lalu.
Jejaknya
mungkin masih ada, jejak ketika ia pergi untuk pertama kali, tetapi penduduk
kota yang tersisa setelah penanggalan terganti berselisih tentang arahnya. Ada
yang mengatakan dia ke utara, ada yang mengatakan ke selatan. Padahal ia
berjalan lurus kedepan, untuk mencari jalan pulang.
Bumi
itu bulat, ya, ia tahu, paling tidak ia akan memutari bumi dan kembali pada
sisi lain kota. Tetapi entah kenapa ia kehilangan arah. Pemahaman terhadap
jalan pulang dan jalan pergi. Karena bumi itu bulat, maka tak juga dapat
dijelaskan mana jalan pulang mana jalan pergi.
Ia
terus mencari jalan pulang. Ia sungguh-sungguh, ingin mencari jalan pulang.
Mencari rumahnya yang sudah tidak menanyakan kabarnya lagi. Sibuk memilih kepala
rumahtangganya yang baru. Melupakan pria
yang pergi mencari jalan pulang.
Jembatan
layang banyak dibangun, melayangkan ingatan masa kecil orang yang tinggal
dibawahnya, tentang rumah yang indah, yang dihuni kata-kata. yang tersusun pula
dalam susunan sajak alang-alang kering.
Jembatan
layang banyak dibangun bersilangan, dan menghalangi sembarang kendaraan dan
sepatu melangkahinya. Anjing besar penjaga rumah akan menyalak sesukanya.
Kertasnya
masih kosong, entah kenapa. Kertasnya mungkin akan tetap dibiarkan kosong, dan
kita akan kehilangan ingatan, tentang siapa yang harus memaafkan dan harus
dimaafkan, dan terlebih lagi, cara meminta maaf. Kertasnya, masih kosong dari
apa yang bisa terbaca pada masa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar