Lewat
jam tiga. Betapa fajar terlalu dini
dan
kopi yang terus saja mengendap. Masih juga meratap.
Tumpukan
kalender. Kisik angin yang buru-buru pergi. Kita
di
pojok sepi. Mengenang diri.
Hei,
bukankah itu petapa bijak
yang
namanya seperti kita kenal
jika
sajadah sudah jatuh, dan mata semakin hangat—tak ingin jadi asing—diterkam
cakar sendiri
Ketika
rintihnya makin pekat, lalu Tuhan
terus
saja mendekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar