Selasa, 23 Oktober 2012

Peran Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia


Peran Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia yang kian hari diharapkan kian kuat pada masyarakat, memerlukan strategi dan perencanaan yang matang. Perencanaan ini, meliputi orientasi terhadap tujuan, isu yang berkembang, dan sumberdaya manusia serta modal.
            Berdasarkan Anggaran Dasar IMABSII bab III pasal 8, IMABSII bertujuan untuk Menjaga keutuhan dan mempererat tali persaudaraan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia. Wahana pengkajian, penelitian, dan pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia, serta Wahana pengontrol sosial atas penyalahgunaan dan penyimpangan nilai kebahasaan dan kesastraan Indonesia.
Peran kita yang menyempit hanya pada pelaksanaan even-even tertentu yang insidental, ataupun perayaan hari besar, patut kita pertimbangkan sebagai perbaikan kedepan. Bagamana selanjutnya kita berjalan diatas tangga, bukan menuruni lembah yang curam. Memaknai IMABSII sebagai sarana pengembangan, bukan sarana pesta.
Fungsi penelitian dan pengembangan, dalam kaitan IMABSII sebagai mitra kerja Badan Bahasa, memiliki medan yang sangat luas. Ini mencakup bagaimana bahasa bertahan dalam ruang dan waktu, serta dalam benak penuturnya.
Bahasa Indonesia mengalami kemunduran. Setidaknya, ada empat hal utama yang menyebabkan kemunduran ini. Pertama, tersirat dalam pasal 29 Bab III tentang Bahasa Negara dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, bahwa “Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.”
Jika kita kaitkan dengan kebijakan RSBI dan standarisasi nasional tentang mutu pendidikan, mayoritas sekolah yang bertitel “taraf nasional” atau “rintisan sekolah bertaraf internasional” jelas mengabaikan bahasa indonesia dalam kurikulumnya. Dengan mengedepankan bahasa asing sebagai mutu utama peserta didik, sekolah-sekolah semacam ini menajiskan bahasa sendiri, dan seakan membunuh dan menghapus ingatan bahasa indonesia dari benak penutur yang kebetulan bersekolah disana.
Bahasa asing dijunjung-junjung sebagai bahasa agung, bahasa perdamaian dunia, dan bahasa makhluk beradab, sementara bahasa kita dikampung-kampungkan. Proporsi pembelajaran bahasa indonesia dipersempit menjadi hanya beberapa jam seminggu dan tidak ditunjang dengan keseharian sebagai warga negara indonesia, sebab guru-guru pun pada kesehariannya kehilangan kemampuan menuturkan bahasa indonesia yang benar.
Melihat tren persiapan dan kelulusan ujian nasional., betapa banyak lembaga pendidikan yang memusatkan perhatian pada mata pelajaran “orang kaya dan sukses”, bahasa asing, ilmu alam, dan matematika. Berbangga-bangga nilai sempurna pada mata pelajaran itu, lalu merendahkan mata pelajaran bahasa indonesia.Tidak dipungkiri, keahlian berbahasa juga merupakan urusan bakat. Tetapi, terlalu aneh apabila mayoritas (perhatikan ketidakseimbangannya!) siswa mendapatkan nilai yang tidak seberapa pada bahasa indonesia?
Kedua, kebijakan yang menyamaratakan sastra dan bahasa indonesia dan menyederhanakannya menjadi soal-soal ujian nasional, jelas menginjak-injak kaidah sastra, kaidah pemaknaan sebuah karya, bahwa horison harapan dan persepsi pembaca berbeda-beda setiap individu, dan hal itu halal di mata sastra.
Pada soal ujian seringkali kita temui pemenggalan puisi untuk menemukan hubungan gagasan. Padahal, berkaitan dengan horison harapan siswa, setiap karya, puisi, prosa, memiliki kebebasan untuk dipahami bagaimanapun juga. Pembaca harus beranggapan bahwa penulis sudah mati, dan menikmati karya sebagaimana adanya, lepas dari pengaruh propaganda pembaca lainnya.
Pilihan jawaban yang tersedia dalam butir jawaban, seakan mengarahkan pembaca (siswa) dalam satu opini, satu paham tentang makna karya itu sendiri. Karena apa? Dalam pilihan ganda, hanya tersedia satu pilihan yang benar, sedangkan dalam teori horison harapan, semua persepsi dan pilihan jawaban, adalah benar menurut pembaca, bukan menurut pihak ketiga.
Ketiga, berkaitan dengan bagian penggunaan bahasa indonesia secara umum, bahasa, menurut seorang sastrawan, adalah seperti tanah kepada pohon dalam hubungannya berama budaya. Bahasa, adalah pohon yang hidup dari tanah kebudayaan itu, dan setiap kali menggugurkan daunnya, pohon kembali menyuburkan tanah setelah diisap haranya tanpa henti.
Lingkungan kerja dan pendidikan, pada masa ini seringkali (selalu!) mengadopsi budaya asing. Dari sekedar tata percakapan keluarga yang ringan, makan malam, hingga forum resmi seperti persidangan yang menggunakan gaya budaya asing.
Aturan persidangan, yang dipaksakan menggunakan bahasa inggris, atau istilah politik dari bahasa asing, mempertegas paradigma, bahwa kata itu, istilah itu tak ada padanannya dalam  bahasa indonesia.
Dengan dalih pembaruan, pembenahan, dan pendisiplinan, budaya berbahasa yang baik hilang seiring bergantinya identitas budaya kita. Budaya indonesia sekarang adalah budaya eropa. Budaya jepang. Budaya arab. Budaya yang digadang-gadang sebagai globalisasi.
Pencanangan kota-kota di daerah sebagai kota wisata dengan diluncurkannya program “Visit Indonesia” memaksa para kepala daerah yang silau dengan modernisasi, mengganti aksaranya dengan aksara asing. Mengganti penunjuk jalan dengan bahasa asing. Memaksakan penamaan istilah dan gelar dengan bahasa asing. Budaya lokal bergeser, terjadi kebingungan sosial. Penutur bahasa yang bingung ini, mesti juga menghadapi lingkungan pendidikan yang melupakan budaya sendiri, maka jadilah kita bangsa yang kehilangan identitas. Bangsa yang identitasnya tak dapat dibedakan antara bangsa asing dengan bangsa sendiri.
Kebudayaan, erat hubungannya dengan kesusastraan. Justru kesusastraan itu adalah jembatan antara budaya dan bahasa, sebuah simbiosis, atau paling tidak, area abu-abu dimana kebudayaan adalah bahasa, dan bahasa adalah kebudayaan.
Kesusastraan paska angkatan 2000 yang diwarnai karya terjemahan dan bahasa gaul anak muda, turut memperkeruh situasi. Sebetulnya, sejak dahulu, banyak bertebaran karya semacam itu. Sejak angkatan pujangga baru hingga angkatan 80-an. Namun, horison harapan pembaca kala itu tidak menganggap karya itu sebagai kiblat, bahwa “bagus” adalah “karya itu”. Mereka tetap memiliki pemahaman yang baik terhadap kebudayaan asli kita.
Bagaimana dengan era paska angkatan 2000? Karya-karya, dianggap mewakili horison harapan pembaca, apabila memenuhi syarat, diantaranya, menjadi penjualan terbanyak kala itu, kutipan atau cuplikan karya itu menjadi idiom baru, atau karya yang dihasilkan setelahnya menginduk karya itu secara massal, baik dari tema, gaya bahasa, gaya penulisan, dan amanat.
Kondisi ini memaksa kita untuk mempelajari, memahami, lalu memperbaikinya. Menjadi kondisi kebahasaan yang ideal, yang mampu mendukung kebudayaan yang sehat, lalu menumbuhkan lagi pohon sastra yang indah dan subur. Akan tetapi, apakah itu sudah cukup?
Adalah dangkal jika kita hanya bicara teori dan analisa yang mengawang-awang. Ya. Kita punya massa. Kita punya tenaga. Di dunia nyata yang melampaui segala teori. Ratusan kampus, ribuan sastrawan, puluhan ribu sarjana bahasa Indonesia.
Tantangannya sebenarnya adalah, bagaimana kita mampu menghubungkan ratusan kampus dengan puluhan ribu manusia di seluruh Indonesia? Kita adalah sastrawan sekaligus budayawan. Bukan dihubungkan dengan telepon. Surat. Rapat. Kongres. Atau diskusi.
Kita dihubungkan dengan tujuan yang sama, kita disatukan dengan cara-cara yang sama. Cara yang senantiasa berubah dan dinamis mengikuti kebutuhan setiap daerah dan waktu. Untuk itulah IMABSII dihadirkan, untuk menyelaraskan senar-senar gitar yang berbunyi sendiri-sendiri menjadi satu lagu yang indah. Nada yang diigetarkan bersama-sama namun kenal irama.
Lagi-lagi akan timbul nada sumbang tentang modal. Bahwa setiap pergerakan memerlukan tenaga, dan kita bicara pergerakan yang ditenagai biaya. Saya yakin, masalah pendanaan akan terkontrol dengan beberapa cara.
Pertama, pembinaan hubungan baik dengan balai bahasa di setiap daerah, seperti masukan dewan penasihat IMABSII pada kongres III di Universitas Bengkulu. Kerjasama yang baik akan terbangun jika komunikasi juga baik. Sedangkan, kini terjadi jurang pembatas yang amat jauh antara kita sebagai mitra kerja dengan Balai Bahasa sebagai payung dan sumber data.
Kedua, pemanfaatan iuran yang seringkali macet karena kelalaian baik pusat maupun wilayah dan daerah. Kelalaian ini semestinya bisa diatasi dengan kesadaran, bahwa penundaan hanya berakibat penundaan berikutnya.
Ketiga, publikasi dan peningkatan mutu karya anggota, yang tidak dibatasi hanya pada ranah penulisan cerpen, puisi, atau novel, tetapi juga filologi, kritik sastra, dan kritik sosial budaya. Usaha filologis yang ditempuh pada kepengurusan sebelumnya mesti terhenti karena suatu hal, dan kini, dengan anggota yang jauh lebih memiliki sarana hubungan yang baik, karya filologis tersebut bisa dijadikan produk sekaligus sumber pencairan dana penelitian selanjutnya.
Keempat, media massa, yang menjadi tolok ukur kedudukan sebuah lembaga atau kegiatan, harus kita jadikan mitra dan corong. Gunanya, untuk memperkuat daya tawar dihadapan pemilik modal diluaran sana.
Semoga, apa yang disampaikan disini menjadi bahan renungan bagi kita semua. Selamat datang di UNESA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar