Ish,
dulu kupikir aku butuh ruang kosong. Tempat kita bertimbang dan berkehendak
merdeka. Tapi aku dijebak kebencian sendiri pada tatakala;
Aku
terlanjur kangen rasanya tertawa. Aku ingin makan lagi kapsul gurauan-gurauan,
lalu tergelak sepuasnya (ternyata aku terlalu serius bahkan jika bercanda).
Ish,
ini adalah sore yang lama tidak kita nikmati. Matahari menguning, langit
menguning, kota kita juga menguning. Lantas matamu yang bening memaguti
Rawamangun kita ini
Di
sini. Di kampus kita yang riuh, sebab segala senja berkumpul, mengajari kita
bercengkerama. Bagaimana caranya menuliskan kau menjadi kau. (sudah lama aku
membaca terjemahan atas manis-manismu luka-lukamu yang bukanmu)
Kadangkala
kita membayangkan: di luar hujan. Kita sedang melintas. Kita mencari-cari
teduhan yang sepadan; sebab busana yang basah dan kerap jadi tembus pandang,
lalu ada masjid, dan kita berteduh di dalamnya. Kita di panggil-panggil oleh
sinaran hangat, lalu suara azan merembesi dinding: Kita saling memuja. Ada Dia
padamu. Ada kau pada-Nya (setelah sadar; sudah bertahun-tahun sejak aku
terakhir membaca kembang matamu: kau semakin jadi puisi...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar