Selasa, 23 Oktober 2012

Tengsoe vs Sapardi


Datanglah Hujan, Maka Awan Akan Pergi

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Demikian Sapardi, dalam sebuah antologinya menyampaikan cinta dengan bahasanya sendiri. Pada tahun 80-an, sejak sajak ini terbit, ia menjadi ungkapan paling mematikan bagi cinta, yang bahkan para penyair sekalipun sulit menandinginya.
Hal yang menarik, adalah ketika seorang penyair angkatan setelahnya, Liberatus Tengsoe Tjahjono, menerbitkan kumpulan sajaknya pada tahun 2009, dalam Salam Mempelai, berbunyi sangat mirip dari segi tertentu yang nanti akan kita bahas. Datanglah, Maka Aku Kan Pergi.
Pada petikan yang berbunyi:
datanglah, maka ku akan pergi
Begitu kata awan kepada hujan
Saat bumi basah oleh guyuran
Tak tahu dimana mendung berada
Apa maksud kedua puisi diatas? Sapardi tegas menggunakan simbol, “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” sederhana yang bagaimana? Ya, “dengan isyarat” bukan kata-kata, tetapi gerak, atau pertanda “yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Apa isyaratnya? Setelah hujan berhenti, mendung akan hilang, namun dari jejaknya akan tercipta pelangi yang sangat indah. Mewarnai langit yang tadinya hitam menjadi seperti taman kembang.ia menggunakan awan, sebagai pihak yang mencintai namun dengan mengorbankan diri sendiri, agar subjek yang ia cintai mampu hidup. Meski, “menjadikannya tiada”
Simbolisasi ni berkaitan dengan pengalaman psikologis pengarang. Hampir dari seluruh sajak Sapardi, kita memahami, ia memiliki pengalaman yang amat intim dengan hujan. Awan. Matahari. Alam semesta dan kosmis, yang akhirnya dirangkai kedalam sajak, namun mencari hikmahnya pada cinta dan kehidupan.
Secara psikoanalisis, sebuah sajak mungkin (mungkin!) tercipta karena pengalaman, impian, atau kenyataan masa lalu yang terejawantahkan dimasa depan bukan dalam dunia nyata, tetapi dunia khayal dan bayang-bayang yang dinyatakan dengan kata, gambar, atau simbol lain yang menyatakan bahwa itu bukan kenyataan.
Bagaimana Sapardi, dengan lembut namun terisak, merelakan dirinya habis demi orang yang ia cintai, meski hanya dalam sajak, sebagaimana pengorbanan awan agar turun hujan. Tetapi, sebatas “aku ingin” maka itu, ini muncul menjadi sajak. Entah tercapai atau tidak keinginan ini, yang jelas sajak ini menyatakan “belum tercapai” sebab “aku” masih sekedar “ingin”
Dengan hubungan diatas, simbolisasi bisa terjadi secara tak sadar dan mengambil simbol yang telah ada pada masa lalu di benak pengarang, dan merepronya sebagai produk simbolisasi masa kini dan masa depan.
Tengsoe, dapat diaggap memilih diksi yang mirip, atau sama secara sintaksis dengan sajak Sapardi diatas. Hanya saja, sebuah karya sastra haruslah dinilai dengan konteksnya, bukan hanya susunannya, atau diksinya. Bukankah itu yang menyebabkan karya yang sama memiliki pencerapan yang berbeda pada penikmat yang berbeda?
Datanglah, maka ku akan pergi. Begitu kata awan kepada hujan, saat bumi basah oleh guyuran, tak tahu dimana mendung berada. Tengsoe, juga dengan lembut, mengungkapkan bahwa, jika kekasihnya datang, maka: dia akan pergi. Kemana?
Ketempat yang sama, yang dituju awan ketika hujan datang. Entah kemana. Sementara bumi, sebagai pihak ketiga, tak mengetahui, setelah hujan reda, kemana mendung pergi.
Secara psikoanalisa, bisa dikatakan Tengsoe memiliki pengalaman cukup unik dalam memaknai hujan dan kaitannya dengan awan. Tetapi, yang menjadi masalah adalah, baik ungkapan, diksi, dan makna kontekstualnya, amat serupa dengan sajak Sapardi diatas.
Keduanya menginterpretasikan pengorbanan diri yang mesti pergi ketika menghidupi sang kekasih. Agar eksistensi kekasih tetap deras, meski eksistensi diri menjadi tiada. Keduanya, juga menggunakan ungkapan awan sebagai eksistensi diri, dan hujan sebagai eksistensi kekasih, dengan tema yang sama. Dalam makna yang sama.
Sajak Sapardi disusun lebih ringkas, mampu memadatkan emosi pembaca dan pencipta dalam nebula. Singkat, tetapi langsung menyentuh kedalam psikis pembacanya. Sementara tengsoe disusun lebih panjang. Dengan menghadirkan tokoh ketiga, Bumi. Bumi menyaksikan drama antara awan dan hujan tetapi tak tahu apa yang dilakukan awan hingga mendung hilang.
Apakah bisa dikatakan plagiat? Disini garis bawah adalah pada kata plagiat itu sendiri. Bahwa, yang menjadi ketetapan adalah kegiatan yang mengopi, menggandakan sebagian maupun keseluruhan. Memaknai karya sastra tidak sesederhana memaknai sebuah paragraf akte kelahiran. Tidak sesederhana membaca berita bencana sore tadi.  Setiap kata-kata memiliki alasan untuk tetap di tempatnya saat ini dalam susunan sajak. Tidak mesti sama adalah plagiat, dan tidak setiap plagiat adalah sama.
Plagiatisme, adalah sesuatu yang menjadi perdebatan panjang bagi kalangan sastrawan, mengingat, pengalaman psikologis juga mencakup pengalaman pertemuan dengan karya sastra yang akhirnya tanpa sadar muncul kembali di masa depan dalam bentuk yang bisa berbeda, bisa pula identik.
Berdasar kasus yang telah ada, sajak karawang-bekasi, yang nyata-nyata serupa pemilihan katanya dengan The Young Dead Soldiers, dinatakan bukan plagiat oleh sebagian kritikus, maka kini, dapatkah sajak tengsoe-Sapardi diatas dinyatakan sebagai plagiat?
Juga,berdasar pendekatan baik psikoanalis maupun general strukturalis, saajak tengsoe, yang ditulis lebih muda ketimbang Sapardi, ternyata menunjukkan gejala yang sama, gejala kesamaan yang terlalu banyak, yang mengidentikkan keduanya.
Mari ambil jalan tengah. Masih menurut penjelasan panjang psikoanalisis, sebuah karya memilliki celah yang disebut “ketidaksadaran”. Bahwa, impian masalalu yang dianggap hilang oleh pemiliknya ternyata muncul kembali dimasa depan tanpa diminta dalam ketidaksadaran itu juga.
Bisa melalui mimpi, gaya busana atau hidup, yang paling dekat adalah karya sastra. HB Jassin, dalam pembelaannya terhadap Karawang-Bekasi, turut memungkinkan ini juga terjadi pada karya sastra. Setidaknya, ia pernah membaca sajak Archibald tersebut, lalu melupakannya. Tanpa sadar, ketika hatinya digetar penyerbuan ke daerah itu, meluncur sajak yang menyatakan hal yang berbeda namun dengan diksi dan sintaksis yang sama.
Telah dikatakan diatas, bahwa baik Sapardi maupun tengsoe mengungkapkan hal yang sama, dengan diksi dan susunan yang hampir sama. Pengorbanan diri kepada eksistensi diri yang lain. Mau tidak mau, pada sajak ini, tengsoe harus mengakui bahwa ia mengutip-jika tidak memplagiat-dan ini jelas terbukti.
Meski sesungguhnya tak ada peraturan yang mutlak mengatur pemaknaan karya sastra selain horison harapan pembaca itu sendiri, dalam hal ini kritikus, tetapi tengsoe telah “berhasil” mengarahkan horison harapan pembaca pada kenyataan bahwa sajak ini mengutip isi dan diksi sajak Sapardi.
Lalu, bagaimana? Yah, sudahlah. Toh sastrawan kepada sastrawan yang lain adalah seperti mata air yang bercabang-cabang menjadi sungai desa dan kota. Pasti memiliki akar yang sama. Kadang juga memiliki maksud dan alat yang sama. Alat penyair adalah kata-kata dan makna. Tidak mungkin suatu ketika Sapardi menyatakan bahwa sajaknya adalah hasil perenungan diri semata, pasti ia merangkai kata-katanya berdasar template kata-kata penyair sebelumnya. Template itu adalah karya, sajak yang telah ada, lalu sampai padanya.
Tanpa sadar, ini juga terjadi pada ratusan, ribuan penyair yang hidup pada masa sekarang, dan hal inilah yang menyebabkan kekayaan sastra, bagaimana kita memodifikasi karya lain menjadi bentuk baru dan moderen.
Toh, sajak itu selengkapnya diakhiri tidak dengan awan atau hujan. Ternyata, Tengsoe, bukan memberatkan peran sebagai awan atau hujan dalam petikan sajak diatas, tetapi sebagai bumi yang basah oleh guyuran.
Sapardi, hanya meringkas dirinya cukup pada awan dan hujan, tidak menggambarkan diri-nyatanya sebagai bumi yang tak tahu dimana mendung berada. Yang tak tahu, bagaimana sebuah pengorbanan dapat diambil dari hikmah alam semesta di sekitar kita yang masih saja berkutat dengan hak cipta dan harta.

Amar Ar-Risalah.
Djoko Damono, Sapardi. Hujan Bulan Juni. 1994. Jakarta: Grasindo
Tjahjono, Tengsoe. Salam Mempelai. 2010. Lamongan: Pustaka Ilalang
Ridho, Irsyad. Teori Sastra. 2008. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar