Datanglah Hujan, Maka Awan Akan Pergi
aku
ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Demikian Sapardi, dalam
sebuah antologinya menyampaikan cinta dengan bahasanya sendiri. Pada tahun
80-an, sejak sajak ini terbit, ia menjadi ungkapan paling mematikan bagi cinta,
yang bahkan para penyair sekalipun sulit menandinginya.
Hal yang menarik,
adalah ketika seorang penyair angkatan setelahnya, Liberatus Tengsoe Tjahjono,
menerbitkan kumpulan sajaknya pada tahun 2009, dalam Salam Mempelai, berbunyi
sangat mirip dari segi tertentu yang nanti akan kita bahas. Datanglah, Maka Aku
Kan Pergi.
Pada petikan yang
berbunyi:
datanglah,
maka ku akan pergi
Begitu
kata awan kepada hujan
Saat
bumi basah oleh guyuran
Tak
tahu dimana mendung berada
Apa maksud kedua puisi
diatas? Sapardi tegas menggunakan simbol, “aku ingin mencintaimu dengan
sederhana” sederhana yang bagaimana? Ya, “dengan isyarat” bukan kata-kata,
tetapi gerak, atau pertanda “yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada”
Apa isyaratnya? Setelah
hujan berhenti, mendung akan hilang, namun dari jejaknya akan tercipta pelangi
yang sangat indah. Mewarnai langit yang tadinya hitam menjadi seperti taman
kembang.ia menggunakan awan, sebagai pihak yang mencintai namun dengan
mengorbankan diri sendiri, agar subjek yang ia cintai mampu hidup. Meski,
“menjadikannya tiada”
Simbolisasi ni
berkaitan dengan pengalaman psikologis pengarang. Hampir dari seluruh sajak Sapardi,
kita memahami, ia memiliki pengalaman yang amat intim dengan hujan. Awan.
Matahari. Alam semesta dan kosmis, yang akhirnya dirangkai kedalam sajak, namun
mencari hikmahnya pada cinta dan kehidupan.
Secara psikoanalisis,
sebuah sajak mungkin (mungkin!) tercipta karena pengalaman, impian, atau
kenyataan masa lalu yang terejawantahkan dimasa depan bukan dalam dunia nyata,
tetapi dunia khayal dan bayang-bayang yang dinyatakan dengan kata, gambar, atau
simbol lain yang menyatakan bahwa itu bukan kenyataan.
Bagaimana Sapardi,
dengan lembut namun terisak, merelakan dirinya habis demi orang yang ia cintai,
meski hanya dalam sajak, sebagaimana pengorbanan awan agar turun hujan. Tetapi,
sebatas “aku ingin” maka itu, ini muncul menjadi sajak. Entah tercapai atau
tidak keinginan ini, yang jelas sajak ini menyatakan “belum tercapai” sebab
“aku” masih sekedar “ingin”
Dengan hubungan diatas,
simbolisasi bisa terjadi secara tak sadar dan mengambil simbol yang telah ada
pada masa lalu di benak pengarang, dan merepronya sebagai produk simbolisasi
masa kini dan masa depan.
Tengsoe, dapat diaggap
memilih diksi yang mirip, atau sama secara sintaksis dengan sajak Sapardi
diatas. Hanya saja, sebuah karya sastra haruslah dinilai dengan konteksnya,
bukan hanya susunannya, atau diksinya. Bukankah itu yang menyebabkan karya yang
sama memiliki pencerapan yang berbeda pada penikmat yang berbeda?
Datanglah, maka ku akan
pergi. Begitu kata awan kepada hujan, saat bumi basah oleh guyuran, tak tahu
dimana mendung berada. Tengsoe, juga dengan lembut, mengungkapkan bahwa, jika
kekasihnya datang, maka: dia akan pergi. Kemana?
Ketempat yang sama,
yang dituju awan ketika hujan datang. Entah kemana. Sementara bumi, sebagai
pihak ketiga, tak mengetahui, setelah hujan reda, kemana mendung pergi.
Secara psikoanalisa,
bisa dikatakan Tengsoe memiliki pengalaman cukup unik dalam memaknai hujan dan
kaitannya dengan awan. Tetapi, yang menjadi masalah adalah, baik ungkapan,
diksi, dan makna kontekstualnya, amat serupa dengan sajak Sapardi diatas.
Keduanya
menginterpretasikan pengorbanan diri yang mesti pergi ketika menghidupi sang
kekasih. Agar eksistensi kekasih tetap deras, meski eksistensi diri menjadi
tiada. Keduanya, juga menggunakan ungkapan awan sebagai eksistensi diri, dan
hujan sebagai eksistensi kekasih, dengan tema yang sama. Dalam makna yang sama.
Sajak Sapardi disusun
lebih ringkas, mampu memadatkan emosi pembaca dan pencipta dalam nebula.
Singkat, tetapi langsung menyentuh kedalam psikis pembacanya. Sementara tengsoe
disusun lebih panjang. Dengan menghadirkan tokoh ketiga, Bumi. Bumi menyaksikan
drama antara awan dan hujan tetapi tak tahu apa yang dilakukan awan hingga
mendung hilang.
Apakah bisa dikatakan
plagiat? Disini garis bawah adalah pada kata plagiat itu sendiri. Bahwa, yang
menjadi ketetapan adalah kegiatan yang mengopi, menggandakan sebagian maupun
keseluruhan. Memaknai karya sastra tidak sesederhana memaknai sebuah paragraf
akte kelahiran. Tidak sesederhana membaca berita bencana sore tadi. Setiap kata-kata memiliki alasan untuk tetap
di tempatnya saat ini dalam susunan sajak. Tidak mesti sama adalah plagiat, dan
tidak setiap plagiat adalah sama.
Plagiatisme, adalah
sesuatu yang menjadi perdebatan panjang bagi kalangan sastrawan, mengingat,
pengalaman psikologis juga mencakup pengalaman pertemuan dengan karya sastra
yang akhirnya tanpa sadar muncul kembali di masa depan dalam bentuk yang bisa
berbeda, bisa pula identik.
Berdasar kasus yang
telah ada, sajak karawang-bekasi, yang nyata-nyata serupa pemilihan katanya
dengan The Young Dead Soldiers, dinatakan bukan plagiat oleh sebagian kritikus,
maka kini, dapatkah sajak tengsoe-Sapardi diatas dinyatakan sebagai plagiat?
Juga,berdasar
pendekatan baik psikoanalis maupun general strukturalis, saajak tengsoe, yang
ditulis lebih muda ketimbang Sapardi, ternyata menunjukkan gejala yang sama,
gejala kesamaan yang terlalu banyak, yang mengidentikkan keduanya.
Mari ambil jalan
tengah. Masih menurut penjelasan panjang psikoanalisis, sebuah karya memilliki
celah yang disebut “ketidaksadaran”. Bahwa, impian masalalu yang dianggap
hilang oleh pemiliknya ternyata muncul kembali dimasa depan tanpa diminta dalam
ketidaksadaran itu juga.
Bisa melalui mimpi,
gaya busana atau hidup, yang paling dekat adalah karya sastra. HB Jassin, dalam
pembelaannya terhadap Karawang-Bekasi, turut memungkinkan ini juga terjadi pada
karya sastra. Setidaknya, ia pernah membaca sajak Archibald tersebut, lalu
melupakannya. Tanpa sadar, ketika hatinya digetar penyerbuan ke daerah itu,
meluncur sajak yang menyatakan hal yang berbeda
namun dengan diksi dan sintaksis yang sama.
Telah dikatakan diatas,
bahwa baik Sapardi maupun tengsoe mengungkapkan hal yang sama, dengan diksi dan
susunan yang hampir sama. Pengorbanan diri kepada eksistensi diri yang lain.
Mau tidak mau, pada sajak ini, tengsoe harus mengakui bahwa ia mengutip-jika
tidak memplagiat-dan ini jelas terbukti.
Meski sesungguhnya tak
ada peraturan yang mutlak mengatur pemaknaan karya sastra selain horison
harapan pembaca itu sendiri, dalam hal ini kritikus, tetapi tengsoe telah
“berhasil” mengarahkan horison harapan pembaca pada kenyataan bahwa sajak ini mengutip
isi dan diksi sajak Sapardi.
Lalu, bagaimana? Yah,
sudahlah. Toh sastrawan kepada sastrawan yang lain adalah seperti mata air yang
bercabang-cabang menjadi sungai desa dan kota. Pasti memiliki akar yang sama.
Kadang juga memiliki maksud dan alat yang sama. Alat penyair adalah kata-kata
dan makna. Tidak mungkin suatu ketika Sapardi menyatakan bahwa sajaknya adalah
hasil perenungan diri semata, pasti ia merangkai kata-katanya berdasar template kata-kata penyair sebelumnya. Template itu adalah karya, sajak yang
telah ada, lalu sampai padanya.
Tanpa sadar, ini juga
terjadi pada ratusan, ribuan penyair yang hidup pada masa sekarang, dan hal
inilah yang menyebabkan kekayaan sastra, bagaimana kita memodifikasi karya lain
menjadi bentuk baru dan moderen.
Toh, sajak itu
selengkapnya diakhiri tidak dengan awan atau hujan. Ternyata, Tengsoe, bukan
memberatkan peran sebagai awan atau hujan dalam petikan sajak diatas, tetapi
sebagai bumi yang basah oleh guyuran.
Sapardi, hanya
meringkas dirinya cukup pada awan dan hujan, tidak menggambarkan diri-nyatanya
sebagai bumi yang tak tahu dimana mendung berada. Yang tak tahu, bagaimana
sebuah pengorbanan dapat diambil dari hikmah alam semesta di sekitar kita yang
masih saja berkutat dengan hak cipta dan harta.
Amar Ar-Risalah.
Djoko Damono, Sapardi.
Hujan Bulan Juni. 1994. Jakarta: Grasindo
Tjahjono, Tengsoe.
Salam Mempelai. 2010. Lamongan: Pustaka Ilalang
Ridho, Irsyad. Teori
Sastra. 2008. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar