Peran
Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia yang kian hari
diharapkan kian kuat pada masyarakat, memerlukan strategi dan perencanaan yang
matang. Perencanaan ini, meliputi orientasi terhadap tujuan, isu yang
berkembang, dan sumberdaya manusia serta modal.
Berdasarkan Anggaran Dasar IMABSII bab III pasal 8, IMABSII bertujuan untuk Menjaga keutuhan dan
mempererat tali persaudaraan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia
se-Indonesia. Wahana pengkajian, penelitian, dan pengembangan Bahasa dan Sastra
Indonesia, serta Wahana pengontrol sosial atas penyalahgunaan dan penyimpangan
nilai kebahasaan dan kesastraan Indonesia.
Peran kita yang menyempit hanya pada pelaksanaan even-even tertentu yang
insidental, ataupun perayaan hari besar, patut kita pertimbangkan sebagai
perbaikan kedepan. Bagamana selanjutnya kita berjalan diatas tangga, bukan
menuruni lembah yang curam. Memaknai IMABSII sebagai sarana pengembangan, bukan
sarana pesta.
Fungsi penelitian dan pengembangan, dalam kaitan IMABSII sebagai mitra
kerja Badan Bahasa, memiliki medan yang sangat luas. Ini mencakup bagaimana
bahasa bertahan dalam ruang dan waktu, serta dalam benak penuturnya.
Bahasa Indonesia mengalami kemunduran. Setidaknya, ada empat hal utama
yang menyebabkan kemunduran ini. Pertama, tersirat dalam pasal 29 Bab III
tentang Bahasa Negara dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, bahwa “Bahasa
pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing
untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.”
Jika kita
kaitkan dengan kebijakan RSBI dan standarisasi nasional tentang mutu
pendidikan, mayoritas sekolah yang bertitel “taraf nasional” atau “rintisan
sekolah bertaraf internasional” jelas mengabaikan bahasa indonesia dalam
kurikulumnya. Dengan mengedepankan bahasa asing sebagai mutu utama peserta
didik, sekolah-sekolah semacam ini menajiskan bahasa sendiri, dan seakan
membunuh dan menghapus ingatan bahasa indonesia dari benak penutur yang
kebetulan bersekolah disana.
Bahasa
asing dijunjung-junjung sebagai bahasa agung, bahasa perdamaian dunia, dan
bahasa makhluk beradab, sementara bahasa kita dikampung-kampungkan. Proporsi
pembelajaran bahasa indonesia dipersempit menjadi hanya beberapa jam seminggu
dan tidak ditunjang dengan keseharian sebagai warga negara indonesia, sebab
guru-guru pun pada kesehariannya kehilangan kemampuan menuturkan bahasa
indonesia yang benar.
Melihat
tren persiapan dan kelulusan ujian nasional., betapa banyak lembaga pendidikan
yang memusatkan perhatian pada mata pelajaran “orang kaya dan sukses”, bahasa
asing, ilmu alam, dan matematika. Berbangga-bangga nilai sempurna pada mata
pelajaran itu, lalu merendahkan mata pelajaran bahasa indonesia.Tidak
dipungkiri, keahlian berbahasa juga merupakan urusan bakat. Tetapi, terlalu
aneh apabila mayoritas (perhatikan ketidakseimbangannya!) siswa mendapatkan
nilai yang tidak seberapa pada bahasa indonesia?
Kedua,
kebijakan yang menyamaratakan sastra dan bahasa indonesia dan
menyederhanakannya menjadi soal-soal ujian nasional, jelas menginjak-injak
kaidah sastra, kaidah pemaknaan sebuah karya, bahwa horison harapan dan
persepsi pembaca berbeda-beda setiap individu, dan hal itu halal di mata
sastra.
Pada
soal ujian seringkali kita temui pemenggalan puisi untuk menemukan hubungan
gagasan. Padahal, berkaitan dengan horison harapan siswa, setiap karya, puisi,
prosa, memiliki kebebasan untuk dipahami bagaimanapun juga. Pembaca harus
beranggapan bahwa penulis sudah mati, dan menikmati karya sebagaimana adanya,
lepas dari pengaruh propaganda pembaca lainnya.
Pilihan
jawaban yang tersedia dalam butir jawaban, seakan mengarahkan pembaca (siswa)
dalam satu opini, satu paham tentang makna karya itu sendiri. Karena apa? Dalam
pilihan ganda, hanya tersedia satu pilihan yang benar, sedangkan dalam teori
horison harapan, semua persepsi dan pilihan jawaban, adalah benar menurut
pembaca, bukan menurut pihak ketiga.
Ketiga,
berkaitan dengan bagian penggunaan bahasa indonesia secara umum, bahasa,
menurut seorang sastrawan, adalah seperti tanah kepada pohon dalam hubungannya
berama budaya. Bahasa, adalah pohon yang hidup dari tanah kebudayaan itu, dan
setiap kali menggugurkan daunnya, pohon kembali menyuburkan tanah setelah
diisap haranya tanpa henti.
Lingkungan
kerja dan pendidikan, pada masa ini seringkali (selalu!) mengadopsi budaya
asing. Dari sekedar tata percakapan keluarga yang ringan, makan malam, hingga
forum resmi seperti persidangan yang menggunakan gaya budaya asing.
Aturan
persidangan, yang dipaksakan menggunakan bahasa inggris, atau istilah politik
dari bahasa asing, mempertegas paradigma, bahwa kata itu, istilah itu tak ada
padanannya dalam bahasa indonesia.
Dengan
dalih pembaruan, pembenahan, dan pendisiplinan, budaya berbahasa yang baik
hilang seiring bergantinya identitas budaya kita. Budaya indonesia sekarang
adalah budaya eropa. Budaya jepang. Budaya arab. Budaya yang digadang-gadang
sebagai globalisasi.
Pencanangan
kota-kota di daerah sebagai kota wisata dengan diluncurkannya program “Visit
Indonesia” memaksa para kepala daerah yang silau dengan modernisasi, mengganti
aksaranya dengan aksara asing. Mengganti penunjuk jalan dengan bahasa asing.
Memaksakan penamaan istilah dan gelar dengan bahasa asing. Budaya lokal
bergeser, terjadi kebingungan sosial. Penutur bahasa yang bingung ini, mesti
juga menghadapi lingkungan pendidikan yang melupakan budaya sendiri, maka
jadilah kita bangsa yang kehilangan identitas. Bangsa yang identitasnya tak
dapat dibedakan antara bangsa asing dengan bangsa sendiri.
Kebudayaan,
erat hubungannya dengan kesusastraan. Justru kesusastraan itu adalah jembatan
antara budaya dan bahasa, sebuah simbiosis, atau paling tidak, area abu-abu
dimana kebudayaan adalah bahasa, dan bahasa adalah kebudayaan.
Kesusastraan
paska angkatan 2000 yang diwarnai karya terjemahan dan bahasa gaul anak muda,
turut memperkeruh situasi. Sebetulnya, sejak dahulu, banyak bertebaran karya
semacam itu. Sejak angkatan pujangga baru hingga angkatan 80-an. Namun, horison
harapan pembaca kala itu tidak menganggap karya itu sebagai kiblat, bahwa
“bagus” adalah “karya itu”. Mereka tetap memiliki pemahaman yang baik terhadap
kebudayaan asli kita.
Bagaimana
dengan era paska angkatan 2000? Karya-karya, dianggap mewakili horison harapan
pembaca, apabila memenuhi syarat, diantaranya, menjadi penjualan terbanyak kala
itu, kutipan atau cuplikan karya itu menjadi idiom baru, atau karya yang
dihasilkan setelahnya menginduk karya itu secara massal, baik dari tema, gaya
bahasa, gaya penulisan, dan amanat.
Kondisi
ini memaksa kita untuk mempelajari, memahami, lalu memperbaikinya. Menjadi
kondisi kebahasaan yang ideal, yang mampu mendukung kebudayaan yang sehat, lalu
menumbuhkan lagi pohon sastra yang indah dan subur. Akan tetapi, apakah itu
sudah cukup?
Adalah
dangkal jika kita hanya bicara teori dan analisa yang mengawang-awang. Ya. Kita
punya massa. Kita punya tenaga. Di dunia nyata yang melampaui segala teori. Ratusan
kampus, ribuan sastrawan, puluhan ribu sarjana bahasa Indonesia.
Tantangannya
sebenarnya adalah, bagaimana kita mampu menghubungkan ratusan kampus dengan
puluhan ribu manusia di seluruh Indonesia? Kita adalah sastrawan sekaligus
budayawan. Bukan dihubungkan dengan telepon. Surat. Rapat. Kongres. Atau
diskusi.
Kita
dihubungkan dengan tujuan yang sama, kita disatukan dengan cara-cara yang sama.
Cara yang senantiasa berubah dan dinamis mengikuti kebutuhan setiap daerah dan
waktu. Untuk itulah IMABSII dihadirkan, untuk menyelaraskan senar-senar gitar
yang berbunyi sendiri-sendiri menjadi satu lagu yang indah. Nada yang
diigetarkan bersama-sama namun kenal irama.
Lagi-lagi
akan timbul nada sumbang tentang modal. Bahwa setiap pergerakan memerlukan
tenaga, dan kita bicara pergerakan yang ditenagai biaya. Saya yakin, masalah
pendanaan akan terkontrol dengan beberapa cara.
Pertama,
pembinaan hubungan baik dengan balai bahasa di setiap daerah, seperti masukan
dewan penasihat IMABSII pada kongres III di Universitas Bengkulu. Kerjasama yang
baik akan terbangun jika komunikasi juga baik. Sedangkan, kini terjadi jurang
pembatas yang amat jauh antara kita sebagai mitra kerja dengan Balai Bahasa
sebagai payung dan sumber data.
Kedua,
pemanfaatan iuran yang seringkali macet karena kelalaian baik pusat maupun
wilayah dan daerah. Kelalaian ini semestinya bisa diatasi dengan kesadaran,
bahwa penundaan hanya berakibat penundaan berikutnya.
Ketiga,
publikasi dan peningkatan mutu karya anggota, yang tidak dibatasi hanya pada
ranah penulisan cerpen, puisi, atau novel, tetapi juga filologi, kritik sastra,
dan kritik sosial budaya. Usaha filologis yang ditempuh pada kepengurusan
sebelumnya mesti terhenti karena suatu hal, dan kini, dengan anggota yang jauh
lebih memiliki sarana hubungan yang baik, karya filologis tersebut bisa
dijadikan produk sekaligus sumber pencairan dana penelitian selanjutnya.
Keempat,
media massa, yang menjadi tolok ukur kedudukan sebuah lembaga atau kegiatan,
harus kita jadikan mitra dan corong. Gunanya, untuk memperkuat daya tawar dihadapan
pemilik modal diluaran sana.
Semoga,
apa yang disampaikan disini menjadi bahan renungan bagi kita semua. Selamat
datang di UNESA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar