Rabu, 28 November 2018

Dari Masjidlah Revolusi Akan Bergulir



Amar Ar-Risalah

Kalau sekarang masjid diwaspadai, berarti ada yang sudah paham bahwa masjid adalah tempat terbaik memulai revolusi.

Sebab, di masjid, orang membersihkan dirinya, membersihkan motif hidupnya, dan kembali meluruskan cara pandangnya kepada segala sesuatu. Termasuk, kepada negara. Senetral-netralnya. Sebebas-bebasnya sebagai hamba Tuhan.

Dulu, Salahuddin Al-Ayyubi melihat bahwa kerajaan sesat syiah Dinasti Fathimiyah adalah penghambat terbesar saat akan membebaskan Palestina.

Mengapa? Dinasti Fathimiyah mengaku islam. Tapi kebijakan negaranya justru mengganggu kebijakan Kekhalifahan Abbasiyah yang Ahlu Sunnah.

Saat Abbasiyah ingin menolong Palestina, rupanya pasukan Salib membayar negara Fathimiyah dengan deal-deal politik. Dengan ilusi jalur dagang, dengan fatamorgana persekutuan militer!

Maka, Salahuddin atas perintah Nuruddin Zanki melakukan penyusupan kedalam istana, dan berhasil mendapatkan jabatan Perdana Menteri.

Rupanya, dari jabatannya yang tinggi itu, Salahuddin melihat kebawah. Kebijakan kerajaan tak pernah menyentuh rakyat kecil. Ideologi negara, tak pernah diterima masyarakat luas.

Dari mana Salahuddin tahu? Ia amati masjid! Dari ribuan masjid yang ada di Afrika Utara dalam wilayah Fathimiyah, ia tahu bahwa rakyat tidak satu ideologi dan tidak satu cara pandang dengan Sultan terhadap negara.

Rupanya di masjid, mayoritas orang masih mengikut Ahlu Sunnah. Hanya negara dan para pejabat pusat saja yang syiah. Hati umat, tak bisa dibohongi. Mereka merindukan tatanan sosial yang sesuai dengan hati mereka.

Sebab, bagi mereka, cara pandang agama, juga merupakan cara pandang kepada keadilan. Dan Negara Fathimiyah itu gagal memberikan keadilan bagi rakyatnya dengan cara pandang syiah.

Perebutan demi perebutan kekuasaan terjadi tanpa pernah melibatkan rakyat kecuali sebatas besaran suara pendukung pada saat melakukan deal politik.

Di satu sisi, Sultan Al-Adil, adalah sultan lemah. Ia baru berusia belasan tahun dan jelas gampang disetir oleh pejabat busuk disekitarnya!

Satu hal: para Khatib dan imam Ahlu Sunnah itu jelas dianggap radikal dan mengancam eksistensi negara. Mereka adalah bahaya laten dan penyebar paham radikal, bagi pemerintahan Fathimiyah yang sesat itu!

Tapi ada harapan. Senantiasa ada harapan bagi orang-orang yang menitipkan nasibnya pada Allah, di rumah-rumah Allah! Betapapun kas negara habis untuk penyuluhan anti radikalisme, Allah menitipkan Salahuddin di jantung istana!

Maka dimulailah revolusi itu: suatu saat, tersiar kabar Sultan sakit hingga tak sadarkan diri. Salahuddin memerintahkan sebuah masjid besar untuk menyelenggarakan salat Jum'at dengan cara Ahlu Sunnah.

Rencana yang berbahaya. Jika gagal, sang khatib beserta ratusan jamaah jadi taruhan. Mereka bisa mati sia-sia. Tapi, tibalah Jumat itu.

Ternyata, masyarakat berbondong-bondong datang. Mereka senang. Perkiraan Salahuddin benar. Bahwa, selama ini hati rakyat tetaplah pada Ahlu Sunnah wal Jamaah!

Pekan depannya, banyak masjid di kawasan Fathimiyah berubah menjadi ahlu sunnah. Rupanya, mayoritas penduduk di Fathimiyah tak bisa diambil hatinya dengan kebijakan-kebijakan palsu syi'ah selama ini.

Hanya beberapa kejap kemudian, kerajaan Fathimiyah yang secara wilayah, keuangan, dan dari segi apapun lebih besar dari Indonesia itu runtuh, dan berhasil ditaklukkan Salahuddin tanpa senjata. Hanya dari masjid!

Segenap mahasiswa muslim Indonesia, para pemuda Islam di Indonesia. Orang boleh bilang masjid berbahaya. Maka dari itu, datanglah ke masjid dan jagalah tempat kelahiran kita itu dari bahaya apapun yang mengancamnya.

Sebab dari masjidlah, roda gigi revolusi ini akan bergulir!


Bacaan:
Ali Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi
Bernard Lewis, Assasin: Pembunuh dari Lembah Alamut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar