Aku pernah
membayangkan pulang, Ibu. Karena sesakku juga sesakmu tercampur pada sekotak
kabut dan segelas fajar yang kau tanak di meja.
Kita berdua sama-sama berangkat, pada pekerjaan yang tak pernah selesai.
Berulangkali kau membeli matahari terbit, namun kita tak pernah sempat menikmatinya. Itu sudah kadaluarsa.
Aku membawakanmu matahari terbenam, Ibu. Ayo minumi sampai pagi: sesakku sesakmu.
Kita berdua sama-sama berangkat, pada pekerjaan yang tak pernah selesai.
Berulangkali kau membeli matahari terbit, namun kita tak pernah sempat menikmatinya. Itu sudah kadaluarsa.
Aku membawakanmu matahari terbenam, Ibu. Ayo minumi sampai pagi: sesakku sesakmu.
(Aku pernah membuat puisi ini jauh sebelum wafatnya Ibu, 19 Maret 2015. hm. bagaimana ya?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar