Selasa, 23 Oktober 2012

Kredo Tembok Naskah Asli


“Kami lahir di tembok, makan di tembok hidup di tembok.keluarga kami tinggal di tembok. Manakala tembok bergetar, disitulah kami tahu pemilik tembok murka dan mengejar untuk membunuh kami, karena kami berisik.
Kami adalah cicak, yang melekat di tembok.  Tak pernah ingin mengenal pemilik tembok, kami hanya memakan nyamuk. Lalat. Laba-laba. Kecoak. Kadang-kadang manusia.
Kami memiliki kemampuan menumbuhkan ekor yang terputus.
Kami hanya akan muncul ketika malam tak ada bulan, karena cahaya bulan tidak memancing datangnya serangga. Manusia? Manusia akan tertarik dengan cahaya televisi dan komputer. Mereka akan berhinggapan dan bisa kami mangsa.
Sejujurnya, kami ingin mengenal mereka. Hanya mengenal. Bukan untuk berbicara atau berdiskusi tentang kepalsuan? Atau tentang politik? Kami hanya ingin mengenal tentang mereka. Mereka yang punggungnya enggan sedikitpun bersandar pada tembok. Atau sekadar meraba.
Ya, kami cicak-cicak, yang bukan apa-apa bila dilihat sekelebat. Kami cicak-cicak  hanya secuil noda yang tercipta karena adanya  Tembok, kami hanya seperti debu yang  tersesat  di tengah peradaban dunia.
 Kami hanya  setetes air hujan yang jatuh dari genting. Kami tidak akan bisa sederajat dengan kalian-manusia-. Tapi berilah kami sedikit waktu untuk sekedar mengenal mereka, atau sekedar melihat mereka berbicara bersandar pada Tembok.  Sehingga kami tidak terus merasakan bahwa di dunia ini hanya ada kami- para cicak-cicak-.
Tersapu.
Terbakar.
Ekornya putus.
Dikejar kucing.
Lari.
Terinjak manusia.
Siapa kami?
Manusia. Kami bukan manusia.
Kami cicak di tembok.
Kami bersumpah, akan mengembalikan cicak menjadi manusia seperti mereka.
Tidak! Manusia yang mampu melekat di tembok, dan bukannya mengotori tembok!
Hingga pada satu ketika manusia merencanakan pemusnahan. Genosida. Seminar-seminar diadakan. Propaganda.
“cicak-cicak ini tidak melakukan apa-apa demi keindahan tembok. Sampah! Mereka hanya hinggap, menempel, dan bergurau. Main catur. Setel musik. Hardrock. Membicarakan cewek. Basmi!”
“basmiiiii!” seru tentara-tentara manusia. Hingar bingar, popor senjata dihentakkan.
Cicak!
kami tak ingin kalah dari manusia. Kami memiliki senjata. Pulpen. Kertas.
Ah, tidak, printer. Kami punya printer. Senjata mematikan.
Kami akan mengeprint semuanya. Cerpen. Puisi. Novel. Pantun. Diari. Semua. Peradaban.
Cicak cak cak cak cak cak cak berdecak terus menerus dalam telinga manusia. Cak cak berdecakan dimana-mana adanya. Cicak cak cak cak cak cak cak di dinding menggelindingkan kekuasaan. Menulis dan berdecak. Cicak cicak cicak akan mengganggu tidurmu.
Siapkan semuanya untuk menghadapi kami hingga punah. Tak akan bisa!
Seribu banding sepuluh. Sepuluh ribu banding sepuluh, tetapi tak satupun diantara manusia mampu berdecak dan melekat di tembok seperti kami.
Kami akan tetap ada di tembok, bukan dalam ruang berpendingin yang membekukan pikiran, bukan juga di kantin yang panas dan pengap. Perangilah kami.
Pada hari pertempuran, kami berhadapan muka. Pistol dan printer. Peluru terletus, segera menjelma menjadi aksara dan melekat di kertas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar