Rabu, 01 April 2015

Memoar

Ish, dulu kupikir aku butuh ruang kosong. Tempat kita bertimbang dan berkehendak merdeka. Tapi aku dijebak kebencian sendiri pada tatakala;

Aku terlanjur kangen rasanya tertawa. Aku ingin makan lagi kapsul gurauan-gurauan, lalu tergelak sepuasnya (ternyata aku terlalu serius bahkan jika bercanda).

Ish, ini adalah sore yang lama tidak kita nikmati. Matahari menguning, langit menguning, kota kita juga menguning. Lantas matamu yang bening memaguti Rawamangun kita ini
Di sini. Di kampus kita yang riuh, sebab segala senja berkumpul, mengajari kita bercengkerama. Bagaimana caranya menuliskan kau menjadi kau. (sudah lama aku membaca terjemahan atas manis-manismu luka-lukamu yang bukanmu)


Kadangkala kita membayangkan: di luar hujan. Kita sedang melintas. Kita mencari-cari teduhan yang sepadan; sebab busana yang basah dan kerap jadi tembus pandang, lalu ada masjid, dan kita berteduh di dalamnya. Kita di panggil-panggil oleh sinaran hangat, lalu suara azan merembesi dinding: Kita saling memuja. Ada Dia padamu. Ada kau pada-Nya (setelah sadar; sudah bertahun-tahun sejak aku terakhir membaca kembang matamu: kau semakin jadi puisi...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar