“Kami lahir di tembok, makan di tembok hidup di
tembok.keluarga kami tinggal di tembok. Manakala tembok bergetar, disitulah
kami tahu pemilik tembok murka dan mengejar untuk membunuh kami, karena kami
berisik.
Kami adalah cicak, yang melekat di tembok. Tak pernah ingin mengenal pemilik tembok,
kami hanya memakan nyamuk. Lalat. Laba-laba. Kecoak. Kadang-kadang manusia.
Kami memiliki kemampuan menumbuhkan ekor yang terputus.
Kami hanya akan muncul ketika malam tak ada bulan, karena
cahaya bulan tidak memancing datangnya serangga. Manusia? Manusia akan tertarik
dengan cahaya televisi dan komputer. Mereka akan berhinggapan dan bisa kami
mangsa.
Sejujurnya, kami ingin mengenal mereka. Hanya mengenal.
Bukan untuk berbicara atau berdiskusi tentang kepalsuan? Atau tentang politik?
Kami hanya ingin mengenal tentang mereka. Mereka yang punggungnya enggan
sedikitpun bersandar pada tembok. Atau sekadar meraba.
Ya, kami cicak-cicak, yang bukan apa-apa bila dilihat
sekelebat. Kami cicak-cicak hanya secuil
noda yang tercipta karena adanya Tembok,
kami hanya seperti debu yang tersesat di tengah peradaban dunia.
Kami hanya setetes air hujan yang jatuh dari genting.
Kami tidak akan bisa sederajat dengan kalian-manusia-. Tapi berilah kami
sedikit waktu untuk sekedar mengenal mereka, atau sekedar melihat mereka
berbicara bersandar pada Tembok.
Sehingga kami tidak terus merasakan bahwa di dunia ini hanya ada kami-
para cicak-cicak-.
Tersapu.
Terbakar.
Ekornya putus.
Dikejar kucing.
Lari.
Terinjak manusia.
Siapa kami?
Manusia. Kami bukan manusia.
Kami cicak di tembok.
Kami bersumpah, akan mengembalikan cicak menjadi manusia
seperti mereka.
Tidak! Manusia yang mampu melekat di tembok, dan bukannya
mengotori tembok!
Hingga pada satu ketika manusia merencanakan pemusnahan. Genosida.
Seminar-seminar diadakan. Propaganda.
“cicak-cicak ini tidak melakukan apa-apa demi keindahan
tembok. Sampah! Mereka hanya hinggap, menempel, dan bergurau. Main catur. Setel
musik. Hardrock. Membicarakan cewek. Basmi!”
“basmiiiii!” seru tentara-tentara manusia. Hingar bingar,
popor senjata dihentakkan.
Cicak!
kami tak ingin kalah dari manusia. Kami memiliki senjata.
Pulpen. Kertas.
Ah, tidak, printer. Kami punya printer. Senjata mematikan.
Kami akan mengeprint semuanya. Cerpen. Puisi. Novel. Pantun.
Diari. Semua. Peradaban.
Cicak cak cak cak cak cak cak berdecak terus menerus dalam
telinga manusia. Cak cak berdecakan dimana-mana adanya. Cicak cak cak cak cak
cak cak di dinding menggelindingkan kekuasaan. Menulis dan berdecak. Cicak
cicak cicak akan mengganggu tidurmu.
Siapkan semuanya untuk menghadapi kami hingga punah. Tak
akan bisa!
Seribu banding sepuluh. Sepuluh ribu banding sepuluh, tetapi
tak satupun diantara manusia mampu berdecak dan melekat di tembok seperti kami.
Kami akan tetap ada di tembok, bukan dalam ruang
berpendingin yang membekukan pikiran, bukan juga di kantin yang panas dan
pengap. Perangilah kami.
Pada hari pertempuran, kami berhadapan muka. Pistol dan
printer. Peluru terletus, segera menjelma menjadi aksara dan melekat di kertas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar