“Dewabrata,
Akulah
Ibunda.....”
Ah;
sahut Bisma. Gemericik
sungai,
derak bebatuan, dan
Kersik
lelumutan yang bicara
Ibunda
Gangga?
“Wahai
Dewabrata
Jatuhmu
ini suci
Mempertemukan
ibu dengan anak kecilnya yang lama
dalam
asuhan seratus wanita luka
Kau
seorang petapa manis yang tua....”
Ibu,
ibu!
Sungaikah
Ibu, mengalir kemanakah Ibu
Hingga
kasihmu membasahi hari-hari tuaku
Menjelang
kematian purba Baratayudha-ini tegalan Kuruksetra!
“Akulah
ibumu, Petapa Jahnawisuta.
Sungai
Gangga....”
Ki
Dalang merenung-renung sebentar. Isi Jitapsara suci yang mewajibkannya
menyelesaikan perang segera
Diacuhkannya
Maharaja
Sentanu yang penyayang menyelamatkan
Raden
Ganggaya. Sang Dewi menyatu dengan Bengawan Gangga. Ah; (terkekeh Ki Dalang,
ada kefanaan membayang-bayang
pada
layar pertunjukan)
“Ya,
ya! Demikianlah, anakku Dewabrata.
Pertempuran
menghanyutkanmu kembali padaku
Akulah
Gangga. Akulah
Bathari
segala bengawan di dunia....”
Ibu,
ibu! Seru Bisma. Ah,
Petapa
kita ini; masih juga meratapkan
peperangan yang tiada hentinya.
Narantaka
Seta memang terlalu luarbiasa. Begitulah adegannya.
Begitulah
Jitapsara mewajibkannya. Aduhai Kresna,
Betapa
munafiknya dirimu.
“Kau
seorang pemanah-panahlah Seta sepenuh hatimu
Bidiklah
kematiannya dengan kematianmu yang taklama sesudahnya
Karena
pertempuran ini
Mengembalikan
kita menjadi kita
Yang
Kita....”
“Ya,
ya, Dewabrata. Ini panah,
Panah
kasih Ibumu yang renta dari dasar
Keremangan
bengawan dan samudra
Tempat
kehidupan dan kematian bermuara....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar