Minggu, 25 November 2018

Ghazali dan Literasi Zaman Kita


Amar Ar-Risalah

Kita tak pernah bisa membayangkan, apa yang dipikirkan oleh Imam Al-Ghazali saat menyaksikan kemunduran umat islam pada zamannya. 700 tahun lalu.

Kelak kita hanya akan tahu bahwa beliau adalah salah satu penulis paling produktif, kuat, dan hebat pada zamannya. Ia hadang gelombang pemurtadan berkedok filsafat di dalamnya, sekaligus ia islamkan pula perangkat teori filsafat itu.

Imam Ghazali mencari harapan-harapan itu melalui segenap masjid di kota-kota. Ia pergi berkelana. Tapi nihil. Ia tak dapati apapun. Kekuasaan Abbasiyah telah jauh melemah, sementara moralitas tak ada lagi.

Di masanya, kaum teolog, yang mengembalikan semuanya pada teks hadis, bertarung dengan kelompok mutakallimin yang gemar merenung dalam kekosongan.

Di antara mereka, kelompok syiah bathiniyah mengancam masyarakat. Sementara, pertarungan dua kelompok pertama tidak berarti apa-apa bagi masyarakat.

Ghazali kecil menyaksikan itu semua. Di mana-mana, moral hancur karena keraguan menjadi dasar pemikiran mengenai Tuhan dan Ketuhanan.

Ilmu agama, mati. Ia cari jawaban bangkitnya ilmu-ilmu itu ke mana saja ia pergi. Ia menyepi ke berbagai menara masjid, dan ia lihat dari ketinggian menara, bagaimanakah kemanusiaan itu?

Ghazali terdiam. Tampaknya, tak seorangpun akan datang menyelamatkan kehancuran umat itu. Suatu hari, ia memulai menulis kitabnya. Ia akan tulis sebuah rencana, sebuah proposal besar keumatan yang akan menahan gelombang itu.

Maka jadilah kitab itu. Ihya Ulumuddin. "Hidupnya Ilmu-Ilmu Agama"!

*
Semua ulama punya satu hal. Kepekaan dan rasa kasih sayang pada umat islam. Mereka bukan juru debat. Mereka juga bukan orang yang menulis karena depresi atau luapan diksi yang meracuni nalar pikiran.

Semua tulisan hebat itu selalu dimulai dari kesadaran atas penderitaan umat. Ghazali lahir di abad di mana kebodohan dikedepankan hanya lantaran filsafat sedang menjadi tren.

Dengan kepekaan itu, Ghazali tahu obat dari segala penyakit itu adalah kembalinya ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, puluhan kitab-kitab yang menghajar langsung inti pemikiran filsafat, seperti Ihya Ulumuddin, Tahafut Al-Falasifah, Misykatul Anwar, dan Bidayatul Hidayah, ia hadirkan ke tengah-tengah umat.

Ulama tak hanya ahli ilmu. Mereka haruslah orang yang tahu di mana letak sakitnya masyarakat, dan lepas dari kesakitan itu agar bisa memberikan obatnya. Buku-buku dan tulisan itu, adalah obat yang diturunkan Allah untuk zaman itu.

Hari ini kita tahu, kebodohan adalah tren. Kita dibuat kaget karena hal-hal yang tak masuk akal bisa mengalahkan hal yang masuk akal.

Riba menyebar di mana-mana. Al-Baqarah ayat 275 jelas menggambarkan umat dan negeri kita bagai orang limbung kemasukan setan. Hutang-hutang negara ditambah, hanya untuk menutupi hutang sebelumnya.

Masyarakat kecil terjerat riba bank keliling. Di antara mereka, sampai harus memalsukan kematian atau bahkan saling membunuh karenanya. Uang-uang itu kecil, tapi bunganya menjadi berkali-kali lipat.

Perusahaan-perusahaan besar merampas hutan negara dan tanah rakyat, lantaran kebodohan masyarakat yang dibiarkan oleh negara. Kini rakyat itu, para mantan tuan tanah yang merdeka, harus berkerja sebagai pesakitan dengan gaji bulanan yang tak besar.

Sementara bangsa lain, mengancam dengan taringnya yang tajam. Amerika Serikat, dengan mazhab ekonomi Washington Consensus menipu negara-negara kecil yang tak sadar dirinya kaya. Penjajahan Washington Consesnsus dilakukan atas nama investasi, yang kemudian, investasi itu menginjak kedaulatan dan kemerdekaan umat islam.

Sementara negeri Cina melakukan monopoli dan negeri kita tak bisa berbuat apa-apa lantaran besarnya uang yang mereka punya. Bahkan mereka dapat membuat kota baru yang biayanya melebihi biaya penghidupan ibukota kita.

APBD DKI Jakarta hanya sebesar kurang dari 70 triliun. Sementara Meikarta dan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, memakan biaya lebih dari 200 triliun. Keadilan, sudah tak ada. Tak perlu bicara masalah moral, karena di negeri ini, moral sudah tak ada.

Di masa-masa semacam inilah, Ghazali lahir. Dan Ghazali sadar betul bahwa ada yang harus ia lakukan. Kebangkitan itu, harus ia yang memulai. Meskipun ia hanya bisa menulis dan berpikir.

Seandainya Ghazali hanya bicara dan mengisi ceramah, barangkali perubahan itu tak akan sehebat ini. Sebab tulisan itu akan mengabadikan gagasan kita, dan melipatgandakan dampaknya.

Ghazali paham apa yang menimpa umatnya dan Allah mengilhamkan padanya untuk menulis obat bagi umat saat itu.

Syahadat kita, membuat hati kita yang mati rasa atas penderitaan umat, harusnya hidup lagi. Kita jadi lebih peka atas apa yang terjadi di zaman ini.

Bacalah Al-Qur'an dengan lambat dan jangan keliru paham: penghafal qur'an zaman kita lebih banyak daripada zaman Ghazali. Ahli tafsir kita lebih banyak daripada zaman Ghazali. Tapi ada satu perbedaan mendasar.

Para penghafal Qur'an itu mampu melakukan perbandingan antara konsep-konsep yang ada dalam hafalannya, dengan realita. Mereka tidak menghafal lantaran untuk menyenang-nyenangkan orang tua. Orang tua kita dibius:

Bahwa sesungguhnya sertifikat hafalan, danain sebagainya yang dimiliki anaknya, ternyata tak bisa jadi solusi buat umat.

Sebab, ternyata syahadat dan al-qur'an itu tak kunjung membuat hati yang beku dan kemalasan orang untuk bergerak itu berubah. Syahadatain sebagai titik tolak perubahan, menanti tulisan dan rencana keumatan kita!

Dan zaman ini telah memanggil kita. Bacalah beragam berita-berita dan serapi penderitaan umat di sana. Bacalah buku-buku dan cari tahu pendapat mereka yang lebih pakar di sana.

Lalu, luruskan pola pikir kita. Buatlah hati menjadi peka, dan bagaimanapun itu, doronglah tangan kita untuk menulis obat bagi umat yang sekarang terombang-ambing ini.

Tulislah apa saja. Tapi jangan mencengeng-cengengkan tulisan kita. Derajat umat tak akan terangkat hanya lantaran mendalil-dalilkan rindu dan membuat kesepian kita cocok dengan sebuah ayat al-Qur'an.

Zaman telah memanggil tulisan kita. Maka menulislah, dan berikan proposal keumatan itu buat kita, sebagaimana Ghazali menulis Ihya Ulumuddin.

Menulislah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar